Senin, 22 September 2008

TRADISI NYADRAN DI TEMANGGUNG



Ramadhan sebentar lagi tiba, satu bulan sebelum ramadhan atau bulan syakban masyarakat menumpahkan sykurnya. Wujudnya bermacam-macam,utamanya adalah mendoakan arwah para leluluhur dan keluarga dekat yang terlebih dahulu menghadap sang Khaliq.


MATAHARI belum meninggi saat masyarakat dusun Pete, Desa Kembangsari, Kecamatan Kandangan berkumpul membentuk barisan panjang di depan Masjid yang mereka sebut sebagai Masjid Agung. Di barisan depan, berjejer Kepala Desa dan beberapa tetua desa. Kades yang bernama Sutiyo ini mengenakan busana jawa lengkap, pun demikian dengan para tetua desa. Di belakangnya, ratusan tenongan yang berisi nasi kuning dan ubo rampe-nya berjajar, dibelakangnya lagi, tua muda warga desa yang menggenakan pakaian terbagusnya, barisan paling belakang adalah
rombongan kesenian tradisional, seperti kuda lumping.

Mereka bersiap menyelenggarakan nyadran, ritual yang biasanya diselenggarakan besar-besaran tiap dua tahun sekali. Sejurus kemudian, Kades menaiki kuda tunggangannya. Dengan gagah dia memimpin barisan rakyatnya menuju komplek pemakaman. Letaknya kira-kira dua kilometer sebelah selatan desa.

Di komplek pemakaman ini bersemayan jazad dua sesepuh desa, yaitu Kyai Keramat dan Kyai Yudo Kusumo alias Joyo Kusumo. Dua tokoh ini diyakini sebagai orang yang meletakan cikal bakal desa. Mereka juga yang memimpin warga desa dalam
perjuangan mengusir penjajah Belanda.

Di komplek pemakaman, ratusan warga desa juga sudah menunggu iring-iringan ini. Ada juga 130 ekor kambing yang siap untuk disembelih, semua berwarna putih. "Hakekat acara ini adalah ungkapan syukur kepada sang pencipta. Setahun ini, kami telah diberi rejeki yang melimpah dan dijauhkan dari bala," ujar Kades, Sutiyoso.

Tiba di pusara Kyai Joyokusumo, Kades menyerahkan sebilah parang kepada Kayim, dia adalah perangkat desa yang mengurusi masalah-masalah keagamaan. Parang bernama Parang Joyokusumo. Konon, dengan parang inilah, Kyai Joyokusumo berjuangan mengusir penjajah Belanda yang menduduki wilayah Temanggung. Sekarang, parang ini adalah alat utama untuk menyembelih kambing-kambing yang akan dikorbankan.

Usai serah terima parang, rombongan pengusung tumpeng Argo Bugo yang juga ikut diarak dalam prosesi pawai kemudian maju mendekati kerumunan warga. Setelah diberi aba-aba, warga langsung merangsek dan meraih sekenanya nasi kuning dan hasil bumi yang menjadi susunan rangkaian tumpeng. Bersamaan, di sisi lain makam, kambing-kambing mulai disembelih, kemudian langsung dimasak di tempat itu pula.

"Kambing-kambing ini adalah sumbangan dari warga. Biasanya, setelah mereka mencapai cita-cita, mereka bernadzar menyumbang kambing pada perayaan Nyadran," ujar salah seorang sesepuh desa, Cipto.

Menurutnya, daging kambing harus dimasak di komplek makam, ada pantangan untuk membawa daging kambing yang masih mentah.

"Ambil saja positifnya dari pantangan ini, kambing-kambing itu bisa dinikmati seluruh masyarakat dengan bumbu seadanya. Kalau di rumah kan bisa dimasak macem-macem. Biar adil," ujarnya.

Acara berhenti sebentar untuk menunaikan ibadah sholat Jum'at. Ba'da Jum'at, mereka kembali lagi ke pemakaman. Kali ini acaranya lebih personal. Masing-masing keluarga membawa tenongan berisi tumpeng dan ingkung -sejenis ayam yang dibakar utuh- ke makam. Mereka kemudian menikmatinya diatas pusara para leluhur keluarga.

"Ini sebenarnya tradisi yang umum dikalangan masyarakat Jawa. Tiap menjelang ramadhan, kami selalu menziarahi makam leluhur, mendoakan arwah mereka," ujar
Cipto. (mn.latief)
Read more on this article...