Awal tahun ini, tepatnya tanggal 1 januari 2008, saya terlibat pembicaraan agak menarik dengan Andrie dan Wiwik di Lumbung Resto, nama lengkapnya Lumbung Resto and Coffeehouse, letak café ini sekitar 300 meter arah utara kampus FISIP Unsoed, tepatnya di depan SPBU Pabuaran, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas. Lumbung Resto ini menurut saya adalah salah satu restoran yang berusaha keras memenuhi standar penyajian. Dari mulai appetizer, main course sampai dessert disajikan berurutan.
.Misalnya anda memesan dessert, sementara teman anda memesan main course, maka pesanan anda ini akan diantar nanti setelah teman anda menyelesaikan main course-nya. Standar kan? Kata Shanti, teman saya yang wartawan kuliner itu, restoran seperti ini disebut fine dining resto.
Kata Shanty lagi, budaya kita sudah lama mengenal urut-urutan penyajian makanan seperti ini, “Standar penyajian makan raja juga seperti ini”, kata wartawan berbodi agak bengkak ini. Shanti memang sengaja saya hubungi untuk menjelaskan seluk beluk penyajian restoran standar.
Berdasarkan informasi dari Shanti, saya berani mengambil kesimpulan kalau Lumbung Café ini gak fine-fine banget. Di beberapa sudut resto, ada tempat lesehan. Saya pikir, lesehan tidak masuk salah satu criteria restoran untuk bisa disebut fine dining resto. “Kalo gitu sebut aja semi fine dining resto, tief”, ujarnya.
Saya dan Wiwik datang belakangan. Ga bosen-bosen saya dengan Wiwik ini, padahal malamnya saya sudah menghabiskan pergantian tahun dengannya, eh siangnya, sudah bareng lagi. Thanks for sweet old and new party ya..
Sambil menunggu kami datang, Andri memesan light meal, namanya Lumbung Sampler, ada keranjang kecil dari anyaman bambu yang berisi kentang goreng, sosis, dan 3 butir jenis bakso-bakso-an. Ada juga sedikit sayur, kubis, kol dan timun yang diiris kecil-kecil. Minumnya Red and Glamour, ini campuran strawberry, gula pasir dan susu, tentu saja diblender.
“Buat memancing selera” katanya. Selera kok dipancing. Paus kalee..
Main cource-nya Andri memesan Ayam Betutu. Kata pegawai resto yang melayani pesanan kami, ayam olahan itu adalah menu andalan Lumbung Resto. Aneh juga ya, restoran di Purwokerto kok menu andalannya ayam khas Bali, ga nyambung bo! Wiwik pesan Nasi Goreng Jawa Khas Lumbung, kalau ini lumayan lah, ada nama resto yang nempel di menu. Telornya, Wiwik minta digoreng, perempuan manis ini tidak suka telor ceplok. Setelah mencicipi sedikit, sayapun akur, rasanya memang Jawa banget.
“Telor kalau di celpok rasanya jadi aneh”, ujarnya dengan raut agak gigu. Wiwik pesan Lemon Squash untuk minumannya, kalau minuman ini, campuran jeruk lemon dan teh. Pesanan saya cukup mango blend, rujak sayur yang saya beli di warung sebelah kos-kosan cukup memenuhi rongga perut. Masih wareg.
Baiklah sodara-sodara, saya tidak akan panjang lebar menulis wisata kuliner kami, saya ingin menulis tentang materi obrolan kami di resto itu.
“Ada diskusi menarik di Forum Warteg”, kata Andri membuka obrolan, sesekali tangannya sibuk nyewir Ayam Betutu pesanannya. Forum Warteg adalah milis orang-orang yang dulu pernah nongkrong dan sering berdiskusi di Warteg depan FISIP UNSOED, pada masa jayanya warteg adalah salah satu barometer gerakan mahasiswa di Purwokerto. Saya dan Andri ikut milis itu sejak milis didirikan, sekitar tahun 2004, moderatornya Mas Ipul, senior kami mantan wartawan Tempo, sekarang Mas Ipul sedang membesarkan Koran barunya, Joglo Semar yang berbasis di Solo. Sementara Wiwik belum bergabung di milis, “Dari dulu ga sempat ndaftar” katanya.
Obrolan atau tepatnya “berbalas email” itu diawali dari email Fadli, dia Pemimpin Redaksi LPM Solidaritas FISIP Unsoed. Perihal-nya tentang pembukaan lowongan sumbangan dana untuk penerbitan Majalah Solidaritas. Gampangnya gini, “Semua alumni Solid (nama pendek Solidaritas) dan orang-orang yang pernah bersentuhan dengan Solid dimohon untuk menyisihkan sebagian pendapatannya guna menambah dana penerbitan majalah” demikian kira-kira intisari tulisan Fadli di email.
Tema majalah yang akan diterbitkan adalah PILKADA Banyumas, karena itulah dalam surat permohonannya Fadli tegas menyortir sumbangan yang berasal dari proses politik di Banyumas. Hanya dana-dana dari individu dan alumni yang tidak terindikasi terlibat dalam proses politik Banyumas yang diterima Solidaritas.
“Ingin menjaga independensi, tema ini sangat sensitif”, katanya.
Sebelum jauh ngomong tentang “permohonan bantuan duit” ini, saya ingin jelaskan latar belakang mengapa kami tertarik dengan obrolan galang-menggalang dana majalah.
Andrie dan Wiwik adalah dua orang mantan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa UNSOED. Sketsa ini LPM tingkat universitas, di UNSOED memang ada pers kampus tingkat fakultas, dan tingkat universitas, lembaga pers di dua tingkat ini berjalan sendiri-sendiri, tidak ada subordinasi.
Mereka pernah menduduki jabatan Pemimpin Umum, jabatan puncak di organisasi mereka, tentu dengan periode yang berbeda, Wiwik ini adik angkatan Andri. Saya sendiri adalah mantan Pemimpin Redaksi LPM SOLIDARITAS FISIP UNSOED. Bukan jabatan puncak seh, tapi lumayan lah, masuk jajaran elit kepengurusan.
Kesimpulan saya, forum tersebut layak untuk membicarakan penggalangan dana buat pers kampus, walaupun dunia pers kampus sudah lumayan jauh kami tinggalkan. Cukup compatible lah…
Nah, ternyata sortiran Fadli atas dana yang masuk mendanai penerbitan inilah salah satu pangkal perdebatan. Hendro Gajah, mantan mahasiswa Administrasi Negara angkatan tua banget pernah mencibir dalam forum, "Ga usah pusing, duit itu dari setan atau iblis, yang penting independesi tidak tercerabut, dan majalah bisa terbit," tulisnya.
Kalau Uung, yang mulutnya tidak pernah berhenti mengejek manusia lain itu berkomentar agak realistis, menurutnya semua pilihan ada di tangan generasi Solid sekarang. Duit sumbangan tidak bisa terlepas dari siapa yang memberi duit dan plus kepentingannya. Dia mencontohkan, jika anak-anak solid mendapat duit dari Amang pasti orang akan berpikir kalau Solid menerima duit dari PDI Perjuangan, karena setulus-tulusnya Amang tidak mungkin lepas dari anggapan bahwa dia adalah aktifis yang sekarang bergabung ke partai moncong putih itu, begitu katanya. Wah susah juga ya..
Komentar lainnya senada, Dewo yang wartawan Republika, Burhan wartawan Suara Merdeka, Syarif kolega Burhan. Kalau Barid, si penguasa kenop gerakan sosial baru itu, saya lupa komentar atau tidak dalam soal ini, tapi kalo komentar pun paling tidak mutu. Intinya agar menjaga independensi pers kampus, termasuk soal duit.
Kembali ke lumbung resto. Dalam diskusi awal tahun itu, saya punya pikiran begini, pers kampus tak ubahnya media komunitas lain. Seperti komunitas petani, pedagang, buruh dan lain-lain. Media komunitas yang baik adalah media yang dihidupi oleh komunitas itu juga. Bahasa sederhananya, komunitas memiliki sense of belonging, handarbeni, rasa memiliki terhadap media. Jadi misalnya media kampus ini tak segera terbit, anggota komunitas akan mempertanyakannya, ingin tahu, kenapa bisa tak terbit, apa seh kendalanya. Komunitas tidak rela untuk tidak menyimak terbitan terbaru media itu. Kayak salah satu klub sepak bola di EPL itu lho, jadi ada satu klub yang terancam bangkrut, nah para supporternya bantingan biar klub tutup usia, jadilah sekarang saham mayoritas klub itu dimiliki oleh para fans. Begitulah kira-kira.
Untuk bisa diterima dan dihidupi oleh komunitasnya, media harus menyediakan kebutuhan-kebutuhan komunitas. Misalnya kajian-kajian alternatif yang mendukung kuliahnya, atau analisis yang bisa jadi referensi tambahan, karena perpus minim koleksi misalnya. Jadilah media ini pride, kebanggaan komunitas.
Dulu waktu saya masih jadi aktifis pers kampus, saya berangan-angan bahwa media kampus nantinya berisi tulisan-tulisan tentang kampus, dihidupi oleh pembeli mahasiswa, dan iklan-iklan seputar kampus. Media kampus ini menjadi alternatif yang ditunggu banyak orang di kampus. Sayangnya, sampai akhir hayat di pers kampus, angan-angan itu tak kunjung terwujud. Paling banter, selama jadi pemred di Solidaritas, saya hanya bisa menerbitkan beberapa buletin Belik, nir majalah yang sampai akhir kepengurusan tak tergarap. Tapi lumayan, waktu itu bulletin Belik yang kami terbitkan selalu ludes diserbu pembeli. Tapi angka penjualan ini tidak berhasil menolong waktu kami mempertahankan LPJ kepengurusan, tetep aja ditolak forum. Hiks sedih.
Diakhir obrolan kami sepakat, kalau media yang cocok untuk jadi produk pers kampus adalah jurnal ilmiah. Tidak harus jurnal penelitian lah,
bersambung..tunggu aja..
Read more on this article...
Rabu, 30 Januari 2008
Kemana Pers Kampus Mencari Duit?
Diposting oleh Muhammad Nazarudin Latief di 18.00 1 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)