Senin, 22 September 2008

TRADISI NYADRAN DI TEMANGGUNG



Ramadhan sebentar lagi tiba, satu bulan sebelum ramadhan atau bulan syakban masyarakat menumpahkan sykurnya. Wujudnya bermacam-macam,utamanya adalah mendoakan arwah para leluluhur dan keluarga dekat yang terlebih dahulu menghadap sang Khaliq.


MATAHARI belum meninggi saat masyarakat dusun Pete, Desa Kembangsari, Kecamatan Kandangan berkumpul membentuk barisan panjang di depan Masjid yang mereka sebut sebagai Masjid Agung. Di barisan depan, berjejer Kepala Desa dan beberapa tetua desa. Kades yang bernama Sutiyo ini mengenakan busana jawa lengkap, pun demikian dengan para tetua desa. Di belakangnya, ratusan tenongan yang berisi nasi kuning dan ubo rampe-nya berjajar, dibelakangnya lagi, tua muda warga desa yang menggenakan pakaian terbagusnya, barisan paling belakang adalah
rombongan kesenian tradisional, seperti kuda lumping.

Mereka bersiap menyelenggarakan nyadran, ritual yang biasanya diselenggarakan besar-besaran tiap dua tahun sekali. Sejurus kemudian, Kades menaiki kuda tunggangannya. Dengan gagah dia memimpin barisan rakyatnya menuju komplek pemakaman. Letaknya kira-kira dua kilometer sebelah selatan desa.

Di komplek pemakaman ini bersemayan jazad dua sesepuh desa, yaitu Kyai Keramat dan Kyai Yudo Kusumo alias Joyo Kusumo. Dua tokoh ini diyakini sebagai orang yang meletakan cikal bakal desa. Mereka juga yang memimpin warga desa dalam
perjuangan mengusir penjajah Belanda.

Di komplek pemakaman, ratusan warga desa juga sudah menunggu iring-iringan ini. Ada juga 130 ekor kambing yang siap untuk disembelih, semua berwarna putih. "Hakekat acara ini adalah ungkapan syukur kepada sang pencipta. Setahun ini, kami telah diberi rejeki yang melimpah dan dijauhkan dari bala," ujar Kades, Sutiyoso.

Tiba di pusara Kyai Joyokusumo, Kades menyerahkan sebilah parang kepada Kayim, dia adalah perangkat desa yang mengurusi masalah-masalah keagamaan. Parang bernama Parang Joyokusumo. Konon, dengan parang inilah, Kyai Joyokusumo berjuangan mengusir penjajah Belanda yang menduduki wilayah Temanggung. Sekarang, parang ini adalah alat utama untuk menyembelih kambing-kambing yang akan dikorbankan.

Usai serah terima parang, rombongan pengusung tumpeng Argo Bugo yang juga ikut diarak dalam prosesi pawai kemudian maju mendekati kerumunan warga. Setelah diberi aba-aba, warga langsung merangsek dan meraih sekenanya nasi kuning dan hasil bumi yang menjadi susunan rangkaian tumpeng. Bersamaan, di sisi lain makam, kambing-kambing mulai disembelih, kemudian langsung dimasak di tempat itu pula.

"Kambing-kambing ini adalah sumbangan dari warga. Biasanya, setelah mereka mencapai cita-cita, mereka bernadzar menyumbang kambing pada perayaan Nyadran," ujar salah seorang sesepuh desa, Cipto.

Menurutnya, daging kambing harus dimasak di komplek makam, ada pantangan untuk membawa daging kambing yang masih mentah.

"Ambil saja positifnya dari pantangan ini, kambing-kambing itu bisa dinikmati seluruh masyarakat dengan bumbu seadanya. Kalau di rumah kan bisa dimasak macem-macem. Biar adil," ujarnya.

Acara berhenti sebentar untuk menunaikan ibadah sholat Jum'at. Ba'da Jum'at, mereka kembali lagi ke pemakaman. Kali ini acaranya lebih personal. Masing-masing keluarga membawa tenongan berisi tumpeng dan ingkung -sejenis ayam yang dibakar utuh- ke makam. Mereka kemudian menikmatinya diatas pusara para leluhur keluarga.

"Ini sebenarnya tradisi yang umum dikalangan masyarakat Jawa. Tiap menjelang ramadhan, kami selalu menziarahi makam leluhur, mendoakan arwah mereka," ujar
Cipto. (mn.latief)
Read more on this article...

Selasa, 12 Agustus 2008

MENJELANG PANEN TEMBAKAU DI TEMANGGUNG



Sebentar lagi, panen tembakau tiba, biasanya sekitar bulan juli-september. Bagi masyarakat Temanggung, musim panen tembakau berarti musim pekerjaan. Banyak hal dapat dikerjakan untuk menghadapi moment yang ngrejekeni ini. Bukan hanya para petani dan juragan tembakau, sekedar menyediakan pelepah pisang-pun bisa mendatangkan rejeki.


SEPERTI Lasiyah, perempuan asal desa Caruban, Kecamatan Kandangan. Dengan modal beberapa ratus ribu rupiah, perempuan tua ini mencoba mengadu keberuntungan dengan bisnis musiman. Memasok pelepah pisang kering, bahan utama pembuat keranjang tembakau.

Sebenarnya usaha ini adalah usaha yang rutin dilakukan tiap menjelang panen tembakau. Pelepah pisang selalu menjadi komoditi paling dicari masyarakat petani dan pedagang tembakau.

"Kebutuhan pelepah pisang sangat banyak, kalau hanya mengandalkan pasokan) dari Temanggung tidak cukup. Karena itulah saya terpikir untuk mendatangkan pelepah pisang dari luar daerah," ujar Lasiyah menceritakan asal muasal bisnis musimannya.

Tiap musim tembakau, dia berjualan, menjual pelepah pisang untuk bahan pembuatan keranjang tembakau. Kemudian, dengan bantuan kerabat dan saudaranya, Lasiyah mendatangkan pelepah pisang kering dari Semarang, Demak dan beberapa daerah di Jawa Timur. Pelepah pisang lokal, dari kawasan Temanggung dan sekitarnya juga dia datangkan.

"Pelepah kering ini saya beli Rp20 ribu per ikat besar, isinya sekitar 150 pelepah, " jelasnya.

Pelepah pisang yang didatangkan bukan sembarang pelepah. Kriterianya, kuat, ulet dan besar. Biasanya pelepah pisang yang memenuhi kriteria tersebut adalah pelepah pisang jenis Raja dan Kepok. Bersama dengan para tetangganya, pelepah pisang dengan kriteria seperi yang disebut diatas dipilah. Kemudian dilipat dan siap dipasarkan, prosesnya mudah dan sederhana. Perikat pelepah dijual dengan harga Rp30 ribu.

Biasanya, dalam satu musim tembakau, setidaknya 4 truk pelepah pisang kering dia datangkan. Menurutnya, semua pelepah pisang yang dia datangkan terjual habis. Hasilnya lumayan, bisa membantu keuangan keluarga.

"Pelepah lipat ini saya jual ke pasar-pasar di Temanggung, sebagian lagi sudah dipesan orang," paparnya.

Tahun ini menurut pengamatannya, dari musim dan cuaca dari awal penanaman hingga hari-hari menjelang panen tembakau, hasil panen diprediksi baik. Kecuali beberapa wilayah yang terkena serangan ulat daun dan akar.

Cuasa seperti ini diyakini bisa menghasilkan tembakau Srintil, suatu jenis tembakau dengan kandungan nikotin tinggi dan bisa terjual ratusan ribu rupiah perkilo.

"Kalau sudah seperti ini, biasanya berapun pelepah pisang yang saya stok, pasti habis terjual. Moga-moga ini jadi rejeki saya ya," ujarnya berharap.

Karsih, salah seorang tetangga yang membantu pekerjaannya, mengaku mendapat upah Rp20 ribu untuk satu hari kerja. Jika dia bekerja borongan upahnya Rp4 ribu ripiah untuk per pelepah lipat yang cukup untuk membuat satu keranjang tembakau.

"Ini memang kerja musiman, tidak tiap hari. Tapi hasilnya lumayan. Saya sudah tidak kuat lagi bekerja sebagai buruh tani tembakau," ujar nenek berusia 60 tahun ini.

Sejak kecil, Lasiyah, Karsih dan perempuan-perempuan lain di desa Caruban sudah akrab dengan tembakau. Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak bisa menaman tembakau. Apa sebab? Seperti umumnya petani di Indonesia yang berlahan sempit, tingkat kepemilikan lahan di wilayah penghasil tembakau ini juga tidak lebih dari 0,5 hektar per KK. Akhirnya mereka hanya menjadi buruh tani.

Pekerjaannya antara lain menaman dan memetik daun tembakau saat panen. Selain itu, juga ikut merajang, mengeringkan dan mengepak tembakau dalam keranjang. Tiga pekerjaan terakhir, kebanyakan dilakukan oleh kaum laki-laki, karena memerlukan keahlian khusus dan dukungan tenaga yang kuat. Namun begitu perempuan seperti Lasiyah dan Karsih tak sedikit yang ikut terlibat.

"Saya ini memang tidak punya lahan, tapi kalau musim panen, usaha pelepah pisang ini juga lumayan mendatangkan rejeki,: ujarnya terkekeh.

Dari remah-remah panen tembakau, Lasiyah, Karsih dan perempuan-perempuan lain di wilayah penghasil tembakau ini juga kecipratan rejeki. Jadi jangan tanya berapa penghasilan para petani besar dan juragan tembakau di Temanggung musim panen ini. (mn.latief)
Read more on this article...

Rabu, 16 April 2008

22 Tahun Dalam Pasungan



Marsono, 35, warga Dusun Gendungan, Desa Kemloko, Kecamatan Kranggan, Temanggung, harus melalui hari-harinya dengan dipasung. Tidak tanggung-tanggung dia telah menjalani hidup dengan rantai besi yang diikat pada sebongkah kayu selama 22 tahun, sejak umurnya masih belia.



Penyakit gila ini diderita Marsono ketika baru menginjak usia 13 tahun, saat duduk dibangku SMP. Sejak itu Marsono kerap menunjukan perilaku marah dan agresif. Kerap kedapatan tengah berteriak, memaki dan membabati tanaman milik tetangganya. Sepertinya dia ingin melampiaskan kemarahan yang dipendam sekian lama.

Menyaksikan tanamannya habis dibabat Marsono, warga setempat beramai-ramai mengikat dan memasung pria malang ini. Semenjak itu, dia menjalani hidup dalam pasungan di ruang berukuran tiga kali empat meter, bersama adiknya yang juga diduga menderita penyakit serupa. Dua anak pasangan Mardjo (alm) dengan Tuwuh, 70, ini memang dinilai sakit jiwa sejak kecil.

Berbeda dari kakaknya, Puji cenderung pendiam. Menurut keterangan warga, Puji bahkan sama sekali tak pernah mengganggu orang lain. Puji tak pernah memaki, berteriak ataupun membabat tanaman milik warga. ''Puji meninggal dalam pasungan sekitar dua tahun lalu,'' kata Ani, 36, tetangganya. Warga juga khawatir, jika Puji berulah sama dengan kakaknya.

Di rumah setengah jadi berdinding batu bata, dengan jendela dan pintu terbuka, tampak Marsono
tengah berdiri sambil berteriak-teriak layaknya orang tengah berorasi. Kedua tangannya diborgol palang besi dan kedua kakinya dijepit kayu dan lempengan besi.

Saat ditanya perihal ibunya, sejenak Marsono terdiam, lalu dia menunjuk dengan wajahnya ke arah rumah yang ditempati ibunya, tak jauh dari tempatnya berdiri. Sebelum kembali 'berpidato' di
jendela tanpa kaca, Marsono sempat mengucapkan terimakasih atas pemberian uangnya. "Matur nuwun, mas", katanya.

''Waktu SD, perilaku Marsono biasa saja seperti anak-anak lain, tidak menunjukkan kalau dia gila,'' ujar Tutuk, 35, teman sekelas Marsono sewaktu di SD. Bahkan, katanya, pada saat masuk SMP pun kondisi kejiwaan Marsono cenderung stabil. Namun belum sampai setahun Marsono duduk di bangku SMP tabiatnya berubah. Dia mulai sering ngamuk sehingga terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Setelah keluar dari sekolah itulah, kata Tutuk, temannya itu sering berulah dengan berteriak-teriak sendiri dan marah.

Ketika ditemui, Ny Tuwuh tidak bersedia bercerita ihwal pemasungan kedua anaknya. Perempuan itu lebih banyak diam sembari meneteskan air mata. Wanita tua itu mengaku pasrah dengan kondisi anak lelakinya. "Saya pasrah dengan apapun yang terjadi pada anak saya. Memang begitu keadaannya, kurang waras. Saya juga tidak tahu apa sebabnya. Dari pada ngamuk dan menyusahkan orang lain, lebih baik Marsono diikat saja", katanya

Karena alasan kemiskinan, orang tua Puji dan Marsono tidak mampu membawa anaknya berobat ke RS Jiwa. Bahkan ketika warga mengambil inisiatif memasung kedua putra mereka, Mardjo dan Ny Tuwuh hanya bisa pasrah dan merelakan kedua anaknya hidup dalam pasungan bertahun-tahun lamanya.
Dulu sebelum suaminya meninggal, keduanya bergantian mengantar makan dan minum untuk anaknya tiap hari. Sesekali mengganti pakaian yang sudah kotor dan berbau.

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Temanggung, Masrukhi, menegaskan bahwa masalah pemasungan atas diri Marsono bukanlah tanggung-jawabnya."Itu jelas bukan tanggung jawab kami. Tanggung-jawab kami hanyalah rehabilitasi setelah pasien sakit jiwa diyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit jiwa,"katanya.

Hal senada juga disampaikan Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung. "Masalah pemasungan Marsono, bukan wewenang kami, " kata Kabid Pengamatan dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Temanggung, Edy Rakhmatto. (mn.latief)
Read more on this article...

Senin, 07 April 2008

You Must Go to Dieng Before you Die


ini versi lengkap dari liputanku yg dimuat cuma 2 paragraf di koran tempat ku bekerja..

Catatan dari Wartawan Menanam 2008
You Must Go to Dieng Before you Die

"Dieng yang saya kenal waktu saya kecil adalah kawasan yang asri, hijau, dan banyak pepohonan. Berbeda dengan kondisi Dieng sekarang, kondisinya sudah sangat berbeda, dieng sekarang gundul, mata airnya banyak yang mati, mengandung banyak sekali potensi bencana ekologis, wisatawanpun tak banyak lagi berdatangan," ujar Woro (37th). Perempuan kelahiran Dieng yang saat ini menjadi penyuluh pertanian, tampak kikuk mengutarakan unek-unek seputar tempat kelahirannya di depan Menteri Komunikasi dan Informasi, Muhammad Nuh, Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz, Bupati Wonosobo Kholiq Arif, Ketua PWI Pusat Tarman Azzam, dan sejumlah tokoh nasional lain.


"Sebetulnya masih banyak lagi yang ingin saya ungkapkan, tapi aksi "Wartawan Menanam" ini saya pikir sudah cukup mewakili bahwa kita sekarang perlu segera melakukan rehabilitasi lingkungan dengan serius, namun perlu saya ingatkan, bahwa menanam itu mudah, tapi memeliharanya memerlukan upaya konsisten," tambahnya.

Woro, adalah salah satu dari ribuan orang yang hadir dalam kegiatan "Wartawan Menanam" yang dipusatkan di Objek Wisata Telaga Menjer, desa Maron, Kecamatan Garung, Wonosobo, minggu (27/01). Sebelumnya, para tokoh bersama dengan masyarakat sekitar melakukan penanaman sekitar 26.000 bibit pohon berbagai jenis di kawasan yang disebut Bukit Wartawan. Kegiatan ini merupakan awalan dari rangkaian peringatan hari pers nasional yang akan dipusatkan di semarang tanggal 7-10 Februari 2008 mendatang.

"Wartawan sekarang sudah mempunyai bukit sendiri, mereka bukan lagi sekedar tukang kritik terjadinya kerusakan alam, penggundulan hutan, pembalakan liar, deforestation, yang menjadi penyebab aneka bencana alam dari banjir, tanah longsor sampai keringnya mata air. Wartawan sudah memberi teladan bahwa spirit menanam dan menyelamatkan lingkungan bukan sekedar seremonial, tapi harus dilaksanakan secara konsisten," ujar Bupati Wonosobo Kholiq Arif.

Bupati yang juga mantan jurnalis ini, mengatakan bahwa wartawan mempunyai peran signifikan untuk mengkampanyekan upaya penyelematan lingkungan. Kapasitas wartawan dalam pemberitaan akan sangat mendukung pembentukan mental masyarakat yang mencintai, menghargai dan pada ahirnya melakukan upaya penyelamatan lingkungan secara mandiri."Seorang wartawan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi opini publik, kemampuan harus diarahkan untuk membangun pikiran-pikiran positif mengenai gerakan konservasi dan penyelematan lingkungan lain,"ujarnya.

Telaga Menjer, adalah kawasan genangan air yang terbentuk karena cekungan bekas kawah, berada di deretan pegunungan dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau). Air dari telaga menjadi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Garung. Dari tahun ke tahun debit airnya semakin menurun. Penurunan debit air ini, memicu kekhawatiran akan umur PLTA Garung yang semakin pendek dan kelak akan semakin memperumit masalah krisis energi. Secara umum Dieng Plateau adalah daerah penyangga penting di Jawa Tengah. Di kawasan ini terdapat Tuk Bimo Lukar, mata air Sungai Serayu yang mengaliri sedikitnya 13 Daerah Aliran Sungai di Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. Selain itu, karena topografinya paling tinggi, Dieng juga menjadi penyangga bagi minimal 5 daerah di bawahnya, seperti Kab Kendal, Kab Temanggung, Kab Banjarnegara, Kab Pekalongan, dan Kab Batang.

"Dieng itu jantungnya Wonosobo, dan jantungnya Jawa Tengah," ujar gubernur Jateng, Ali Mufiz. Senada dengan pejabat lain, Gubernur juga menekankan pentingnya konservasi di daerah Dieng. Menurutnya, jika lingkungan di Dieng rusak maka rusak pula lingkungan di Jawa Tengah.

Tentang rehabilitasi di Kawasan Dieng, Bupati Wonosobo mengaku sudah mempunyai skema tersendiri. Skema ini disebut skema prismatik, yaitu skema yang menghubungkan aspek sosial, ekonomi dan penyelamatan lingkungan sebagai dasar pelaksanaan upaya rehabilitasi lingkungan di Dieng. "Jangan sampai kita terjebak pada paradigma yang salah mengenai lingkungan, upaya penyelematan lingkungan tidak boleh menyingkirkan aktifitas ekonomi masyarakat" ujar Bupati.

Pihaknya akan melibatkan berbagai instansi yang bisa diajak bekerjasama menyelamatkan Dieng. Pihak pertama yang akan dilibatnya adalah Perhutani, tanah seluas 40.000 ha yang dikelola Perhutani di Daerah Dieng saat ini adalah kawasan yang bisa diwujudkan sebagai penggerak ekonomi pertanian masyarakat sekitar. "Ada banyak sekali komoditas yang bisa dikembangkan di kawasan ini. Bukan hanya Kentang yang nyata-nyata bisa merusak keseimbangan alam," jelasnya.

Berbagai jenis tanaman obat, seperti Purwaceng, Temulawak, Kunir Putih, empon-empon menurutnya akan tumbuh dan produktif jika ditanam di dearah yang mempunyai ketinggian seperti Dieng. Terpenting adalah tanaman ini meninggalkan dampak kerusakan lingkungan yang parah. "Tunggu apalagi, sudah banyak perusahaan jamu yang menunggu produk tanaman ini dari dieng, artinya masyarakat tidak perlu merasa khawatir produknya tidak laku," ujar bupati.

Revitalisasi Dieng ditunggu banyak orang, kata Tarman Azzam, Ketua PWI pusat yang menyempatkan diri berkunjung ke Dieng tiap tahun. "Ada peribahasa, berkunjunglah ke Roma sebelum mati, saya menunggu kapan saya bisa mengatakan, you must go to dieng, before you die dengan bangga' ujarnya. (m.n.latief)
. Read more on this article...

Jumat, 21 Maret 2008


Kalau liat keadaan yang seperti di poto itu, kayaknya LSM lingkungan masih sangat penting di negara kita. Bukan sedang meninggikan peran LSM dan merendahkan peran negara, yang namanya disaster management harus disengkuyung bareng, state dan civil society. Read more on this article...

Kamis, 28 Februari 2008


Kira-kira, saya pantas tidak punya rumah seperti ini. Kata Mandra, wartawan Suara Merdeka, saya pantas sekali berpose di depan rumah ini. "Itu dah pantes jadi rumah lo, dengan menggandeng dua istri disebelah mu. Satu luna maya yang satu lagi terserah lo,"ujarnya kagum.
Kata Teguh, pemuda tukang gelut itu. "Wah omahmu tip, sangar hebat, dadi orkay niy, mbok bagi2 warisan," ujarnya.
Kata saya, ini ada orang kaya iseng biki rumah seindah bokong J.Lo, tapi ga dipake. Mubazir.. Read more on this article...

Jumat, 15 Februari 2008

Juni menikah



"Biar kalian mendahuluiku lulus kuliah, tapi soal menikah aku lebih segala-galanya dari kalian," ujar juni, si mempelai laki-laki.

Soal ini dia memang lebih hebat dari kami, tapi ingat hanya soal ini saja.. Read more on this article...

Rabu, 30 Januari 2008

Kemana Pers Kampus Mencari Duit?

Awal tahun ini, tepatnya tanggal 1 januari 2008, saya terlibat pembicaraan agak menarik dengan Andrie dan Wiwik di Lumbung Resto, nama lengkapnya Lumbung Resto and Coffeehouse, letak café ini sekitar 300 meter arah utara kampus FISIP Unsoed, tepatnya di depan SPBU Pabuaran, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas. Lumbung Resto ini menurut saya adalah salah satu restoran yang berusaha keras memenuhi standar penyajian. Dari mulai appetizer, main course sampai dessert disajikan berurutan.

.Misalnya anda memesan dessert, sementara teman anda memesan main course, maka pesanan anda ini akan diantar nanti setelah teman anda menyelesaikan main course-nya. Standar kan? Kata Shanti, teman saya yang wartawan kuliner itu, restoran seperti ini disebut fine dining resto.
Kata Shanty lagi, budaya kita sudah lama mengenal urut-urutan penyajian makanan seperti ini, “Standar penyajian makan raja juga seperti ini”, kata wartawan berbodi agak bengkak ini. Shanti memang sengaja saya hubungi untuk menjelaskan seluk beluk penyajian restoran standar.
Berdasarkan informasi dari Shanti, saya berani mengambil kesimpulan kalau Lumbung Café ini gak fine-fine banget. Di beberapa sudut resto, ada tempat lesehan. Saya pikir, lesehan tidak masuk salah satu criteria restoran untuk bisa disebut fine dining resto. “Kalo gitu sebut aja semi fine dining resto, tief”, ujarnya.
Saya dan Wiwik datang belakangan. Ga bosen-bosen saya dengan Wiwik ini, padahal malamnya saya sudah menghabiskan pergantian tahun dengannya, eh siangnya, sudah bareng lagi. Thanks for sweet old and new party ya..
Sambil menunggu kami datang, Andri memesan light meal, namanya Lumbung Sampler, ada keranjang kecil dari anyaman bambu yang berisi kentang goreng, sosis, dan 3 butir jenis bakso-bakso-an. Ada juga sedikit sayur, kubis, kol dan timun yang diiris kecil-kecil. Minumnya Red and Glamour, ini campuran strawberry, gula pasir dan susu, tentu saja diblender.
“Buat memancing selera” katanya. Selera kok dipancing. Paus kalee..
Main cource-nya Andri memesan Ayam Betutu. Kata pegawai resto yang melayani pesanan kami, ayam olahan itu adalah menu andalan Lumbung Resto. Aneh juga ya, restoran di Purwokerto kok menu andalannya ayam khas Bali, ga nyambung bo! Wiwik pesan Nasi Goreng Jawa Khas Lumbung, kalau ini lumayan lah, ada nama resto yang nempel di menu. Telornya, Wiwik minta digoreng, perempuan manis ini tidak suka telor ceplok. Setelah mencicipi sedikit, sayapun akur, rasanya memang Jawa banget.
“Telor kalau di celpok rasanya jadi aneh”, ujarnya dengan raut agak gigu. Wiwik pesan Lemon Squash untuk minumannya, kalau minuman ini, campuran jeruk lemon dan teh. Pesanan saya cukup mango blend, rujak sayur yang saya beli di warung sebelah kos-kosan cukup memenuhi rongga perut. Masih wareg.
Baiklah sodara-sodara, saya tidak akan panjang lebar menulis wisata kuliner kami, saya ingin menulis tentang materi obrolan kami di resto itu.
“Ada diskusi menarik di Forum Warteg”, kata Andri membuka obrolan, sesekali tangannya sibuk nyewir Ayam Betutu pesanannya. Forum Warteg adalah milis orang-orang yang dulu pernah nongkrong dan sering berdiskusi di Warteg depan FISIP UNSOED, pada masa jayanya warteg adalah salah satu barometer gerakan mahasiswa di Purwokerto. Saya dan Andri ikut milis itu sejak milis didirikan, sekitar tahun 2004, moderatornya Mas Ipul, senior kami mantan wartawan Tempo, sekarang Mas Ipul sedang membesarkan Koran barunya, Joglo Semar yang berbasis di Solo. Sementara Wiwik belum bergabung di milis, “Dari dulu ga sempat ndaftar” katanya.
Obrolan atau tepatnya “berbalas email” itu diawali dari email Fadli, dia Pemimpin Redaksi LPM Solidaritas FISIP Unsoed. Perihal-nya tentang pembukaan lowongan sumbangan dana untuk penerbitan Majalah Solidaritas. Gampangnya gini, “Semua alumni Solid (nama pendek Solidaritas) dan orang-orang yang pernah bersentuhan dengan Solid dimohon untuk menyisihkan sebagian pendapatannya guna menambah dana penerbitan majalah” demikian kira-kira intisari tulisan Fadli di email.
Tema majalah yang akan diterbitkan adalah PILKADA Banyumas, karena itulah dalam surat permohonannya Fadli tegas menyortir sumbangan yang berasal dari proses politik di Banyumas. Hanya dana-dana dari individu dan alumni yang tidak terindikasi terlibat dalam proses politik Banyumas yang diterima Solidaritas.
“Ingin menjaga independensi, tema ini sangat sensitif”, katanya.
Sebelum jauh ngomong tentang “permohonan bantuan duit” ini, saya ingin jelaskan latar belakang mengapa kami tertarik dengan obrolan galang-menggalang dana majalah.
Andrie dan Wiwik adalah dua orang mantan anggota Lembaga Pers Mahasiswa Sketsa UNSOED. Sketsa ini LPM tingkat universitas, di UNSOED memang ada pers kampus tingkat fakultas, dan tingkat universitas, lembaga pers di dua tingkat ini berjalan sendiri-sendiri, tidak ada subordinasi.
Mereka pernah menduduki jabatan Pemimpin Umum, jabatan puncak di organisasi mereka, tentu dengan periode yang berbeda, Wiwik ini adik angkatan Andri. Saya sendiri adalah mantan Pemimpin Redaksi LPM SOLIDARITAS FISIP UNSOED. Bukan jabatan puncak seh, tapi lumayan lah, masuk jajaran elit kepengurusan.
Kesimpulan saya, forum tersebut layak untuk membicarakan penggalangan dana buat pers kampus, walaupun dunia pers kampus sudah lumayan jauh kami tinggalkan. Cukup compatible lah…
Nah, ternyata sortiran Fadli atas dana yang masuk mendanai penerbitan inilah salah satu pangkal perdebatan. Hendro Gajah, mantan mahasiswa Administrasi Negara angkatan tua banget pernah mencibir dalam forum, "Ga usah pusing, duit itu dari setan atau iblis, yang penting independesi tidak tercerabut, dan majalah bisa terbit," tulisnya.
Kalau Uung, yang mulutnya tidak pernah berhenti mengejek manusia lain itu berkomentar agak realistis, menurutnya semua pilihan ada di tangan generasi Solid sekarang. Duit sumbangan tidak bisa terlepas dari siapa yang memberi duit dan plus kepentingannya. Dia mencontohkan, jika anak-anak solid mendapat duit dari Amang pasti orang akan berpikir kalau Solid menerima duit dari PDI Perjuangan, karena setulus-tulusnya Amang tidak mungkin lepas dari anggapan bahwa dia adalah aktifis yang sekarang bergabung ke partai moncong putih itu, begitu katanya. Wah susah juga ya..
Komentar lainnya senada, Dewo yang wartawan Republika, Burhan wartawan Suara Merdeka, Syarif kolega Burhan. Kalau Barid, si penguasa kenop gerakan sosial baru itu, saya lupa komentar atau tidak dalam soal ini, tapi kalo komentar pun paling tidak mutu. Intinya agar menjaga independensi pers kampus, termasuk soal duit.
Kembali ke lumbung resto. Dalam diskusi awal tahun itu, saya punya pikiran begini, pers kampus tak ubahnya media komunitas lain. Seperti komunitas petani, pedagang, buruh dan lain-lain. Media komunitas yang baik adalah media yang dihidupi oleh komunitas itu juga. Bahasa sederhananya, komunitas memiliki sense of belonging, handarbeni, rasa memiliki terhadap media. Jadi misalnya media kampus ini tak segera terbit, anggota komunitas akan mempertanyakannya, ingin tahu, kenapa bisa tak terbit, apa seh kendalanya. Komunitas tidak rela untuk tidak menyimak terbitan terbaru media itu. Kayak salah satu klub sepak bola di EPL itu lho, jadi ada satu klub yang terancam bangkrut, nah para supporternya bantingan biar klub tutup usia, jadilah sekarang saham mayoritas klub itu dimiliki oleh para fans. Begitulah kira-kira.
Untuk bisa diterima dan dihidupi oleh komunitasnya, media harus menyediakan kebutuhan-kebutuhan komunitas. Misalnya kajian-kajian alternatif yang mendukung kuliahnya, atau analisis yang bisa jadi referensi tambahan, karena perpus minim koleksi misalnya. Jadilah media ini pride, kebanggaan komunitas.
Dulu waktu saya masih jadi aktifis pers kampus, saya berangan-angan bahwa media kampus nantinya berisi tulisan-tulisan tentang kampus, dihidupi oleh pembeli mahasiswa, dan iklan-iklan seputar kampus. Media kampus ini menjadi alternatif yang ditunggu banyak orang di kampus. Sayangnya, sampai akhir hayat di pers kampus, angan-angan itu tak kunjung terwujud. Paling banter, selama jadi pemred di Solidaritas, saya hanya bisa menerbitkan beberapa buletin Belik, nir majalah yang sampai akhir kepengurusan tak tergarap. Tapi lumayan, waktu itu bulletin Belik yang kami terbitkan selalu ludes diserbu pembeli. Tapi angka penjualan ini tidak berhasil menolong waktu kami mempertahankan LPJ kepengurusan, tetep aja ditolak forum. Hiks sedih.
Diakhir obrolan kami sepakat, kalau media yang cocok untuk jadi produk pers kampus adalah jurnal ilmiah. Tidak harus jurnal penelitian lah,
bersambung..tunggu aja..
Read more on this article...