Senin, 17 Desember 2007

Air dan Kehidupan

Kehidupan, konon hanya ada di planet bumi. Di planet inilah ada kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Menurut para ahli, kehidupan di bumi ini ada karena terdapat unsure udara dan air, unsure paling penting penentu kehidupan. Hal ini dulu sering kita dengan waktu kita mendapat pelajaran IPA, jaman kita sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, kita diberi tahu jika air adalah unsure utama pembentuk kehidupan di muka bumi.

Kesadaran kita tentang air berbeda dari jaman kita kecil. Dulu kita asyik saja bermain air, dus-dusan sampai mata memerah dan kulit legam. Sekarang kita menyadari bahwa tanpa air irigasi sawah kering dan tak berproduksi. Tanpa air ledeng yang mengalir lancar, keluarga-keluarga di kota tergangu irama kehidupannya. Bahkan di kota-kota besar, setiap keluarga harus menyiapkan rupiah dalam jumlah yang tidak sedikit untuk menghadirkan beberapa jerigen air di dapur. Kita juga mulai dengan serius berteriak tidak setuju ketika hutan banyak digunduli, karena kita tahu hutan adalah spon raksasa penyimpan air.
Secara alamiah, air menempati posisi yang unik bahkan sentral dalam kehidupan kita. Vandanashiva seorang aktifis lingkungan dunia menyebut air sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan, karena itulah air harus dijaga dengan benar agar kehidupan manusia tidak terganggu. Dalam pandangan yang lebih kapitalistik, Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, barang tambang yang hanya bisa diperoleh dengan mengebor sedalam ribuan kilometer ke dalam perut bumi, perang masa depan dipicu oleh air.
Sesungguhnya, ada landasan etik pengelolaan air. Karena semua orang di dunia membutuhkannya, air tidak boleh dikelola selayaknya komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan besar.
Pertanyaannya adalah mengapa air menjadi memiliki nilai ekonomi sedemikian tinggi?
Read more on this article...

Kamis, 13 Desember 2007

Banyumas yang Mengering

Ini kejadian rutin di Purwokerto, khususnya di perumahan-perumahan yang menjadi pelanggan PDAM. Tiap memasuki musim kemarau, sekitar bulan Juli, aliran ledeng ke rumah mereka crat-crit, tidak lancar dan hanya air mengalir beberapa jam sehari. Termasuk perumahan di seputar Universitas Jenderal Soedirman, padahal jaraknya hanya beberapa kilometer dari daerah resapan air di Baturaden.

“Dua tahun saya ngontrak di GS (Perum Griya Satria), tiap kemarau, mandi selalu ngungsi”, ujar Priyo (22 th), mahasiswa FISIP Unsoed asal Tegal. Priyo juga mengaku sering begadang, menunggu ember dan bak mandinya terisi penuh. Di perumahan tempat dia tinggal, biasanya ledeng kembali mengalir tengah malam sampai dini hari.
Keluhan sama juga diungkapkan oleh Heri (35 th) seorang PNS di Balai Pelelangan Ikan Cilacap yang tinggal di perumahan Tanjung Elok Purwokerto. Jika memasuki musim kemarau, ledeng di rumahnya tidak pernah lancar. “Kalau sudah terang (kemarau) repot mas” ujarnya.

Masalah PDAM
Ketika ditanya apa penyebabnya, serentak mereka menuding PDAM Banyumas sebagai biang keladi masalah ini. Menurut mereka, BUMD ini tidak memiliki skema alternative untuk mengatasi keluhan pelanggan yang tiap tahun berulang.
“Masa dari tahun ke tahun tidak pernah ketemu solusinya?”, ujar Heri.

PDAM Banyumas memang pantas pusing. Kondisi perusahaan tak cukup menggembirakan, saat ini kapasitas produksi mereka 517,98 Liter/detik. Dengan kapasitas itu, mereka hanya bisa melayani 66,91 persen di Kota Purwokerto, 42,90 persen dari kota se Kabupaten Banyumas, dan 15,2 persen dari Kabupaten Banyumas, itupun dengan layanan yang pas-pasan bahkan cenderung kurang.

Kesulitan yang dihadapai PDAM adalah sumber air baku yang semakin sulit didapat. Data yang diperoleh dari Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan dan Lingkungan (DKSDHL), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Banyumas, membenarkan alas an ini. Pada bulan Agustus 2007 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas hanya tinggal 500 titik, padahal di tahun 2002 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas mencapai 3.002 titik. Secara umum inilah penyebab utama krisis air bersih di 57 desa Banyumas akhir-akhir ini.

Selain persoalan pasokan air baku, 30 persen sarana prasarana produksi dan distribusi air milik PDAM dalam kondisi rusak, usia peralatan teknis itu telah lebih dari 20 tahun, bahkan ada berapa peralatan peninggalan pemerintah colonial Belanda yang masih digunakan. Problem-problem tersebut menumpuk dan sulit diatasi, pada akhirnya, pelangganlah yang tiap tahun merasakan ledeng yang macet, dan air yang crat-crit, keruh, bahkan berbau.

Kekeringan Parah
Kabupaten Banyumas dengan topografi wilayah yang berbukit-bukit memang memungkinkan terjadi kekeringan di musim kemarau. Terdapat 40 desa yang tersebar di 12 kecamatan di Banyumas yang menjadi langganan kekeringan. 12 kecamatan itu adalah Kebasen, Rawalo, Sumpiuh, Tambak, Kalibagor. Kecamatan lainnya Wangon, Somagede, Rawalo, Cilongok, Jatilawang, Ajibarang, dan Gumelar.
Kekeringan di tahun 2007 ini lebih parah dari tahun kemarin, di Kecamatan Tambak dan Sumpiuh, pada bulan Agustus 2007 sudah mengalami instrusi. Intrusi adalah gejala alam berupa masuknya air asin ke daratan. Gejala ini disebabkan rendahnya permukaan air tawar. Selain itu, kejadian ini juga dipicu oleh rusaknya klep pengatur pembuangan, sehingga air laut samudra hindia yang berjarak 30 km dari sebelah selatan kecamatan tersebut masuk ke sungai-sungai dan akhirnya meresap ke sumur warga. Biasanya intrusi terjadi saat kemarau mencapai puncaknya, kisaran bulan November, tapi tahun ini intrusi sudah terjadi di bulan Agustus.
Secara umum disebutkan dalam surat surat edaran Provinsi Jawa Tengah No. 360/8476 tertanggal 14 Juli 2003 bahwa, 29 kabupaten di Jawa Tengah mengalami kekurangan air bersih. Di karesidenan Banyumas dan Pekalongan terdapat 9 kabupaten yang mengalami kekurangan air. Tercatat 327 desa di 57 kecamatan yang tersebar di Kabupaten Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga dan Cilacap mengalami kekurangan air bersih.
Dampak paling terasa adalah kesulitan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Di desa Kedungwuluh Lor, Kecamatan Patikraja misalnya, Selama musim kemarau, mereka harus mencari ke sejumlah mata air di luar desa yang jarak tempuhnya mencapi 1,5 km. Sementara bantuan air bersih dari PEMKAB Banyumas hanya berkisar 4000 liter. Jumlah tersebut tidak cukup untuk memasok kebutuhan ribuan warga. Akibatnya, pembagian air bantuan pemerintah selalu diwarnai dengan rebutan air, dan keluhan tidak memperoleh jatah air bersih. Masyarakat di Kecamatan Sumpyuh warga terpaksa memilih mencari air ke desa tetangga yang letaknya sekitar 3-5 km. Bahkan sebagian dari mereka mencari air hingga ke Rowokele dan Ayah di Kabupaten Kebumen.
Kekeringan juga mengancam kondisi ketersediaan pangan. Pada minggu pertama Agustus 2007 kekeringan di Jateng sudah melanda sekitar 108.000 hektar lahan sawah dengan kondisi puso sekitar 10 persen. Akibatnya, pada tahun 2007 ini, produksi padi diperkirakan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ramalan II 2007 menunjukkan angka perkiraaan produksi padi dalam setahun hanya sebesar 8,38 juta ton dengan luas panen selama tahun 2007 hanya seluas 1,56 juta hektar. Berbeda dengan tahun 2006, angka produksi mencapai 8,73 juta ton, angka tertinggi sejak tahun 2000. keberhasilan ini berkat dkungan curah hujan, saat itu jumlah lahan panen mencapai 1,66 juta hektar dengan kondisi puso hanya 6.000 hektar.

Kerusakan Ekosistem
Kekeringan dimusim kemarau dan banjir di musim hujan sepertinya sudah menjadi agenda rutin dalam kehidupan kita. Jika sudah seperti ini, bukan lagi fenomena alam biasa. Kenyataan ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan ekosistem, sebabnya adalah kerusakan lingkungan yang parah. Masyarakat kadang salah memahami, kekeringan dan banjir sering dianggap bencana alam, padahal bencana-bencana alam ini bukanlah suatu kondisi yang begitu saja terjadi, tetapi akibat yang muncul dari akumulasi berbagai kerusakan di bumi.
Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyumas menunjukan kerusakan ekosistem banyak dipicu oleh aktifitas ekonomi manusia. Penebangan hutan menjadi salah satu sebab kerusakan alam. Menurut Wisnu Hermawanto, Kepala Dishutbun, setiap hari ada sekitar 500 meter kubik kayu di Banyumas yang ditebang. Jumlah tersebut setara dengan 1.500 batang pohon. Padahal, mata air membutuhkan sedikitnya 400 batang pohon sebagai penyimpan air. Jika tidak ada upaya serius untum menghentikan penebangan dan reboisasi, Wisnu memperkirakan dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, di Banyumas sudah tidak ada lagi mata air.
Penebangan memberikan implikasi buruk bagi hutan, padahal hutan memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air, berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro, dan mampu mencegah terjadinya bencana-bencana longsor, banjir, serta melindungi kawasan di bawahnya dari angin ribut. Akibat minimnya hutan, air hujan tidak dapat tertahan sehingga lari ke lahan yang lebih rendah dengan menggerus lapisan tanah atas (top soil) yang subur. Kondisi ini memaksa petani untuk memberi pupuk kimia agar tanahnya subur. Dampaknya, berbagai zat kimia tersebut mencemari air tanah dan mempersulit warga memperoleh air bersih.
Selain kerusakan hutan, penyedotan air tanah turut memberi andil bagi kekeringan. Kualitas dan kuantitas air merosot akibat penyadapan besar-besaran guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, rumah sakit, hotel, dan restoran.

Upaya Konservasi yang Serius
Sesungguhnya, tidak sulit untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem. Kita hanya memerlukan komitmen dan keingingan yang kuat untuk melaksanakan konservasi secara konsisten. Masalahnya sekarang, lingkungan tidak pernah dilihat dalam bagian yang intergral dalam pembangunan. Lingkungan telah dieksploitasi demi meningkatkan devisa dan mendongkrak pendapatan baik di daerah maupun secara nasional, namun upaya tersebut tidak dibarengi dengan penyelamatan dan rehabilitasi.

Menurut Dani Armanto, coordinator Komunitas Peduli Slamet (Kompleet) perlu langkah-langkah strategis dalam memulai usaha penyelamatan lingkungan. Pertama adalah membangun padangan bahwa lingkungan adalah bagian integral dari pembangunan. “Dampak pembangunan ekonomi terhadap lingkungan, social dan budaya harus diperhatikan. Harus ada kerangka dan mekanisme untuk meminimalisir dampak buruk pembangunan”, ujar Dani.
Investasi juga harus mendapat perhatian yang serius. Kadang investasi justru menjebak masyarakat sehingga menumpulkan kemampuan masyarakat untuk memobilisasi sumberdaya yang dimiliki. Bahkan, investasi juga medorong masyarakat untuk melepas asset yang dimiliki. Kawasan wisata Baturaden misalnya, di daerah tersebut, sebagai besar tanah sudah dimiliki oleh investor, masyarakat berbondong-bondong menjual tanahnya untuk mendapat keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Akibatnya, masyarakat di daerah tersebut tidak dapat menjadi pemain utama dalam usaha yang banyak ada disana, mereka hanya menjadi pemain pingiran dan bertebaran di sector informal. Pemerintah tidak harus selalu mengandalkan investasi untuk membiayai pembangunan daerah, namun ada kerangka untuk memaksimalkan penggunaan asset-asset yang dimiliki masyarakat.

Untuk mengembalikannya, perlu dilakukan penataan ulang struktur agraria. Reforma agraria adalah langkah untuk mengembalikan kemampuan produksi masyarakat dalam bidang pertanian sebagai pondasi utama pembangunan daerah. Langkah dalam redistribusi asset juga harus diikuti kebijakan yang berpihak pada pembangunan pertanian misalnya, proteksi, pengembangan kapasitas sumber daya manusia petani.

Di kalangan elit pemerintahan baik legislative maupun eksekutif juga harus dilakukan gerakan pembersihan dari mafia-mafia perijinan dan proyek. Mereka inilah yang merusak kerangka pembangunan daerah. Mereka hanya mengejar keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Read more on this article...

Sabtu, 08 Desember 2007

Kisah Cinta

Kata orang, jika barangnya panas, jangan disimpan lama-lama, tanganmu bisa terbakar, minimal sedikit melepuh atau kemerahan. Benar juga, barang yang didapat tanpa melewati prosedur semestinya, memang membuat pusing. Seperti uang hasil korupsi mungkin. Kira-kira demikian pelajaran yang bisa dipetik dari kisah yang akan saya ceritakan.

Untuk catatan, kisah ini saya kategorikan sebagai cinta, tapi bukan kisah cinta saya, jadi jangan pernah mencoba untuk mengkaitkan kisah ini dengan perjalanan hidup saya. Jika ada kemiripan kisah, nama dan karakter tokoh, anggap saja kebetulan, seperti sinetron-sinertron yang tak pernah mau dikaitkan dengan dunia nyata. Celakanya, walaupun saya sudah memberi warning begitu rupa, waktu kisah ini saya sodorkan pada seorang kawan dekat, dia ngotot menyamakan kisah ini dengan cerita yang saya alami. Dia-pun berargument, walaupun terdengar seperti argumentasi tim sukses PILKADA membela sang bos yang terkena black campaign. Ngotot. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, waktu itu, beberapa oz Chivas Regal Premium Scotch Whisky hasil patungan membuat tidak bisa membela diri, ada miss koordinasi antara otak dan organ tubuh saya, sehingga kata-kata yang telah tersusun rapi di otak tak sama dengan yang dia dengar.

Baiklah, mari kita buka kisah cinta yang kemarin sempat menghebohkan banyak kalangan. Begini ceritanya (jadi ingat program tayangan misteri di salah satu TV dulu) :

Perempuan Itu Datang Tiba-tiba
Datanglah seorang perempuan dalam kehidupan teman saya. Tiba-tiba, tanpa pra kondisi, hanya satu short massage service yang isinya kurang lebih meminta untuk menemaninya berkeliling kota, lagi pusing katanya. Antara perempuan ini dan teman saya memang telah lama bersahabat.

Nama sang gadis sengaja tidak saya sebutkan, keep the lady safe, ok. Awal kedatangan, dia memberi preview seperti perempuan yang butuh perlindungan. Dia bercerita bahwa hubungan dengan teman pria-nya sudah tidak mungkin dilanjutkan. Banyak sekali perbedaan prinsip yang tidak bisa ditoleransi. Menurut perempuan ini, karakter teman prianya hampir mirip dengan karakter dia sendiri, sama-sama keras kepala dan ringan tangan. Sering terjadi adu fisik dalam masa pacaran mereka, sudah tidak terhitung barang pecah belah yang berantakan jadi sasaran amukan mereka. Saya pikir mereka termasuk penganut gaya pacaran high cost, sayang sekali barang-barang itu harus hancur, padahal belinya mahal lho…

Perempuan ini memberi catatan tambahan pada teman prianya ini, possesif, cemburuan, dan sering gelap mata. Dengan mengambil referensi dalam artikel-artikel tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) teman saya berkesimpulan sama dengan sang gadis.

“Baru pacaran aja dah berani plak-plek, jika benar menikah, apa jadinya?” ujarnya bersemangat. Setelah konsultasi sana-sini, akhirnya teman saya membulatkan tekad untuk memberi perlindungan, mungkin seperti LBH APIK memberi bantuan pada korban antem-anteman dalam rumah tangga.

Nah, Sudah mulai tergambarkan, mengapa diawal saya menulis tentang barang panas? Benar, barang panas identik dengan masalah. Maksudnya kalau ada masalah cepatlah selesaikan.

Singkat kata, keduanya, perempuan itu dan teman saya semakin dekat. Saya pikir wajar, yang satu butuh perlindungan, yang satunya lagi memberi perlindungan. Klop lah… Sang gadis merasa nyaman berada di samping si pria, sebaliknya, sang pria seperti menemukan cintanya yang hilang. Bahkan, menurut pengakuan, jatuh hati-nya pada perempuan itu sudah terjadi jauh hari sebelum sang gadis digandeng pacar yang sekarang sedang bermasalah. Jadilah mereka pren makan pren he.he…

Bursa Bakal Calon Menantu
TIbalah saat untuk lebih serius. Tapi justru persoalannya muncul dari sini. Ternyata di rumah, perempuan ini sudah ditunggu calon suami pilihan orang tua. Masih kerabat. Laki-laki ini bekerja pada salah satu institusi pemerintah, pegawai negeri sipil (PNS). Rupanya inilah keunggulan laki-laki pilihan orang tua si gadis. Bapak ibunya ingin anak gadisnya hidup mapan, tenang dan tidak banyak gangguan. Wajarlah, tentu kita tidak lupa dengan mentalitas kelas menengah feudal di negeri ini, ingin adem ayem.

Waduh, pusing juga si gadis. Satu sisi ingin membahagiakan orang tuanya, sisi lain dia belum bisa menumbuhkan cinta pada laki-laki itu, tambah lagi cerita-cerita tentang anak cacat yang dihasilkan dari perkawinan antar kerabat semakin membuat sang gadis beringsut mundur dari perjodohan.

Untuk menolak upaya Sti Nurbaya-isasi, dia mengajukan nama-nama bakal calon menantu pada bapak ibunya. Forum waktu itu mungkin bisa disejajarkan dengan Konvensi penentuan calon bupati di Partai Golkar, Rakercabsus di PDI Perjuangan, atau Muskit di Partai Kebangkitan Bangsa. Nama-nama yang diajukan diteliti baik buruknya. Nama teman pria sang gadis langsung dicoret, karena tidak masuk dalam kualifikasi laki-laki penyayang dan sabar. Dalam kesempatan itu, nama teman saya juga muncul sebagai salah satu Balon, tak jauh beda dengan pacar sang gadis, teman saya juga dicoret dari daftar unggulan. Alasannya, dia memliki aktifitas yang bisa membuat hidup tidak tenang, aktifitas politik. Bapak sang gadis mempunyai kebencian pada politisi yang cukup untuk mendepak nama teman saya dari daftar unggulan bakal calon menantu. Teman saya ini memang sedang merintis karir di salah satu partai, dalam beberapa obrolan dia sudah mantap untuk menjalani hidup sebagai aktifis partai, tapi saya lihat masih bisa berubah. Forum waktu itu juga memunculkan beberapa criteria yang harus dipenuhi untuk menjadi menantu, antara lain sabar, saying pada anaknya, dan jangan lupa mapan secara ekonomi. Nah kata mapan secara ekonomi ini disederhanakan menjadi memiliki penghasilan tetap, disederhanakan lagi menjadi, calon menantu nanti adalah seorang PNS !!

Tuhan, jodohkan saya dengan laki-laki yang bisa diterima orang tua ku
Confuse lagi neh perempuan, kalo sudah bingun seperti ini, biasanya manusia timur kembali pada tuhan yang sering dilupakan kala senang. Bagian spiritualitas dalam dirinya meronta-ronta ingin dipenuhi. Berdoalah sang gadis pada Tuhannya, dia berdoa, agar tuhan mengirimkan laki-laki terbaik untuk jodohnya. Laki-laki yang bisa diterimanya dan orang tuanya. Tentu dengan criteria-criteria yang ditetapkan orang tuanya, sabar, sayang, seorang PNS. Sang gadis secara kreatif menabah lagi satu criteria, yaitu laki-laki yang mampu membimbingnya dalam laku religius.

Tentu saja teman saya ini semakin tersingkir. Semakin tidak dibicarakan dalam debat kandidat menantu. Jika diibaratkan lelang yang biasa diadakan dinas-dinas pemerintah, teman saya ini tidak lolos seleksi administrasi.

Sebenarnya ada lagi satu kisah yang membuat teman saya ini semakin jauh dari hangar bingar persaingan penentuan menantu orang tua sang gadis. Ceritanya, dalam kebingungan, sang gadis pergi ke suatu kota. Mbuang stress katanya, nah di kota itu dia bertemu dengan kakak pacar teman kuliahnya dulu. Celaka bagi teman saya, sang gadis mulai dihinggapi pikiran bahwa laki-laki itulah jodoh kiriman tuhan padanya, semua criteria cocok. Orangnya baik, penampilan oke, dan mapan, maklum dia bekerja di instansi sama dengan laki-laki pilihan orang tuanya dulu, tapi beda penempatan. Tambah lagi dia sering mengisi pengajian-pengajian di instansinya, kyai muda nampaknya. Tuhan memang murah hati.

Munajat Cinta
Bagaimana nasib teman saya? Belakangan saya melihatnya aktif terlibat dalam gelaran politik persiapan PILKADA di partainya. Dia masuk dalam jajaran elit para pembisik ketua partai, saking elitnya, tidak ada kebijakan partai yang dikeluar tanpa terlebih dulu melewati analisanya. Tugas terakhir yang diterima dari ketua partai adalah membentuk tim khusus think tank pemenangan PILKADA. Tim ini menurutnya dibentuk untuk memberi masukan-masukan strategi, isu dan media kampanye bagi 3 tim pemenangan calon, yaitu tim sang calon bupati, tim sang calon wakil bupati dan bagian pemenangan pemilu partai. Selain itu dia juga mendapat job khusus, meng-handle media massa. Job yang menurut ketua partai tidak bisa dilakukan kader partai lainya. Ketua partai ingin agar pemberitaan media massa dalam PILKADA bisa memberi citra positif bagi partai.

Sepertinya teman saya ini sudah tenggelam dalam aktifitas politik dan melupakan kisah sedihnya. Setelah saya berdiskusi dengannya, ada beberapa kesimpulan yang kami sepakati. Pertama, analisis kelas tetap berlaku dalam kisah ini. Kelas menengah tetap mempunyai karakter yang melekat sebagai bawaan, yaitu takut miskin. Mereka selalu berusaha naik kelas, pada kelas borjuasi yang lebih tinggi. Perilaku orang tua si gadis menunjukan dengan jelas kecenderungan ini. Pada beberapa obrolan dengan sang gadis, dia menyiratkan kata sepakatnya pada criteria orang tuanya. Kedua, secara sosiologis, cara pandang masyarakat kita belum beranjak dari cara pandang jaman colonial dulu. Mereka masih berpikiran bahwa pekerjaan sebagai pangreh praja adalah pekerjaan idaman yang harus diraih sekalipun dengan menjilat bokong penguasa. Kesimpulan ketiga ini agak sensitive, terutama bagi para feminist, dimana-mana perempuan adalah pemicu persoalan ekonomi, maksudnya mereka inilah yang selalu rewel pada soal kemapanan ekonomi calon suami, wajar mereka khawatir jika nanti anak-anaknya terlantar karena kesulitan ekonomi.

Dari kamar teman saya tadi, sekarang sering terdengar lagu Munajat Cinta.
Read more on this article...

Jumat, 23 November 2007

Perut Kita Juga Dijajah !

Jika anda membayangkan tentang desa, jangan buru-buru beranggapan bahwa desa adalah daerah yang terpencil, listrik tidak ada, makanannya khas atau hal-hal lain yang masih sangat katro, meminjam istilah presenter kondang Thukul. Desa sekarang tidak lebih replika . Perbedannya mungkin hanya di desa tidak ada gedung yang menjulang mencakar langit, serta jalan-jalannya yang tidak begitu lebar. Lainnya, sama.

Adahubungan timbal balik kotadan desa. Kota mempengaruhi desa dan sebaliknya. Fenomena ini sudah terjadi pada jaman revolusi industri Inggris dulu. Waktu itu pemerintah kerajaan Inggris mengeluarkan suatu paket Undang-undang yang terkenal dengan UU Domba, pemerintah Inggis memerintahkan kepada rakyat di daerah pedesaan untuk mengganti lahan pertaniannya menjadi ladang penggembalaan domba, kebutuhan kota akan wol sedang tinggi, maka desa harus mensuplyai kebutuhan tersebut, demi memajukan industri nasional. Desa dan sama-sama berproduksi, dalam skala yang berbeda tentunya. Mereka menghasilkan barang yang dikonsumsi masyarakat, aktifitasnya meningkatkan taraf hidup masyarakat, mempekerjakan tenaga kerja, akhirnya, desa dan kota sama-sama menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional.

Persamaan desa dan kota berkembang bukan hanya hal yang diungkapkan diatas, dalam bidang budaya misalnya, desa berubaha menjadi semakin kota. Tengok gaya anak mudanya, tidak ada bedanya, perempuan muda di desa juga semakin tampil menarik dengan fashion dan model rambut terbaru yang mereka impor dari kota. Baju ketat, pusar sedikit terbuka, rambut panjang lurus dan tentu saja, wangi.

Intervensi kota pada bukan hanya itu saja, bisakah anda membayangkan di kaki gunung, ada penjual fried chicken, bahkan ayam goreng ala Kentuky ini menjadi kegemaran sebagian penduduk. Dari salah satu negara bagian di Amerika, makanan berubah menjadi kegemaran manusia dunia, termasuk Kemawi.

Dani (8 th), misalnya, murid kelas 2 salah satu SD di Kemawi ini sering merengek meminta ibunya untuk membelikan friedchiken di ujung desa sebagai lauk makan siang sepulang sekolah. “Mbuh enake neng endi” ujar Paryati, ibunya. Dia heran mengapa anaknya begitu suka daging ayam yang dibungkus tepung dengan bumbu. Padahal menurutnya, makanan itu tidak istimewa. “ Makanannya sederhana, bahkan saya bisa memasak lebih enak” ujarnya.

Penetrasi Budaya dan Ekspansi Modal

Arizal mutakhir, seorang sosiolog dari FISIP Unsoed menjelaskan fenomena ini sebagai akibat dari globalisasi. Menipisnya jarak dan batas antar negara, wilayah, bahkan budaya masyarakat dunia. Teknologi komunikasi dan kemajuan tekhnologi lain membuat hilangnya batas ruang dan waktu.

“Kita sudah masuk pada jaman globalisasi, hampir tidak ada batas antar negara, budaya, bahkan ekonomi. Jika tidak hati-hati, kita akan mengalami banyak benturan peradaban yang membuat manusia gegar budaya” ujarnya.

Menurut Hariyadi MA, rekan satu kantor Rijal penyebabnya adalah media. Media membuat semuanya menjadi mungkin, orang mudah menemukan referensi gaya hidup yang cepat direplikasi. Media juga mencitrakan gaya hidup tertentu lebih lebih baik dari gaya hidupnya sekarang.

“Jangankan di Kemawi, di Papua orang menggunakan masih koteka tapi tentang-tenteng HP” ujarnya.

Senada dengan koleganya, Haryadi juga memperingatkan akan adanya benturan peradaban. Hal ini terjadi ketika dengan gaya hidup barunya, orang menemukan kesulitan. Misal, karena tidak terbiasa memakan humberger, orang kadang merasa perutnya tidak enak, lidahnya juga belum terbiasa, bahkan tidak tahu cara memakannya.

”Selain itu juga identitas lama juga tetap menuntut eksistensinya” ujarnya menambahkan.

Selain budaya, ada juga globalisasi ekonomi. Proses ini ditandai dengan meleburnya batas-batas negara dalam perdagangan. Tak terkecuali Indonesia. Mulai tahun 1995 Indonesia masuk pada perjanjian pertanian yang disebut sebagai Agreement on Agriculture, perjanjian ini dimotori oleh WTO suatu badan dunia yang mengurusi perdagangan antar negara. Dengan mengikutinya perjanjian ini, Indonesia berkewajiban untuk pertama, mengurangi dukungan domestic kepada petani dalam bentuk kredit lunak dan subsidi input bahan-bahan pertanian. Dukungan ini domestik akan terus berkurang sampai akhirnya dihapus sama sekali.

Pasal berikutnya adalah pengurangan subsidi ekspor. Dengan pengurangan ini, petani kita dibiarkan pemerintah untuk menghadapi pemain-pemain besar pemasar produk pertanian. Persoalan ketiga yang diatur dalam perjanjian tersebut adalah perluasan akses pasar, artinya penghapusan seluruh bentuk hambatan impor produk pertanian dan mengkonversinya dalam bentuk tarif. Persoalannya adalah setiap tahun tarif akan turun dengan perhitungan tertentu, maka seluruh produk pertanian dari negara-negara maju bisa masuk ke Indonesia secara bebas. Persoalan tarif bukan persoalan yang sulit untuk diatasi bagi negara-negara maju.

Perjanjian ini membuat produk pangan luar negeri membanjiri pasar domestik. Tak terhitung banyaknya frenchise makanan siap saji yang menjamur di kota-kota besar. Mereka tampil lengkap dengan identitas baratnya, Mc Donald, Kentucy Fried Chiken, Paparon Pizza, Spaghetti. Jika orang Indonesia mengkonsumsi salah satu produknya, maka lengkap sudah identitas mereka sebagai penduduk dunia.

Penjajahan Pangan

Sadar atau tidak sadari kita sedang mengalami penjajahan bentuk baru, yaitu panjajahan pangan. Bentuk penjajahan ini tentu berbeda dengan kolonialisme purba, namun dampaknya adalah kemunduran ekonomi dan budaya bangsa.

Arief Wahidin, seorang aktifis gerakan sosial menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah kita semakin menjauhkan rakyat dari pangannya. Menurutnya ini awal dari penjajahan pangan yang dilakukan oleh negara-negara maju. Bentuknya bukan hanya kelaparan, tapi juga kedaulatan masyarakat atas pengetahuan yang telah dimilikinya sejak lama. ” Penjajahan pangan menghilangkan kedaulatan orang atau komunitas untuk memenuhi pangan mereka” ujarnya.

Bentuk penjajahan tidak melulu impor besar-besaran produk pertanian asing, tapi juga dalam bentuk kapitalisasi benih, saprodi, dan lain-lain yang memarginalkan orang atau komunitas dari sumber pangannya, bahkan kerusakan lahan pertanian, penyerobotan juga memutus petani dari sumber panganya.

Rijal bahkan lebih tegas lagi memandang persoalan ini. ”Apapun isi perjanjian internasional tentang pangan, tapi kita jelas sudah melihat kegagalan negara dalam menyediakan pangan nasional. Artinya pemerintah sudah tidak mampu menyelenggarakan perlindungan, pangan sudah diserahkan pada pasar yang akan membawa kesengsaraan bagi petani” ujar akademisi muda ini.

Sementara, Shanti Kusumayanti, seorang pegiat kuliner mengungkapkan bahwa investasi modal asing dalam bentuk frenchise pangan adalah bentuk nyata penjajahan pangan. ” Rempah lokal yang sudah menjadi tradisi bumbu masak kita dihapuskan, sebagian diklaim oleh para pemodal” ujarnya. Selain itu, terjadi pergeseran bahan baku alami ke bahan sintetis untuk memajukan industri high demand. Menurut para pemodal ini, makanan lokal Indonesia harus digeser karena inventory cost-nya terlalu tinggi. ”Maka perut konsumen didikte untuk bisa menerima makanan yang fast and furious food” tambahnya.


Read more on this article...

Selasa, 13 November 2007

Cerita PILKADA I

Mungkin, jika diukur dalam skala celcius, suhu politik di Banyumas berada dalam kisaran 40-50 derajat celcius. Lumayan panas. Pasalnya, ini kali pertama Kabupaten di kaki gunung slamet ini menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Selayaknya pagelaran pilih memilih, situasi di politik di kabupaten ini menjadi agak panas dan penuh intrik, manuver dan klaim dukung mendukung.

Bangsa ini memang sedang tenggelam dalam euphoria demokrasi liberal. One man one vote. Satu suara sangat berarti untuk menjadikan seseorang menjadi pimpinan daerah, maka setiap orang berlomba untuk memenangkan pilihan rakyat. Tapi ada paradok. Seharusnya pemilihan langsung menjadi hajatan rakyat, menyediakan banyak alternative pemimpin. Namun hajatan ini senyatanya menjadi milik orang-orang disekitar kandidat -orang menyebutnya sebagai tim sukses-. Merekalah yang membangun opini, citra, dan berusaha memunculkan sisi terbaik kandidat, nyaris tanpa kritik. Tim suskses inilah yang menikmati keuntungan jangka pendek maupun jangka panjang dari PILKADA. Mereka dibayar, dan mereka mengatur konsesi jika nanti kandidatnya terpilih. Akhirya aspirasi dan amanat rakyat hanya berhenti di bilik suara.

Sebelum jauh berbicara tentang tim sukses (saya punya beberapa bacaan tentang “industri” kampanye PEMILU) ada beberapa cerita yang menarik seputar PILKADA di Banyumas. Karakter di sini unik, mungkin bagi orang lain biasa saja, tapi saya ngotot menyebutnya unik.
Cerita pertama soal panasnya politik di kaki Gunung Slamet ini berasal dari fenomena rebutan kandidat calon. Kandidat itu bernama Bambang Priyono, mengikuti tren di menyebut nama politikus dengan inisial, masyarakat Banyumas juga latah membuat tenar Pak Bambang dengan sebutan BP.

(Sepertinya, gosip-gosip seputar PILKADA kurang afdol jika tidak menyebut nama kandidat dengan inisial. Kurang sedap bumbu politiknya. Bahkan sering orang menyebut nama kandidat dengan bisik-bisik, seolah gossip yang dibicarakan adalah informasi rahasia, info yang berasal dari ring satu orang-orang terdekat calon)

BP ini adalah orang yang pernah maju sebagai kandidat bupati pada periode lalu, tahun 2003-2007. Waktu itu beradu pamor dengan Aris Setiono, dan dr. Tri Waluyo Basuki. Putaran pertama, BP mengunguli lawannya denga skor tipis, waktu itu BP mendapatkan 16 suara, Aris 15 dan dr. Tri 14. Dalam putaran ke dua BP kalah dengan Aris, kalau tidak salah dalam putaran kedua BP mendapat 19 suara, sedangkan Aris 25 suara, sedangkan 1 suara abstain. Inilah salah satu kegagalan PDI-Perjuangan –partai yang menjagokan BP waktu itu- untuk mengkonsolidasikan barisan fraksi dan melakukan loby-loby dengan partai lain.

(Frans Lukman, ketua DPRD Cilacap mempunyai kisah tentang Pemilihan Bupati tidak langsung ini. Dulu, setannya hanya orang-orang yang berada di dewan, namun sekarang, jumlah setan PILKADA berlipat ganda. “Saya yang dulu raja-nya setan sekarang hanya setan biasa” ujanya. Ssst… ini gossip murahan ya..jangan dikutip)

PILKADA kali ini BP digadang-gadang oleh dua kelompok yang berbeda. Kelompok pertama adalah koalisi 3 partai yang terdiri dari Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat. Mereka menamakan koalisi ini sebagai Koalisi Poros Rakyat (KPR). Koalisi ini bahkan sudah jelas memasangkan BP dengan Tosi Aryanto, salah seorang kader dari Partai Demokrat, dia pengusaha kaya asal Banyumas yang lama di luar kota.
Berbeda dengan KPR, kelompok kedua yang ngotot menjagokan BP adalah PDI Perjuangan, walaupun rekomendasi dari DPP belum turun. Partai ini memang sudah lama menjagokan BP sebagai bupati, periode lalu, mereka menjagokan BP dalam PILKADA yang waktu itu dipilih oleh para wakil rakyat, tapi kalah. Kali ini mereka tidak ingin kalah lagi, hampir 2 tahun belakang nama BP santer dibicarakan pada rapat-rapat pengurus partai, dari tingkat ranting, PAC sampai DPC. Bahkan jika ada anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan yang mengisi masa reses-nya di Banyumas, jajaran partai mengobral omongan tentang BP. Bagi partai moncong putih ini, pendeng gepeng BP harus menang lewat PDI-Perjuangan.

Persoalannya, dua kelompok pengusung BP ini berbeda pandang soal wakil bupatinya. Secara formal PDI-P memang belum menentukan kandidat wakil bupati. Namun obrolan informal jajaran partai mengerucut pada nama Asroru Maula, seorang pemuda dari kalangan Nahdlatul Ulama yang ibunya mempunyai pengaruh politik cukup besar. Asroru inilah yang membiayai pelaksanaan RAKERCABSUS pada tanggal 31 November sampai 1 oktober 2007 lalu. Pilihan kandidat WABUP dari elit PDI-Perjuangan ini berbeda dengan pilihan koalisi 3 partai yang ngotot mengusung Tosy Aryanto.

Konfigurasi ini menjadi polemic. Kabarnya BP-lah yang menginginkan Tosy, di koran-koran bahkan sering muncul pernyataan bahwa BP sendirilah yang menginginkan Tosy untuk mendampinginya. Analisis sederhananya, BP sudah menggunakan banyak logistic Tosy untuk mendanai sosialisasi awal pencalonannya. Karena penggunaan logistic inilah, mungkin terjadi adalah konsesi antara BP dan Tosy, jika nanti BP maju sebagai calon bupati maka wakil harus Tosy.

Kira-kira inilah konfigurasi politik sebelum turun surat rekomendasi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dari DPP PDI-Perjuangan. Peta politik pasti akan berubah setelah turun rekomendasi DPP PDI Perjuangan.

Mengapa BP jadi Rebutan?
Siapa sesungguhnya Bambang Priyono sehingga dia menjadi “rebutan” beberapa kelompok partai untuk dicalonkan. Apakah BP adalah jaminan kemenangan PILKADA? Seberapa kuatkan dia di mata masyarakat Banyumas? Sekedar informasi, Suherman Ketua DPC PDI-Perjuangan
Dalam record politik Banyumas, BP sebenarnya orang kalah. Periode lalu, BP kalah dari Aris Setiono, waktu itu bupati masih dipilih oleh para anggota DPRD. Dalam putaran pertama BP unggul tipis dari Aris dan dan dr. Tri. Putaran ke dua PILBUP, BP tidak berdaya menghadapi manuver politik Aris Setiono.

Kekalahan ini membuatnya tersingkir dari jajaran elit birokrasi PEMKAB Banyumas. Dia dimutasi dari jabatan sekda menjadi salah satu staf ahli di Bapeda Banyumas, gampangnya dia dikarantina dari pergaulan elit birokrasi, dia dikandangkan dalam untuk mengurusi tetek bengek pembangunan daerah. Perannya dikerdilkan.

Karena inilah muncul kesan BP adalah orang yang dianiaya. Ditengah peran birokrasi yang dikerdilkan BP malah sering bepergian keliling desa. Hampir seluruh pelosok Banyumas telah dia datangi. Dalam banyak kesempatan diskusi BP rajin mengungkapkan pengetahuannya yang mendalam tentang pelosok banyumas berikut permasalahannya. Dia bahkan dengan detail bisa mengingat nama orang-orang yang pernah dikunjunginya. Ingatan BP memang tajam, dan dia paham betul bagaimana menggunakan ingatannya untuk memunculkan simpati dan kesan bahwa BP adalah orang yang paham persoalan Banyumas. Bahkan detail ingatannya tentang nama-nama petani, penderes, tukang ojeg dengan segenap persoalannya memunculkan kesan BP tidak mudah melupakan rakyat kecil.

Pencitraan ini mencapai sasarannya, popularitas BP melejit setinggi langit, dia muncul sebagai orang yang membawa arus alternative di Banyumas walaupun dia berada di kalangan birokrasi. Bahkan sebagaian kalangan NGO, menganggap BP-lah figure birokrat reformis yang ada di Banyumas. Pandangan ini muncul ketika dulu, BP saat menjabat sekda berani menghentikan laju tukar guling tanah-tanah eks banda desa. Waktu itu hampir semua tanah banda desa ditukar guling dan dikuasai oleh salah seorang taipan besar.

BP juga menyiapkan infrastruktur politik. Partai yang dulu mengusungnya menjadi calon Bupati tetap ditempel. Seluruh jajaran partai disambanginya. Proses inilah yang mengantarnya menjadi balon Bupati paling popular seantero jagad PDI-Perjuangan Banyumas. Hampir seluruh pengurus ranting, PAC dan DPC PDI-Perjuangan Banyumas menggadang-gadang sebagai calon yang akan mereka menangkan dalam PILKADA kali ini. Memang ada beberapa diviasi dari beberapa PAC berupa dukungan pada Aris Wayudi, namun kalau ditelisik lebih jauh, dukungan ini semu karena tidak ada kaitan “ideologis” antara Aris Wahyudi dan PDI-Perjuangan Banyumas.
BERSAMBUNG


Read more on this article...

Rabu, 24 Oktober 2007

Pangan

Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang dihasilkan baik secara alami dari mahluk hidup maupun rekayasa teknologi untuk dikonsumsi oleh manusia guna menghasilkan energi sebagai sumber kehidupannya.

Demikian pangan didefinisikan secara “eksakta”, definisinya tegas dan jelas. Definisi ini juga mengandung arti bahwa jika ingin melanjutkan kehidupan, mahluk hidup harus dapat mengakses pangan.

Selain itu, pangan juga berkembang menjadi banyak komoditas, pentas politik negeri ini penah memanas gara-gara pangan, waktu itu parlemen kita memanggil presiden dan mempertanyakan mengapa sampai terjadi kelaparan di bagian timur Indonesia. Keruntuhan dua rejim pemerintahan kita, orde baru dan orde lama, diawali dengan kelangkaan pangan.

Pangan menempati posisi yang sedemikian penting. Untuk mengaturnya, ada etika yang mengatakan bahwa pangan tidak boleh dipandang sebagai komoditas ekonomi belaka, pangan harus diletakkan sebagai hak dasar manusia yang harus bisa dipenuhi. Melville J. Herskovits, seorang antropolog ternama mengatakan pangan adalah primary determinant of survival.

Jaman menjadikan pangan berkembang rupa-rupa, bukan hanya itu, pangan juga mengglobal. Di kaki Gunung slamet orang-orang bisa menikmati ayam goreng berbalut tepung yang biasa dimakan oleh bule di salah satu negara bagian AS. Beras mengganti pangan pokok masyarakat di ujung timur Indonesia, yang dulu memakan sagu, penganan yang diolah dari batang pohon salah satu jenis tumbuhan. Hal ini berlaku juga untuk mie, donat, pizza, dan kentang goreng.

Anehnya, ada anggapan, bahwa salah satu penganan lebih bergengsi dari pada jenis lain. Mental terjajah bangsa ini belum sepenuhnya lenyap, pizza dianggap lebih bergengsi dari pada thiwul, minuman bersoda lebih bermartabat dari pada dawet. Perlahan tapi pasti, kita mengalami penyeragaman pangan. Kondisi seragam pangan inilah yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan besar penghasil penganan. Kondisi ini sengaja diciptakan, agar produk mereka terserap habis. Melalui iklan otak kita dicekoki dengan keunggulan produk yang mereka hasilkan, bahwa memakan penganan ini lebih bergengsi dari pada itu, meminum ini akan kuat seperti si anu dan sebagainya.

Kita dibuat lupa akan grontol, suweg, uwi, gatot, sriping makanan yang pernah membuat meja makan keluarga kita indah dan mengundang selera.


Read more on this article...

PILKADES dan Gagasan Pembaharuan Desa

Dulu, waktu masih mahasiswa, kami sering membandingkan kondisi demokrasi di kampus dan desa. Waktu itu menurut kami, kehidupan demokrasi di desa jauh lebih maju dari pada di kampus. Masyarakat desa memilih secara langsung pimpinan mereka dan mengontrol kinerjanya melalui BPD yang independen. Di kampus, rektor --terutama PT yang belum menjadi BHMN-- merangkap jabatan, sebagai eksekutif juga sebagai ketua Senat Universitas, lembaga yang salah satu tugasnya melakukan kontrol terhadap kinerja Rektor.

Setelah lulus dan kemudian bekerja, obrolan tersebut saya pikir layak untuk direnungkan kembali. Melihat realitas kehidupan pedesaan ternyata tidak segampang hanya dengan menggunakan kaca demokrasi elektoral. Menurut pengamatan saya, kompleksitas kehidupan masyarakat pedesaan juga harus dilihat dalam kaca mata yang lain, misalnya ekonomi dan politik.

Sebentar lagi, Kabupaten Banyumas menyelenggarakan dua hajat yang penting bagi demokrasi. Pertama Pilkades, rencananya akan dilaksanakan tahun ini, waktu pelaksanaannya secara pasti belum ditentukan, mungkin serentak, ingin mengulang keberhasilan kabupaten tetangganya Purbalingga. Hajat yang ke dua adalah PILKADA, pemilihan bupati langsung, Juni 2008, ini hajat yang lebih besar, pemain-pemainnya tambah banyak dan semakin ruwet urusan politiknya.

Dalam momentum menjelang PILKADES ini saya ingin memaknainya lebih dalam, bukan sekedar memuaskan hajat demokrasi elektoral, namun lebih jauh memaknainya sebagai peluang untuk memajukan kehidupan pedesaan, terutama petani pedesaan. Lebih khusus lagi memaknai jabatan kepala desa, sebagai jabatan politik yang dapat memajukan masyarakat petani yang menjadi mayoritas penduduk. Kepala desa sudah waktunya untuk dimaknai bukan sekedar kepanjangan tangan administrasi pemerintahan supradesa.

Kemiskinan Pedesaan
Di akhir tahun 2006, World Bank mengeluarkan hasil risetnya yang mencengangkan. Menurut World Bank sekitar 49 persen dari total penduduk Indonesia atau 109 juta jiwa masuk dalam kategori miskin. Sementara jumlah penduduk miskin menurut angka resmi pemerintah per agustus 2006 adalah 39,1 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Tidak usah bingung menentukan mana yang lebih kita percaya, apapun metode dan indikator data tersebut, jumlah penduduk miskin dan persoalan pengangguran yang tinggi adalah fakta yang tidak boleh dianggap enteng. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada di wilayah pedesaan, BPS misalnya menyebut 24,8 juta jiwa dari angka kemiskinan berada di pedesaan, penduduk miskin di pedesaan tersebut bekerja di sektor pertanian sebagai petani maupun buruh tani.
Paparan angka diatas menunjukan bahwa sekarang kita sedang “menikmati” hasil dari model pembangunan yang menafikan posisi desa. Pada dekade tahun 50-an, teori pembangunan melihat industrialisasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari keterbelakangan. B. Higgins yang dikutip oleh Mubyarto mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi oleh masyarakat pertanian Indonesia tidak dapat dipecahkan dengan program-program pertanian saja. Menurutnya, hanya industrialisasi yang mampu mengubah pengangguran tersembunyi menjadi kerja yang produktif.

Memang industrialisasi di sektor manufaktur, perkebunan, pertanian, kehutanan berkembang dan pertumbuhan ekonomi meroket. Tapi, model pembangunan yang “kota sentris” mengorbankan penduduk desa yang hanya menjadi suplayer tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi pertanian yang diberi nilai tukarnya rendah dibandingkan dengan produk industri. Akibatnya, akumulasi kapital pun mengalir ke kapitalis asing dan kesenjangan ekonomi semakin melebar antar sektor perkotaan dengan pedesaan, sektor formal dengan informal, sektor kapitalis dengan prakapitalis.

Dalam kondisi ini tidak mungkin terjadi akumulasi kapital pada masyarakat pedesaan atau petani, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan usaha tani. Perhatian pemerintah yang hanya menekankan pada swasembada beras, juga menghancurkan kreatifitas petani untuk melakukan diversifikasi komoditas tanaman. Parahnya, fasilitas kredit yang mereka perlukan dipenuhi bukan dari lembaga keuangan formal, namun dari lembana informal yang semakin menjerat mereka dalam kemiskinan.

Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan modal telah menghancurkan pondasi ekonomi desa. Kegiatan ekonomi yang dijalankan adalah bentuk kegiatan yang mendorong laju pertumbuhan dan berpusat di kota, akibatnya kota menjadi terbebani dengan limpahan tenaga kerja dari pedesaan. Sementara desa terperosok dalam kubangan kemiskinan dan tidak lagi sebagai elemen penting pertumbuhan ekonomi. Sektor agraris tertinggal, parahnya desakan urbanisasi telah menjadikan desa miskin sumber daya manusia yang potensial. Selain itu terjadi pula kekerasan ekonomi negara yang menghancurkan sistem perekonomian yang dibangun oleh petani, yaitu memaksakan revolusi hijau, coorporate farming, membiarkan benih transgenik menggantikan benih lokal. Akibatnya hancurlah bangunan ekonomi petani yang arif dan diganti dengan ambisi pertumbuhan ekonomi dan pasar bebas.

PILKADES dan Pembaharuan Desa
Otonomi daerah, setidaknya membuka peluang terbukanya saluran-saluran politik masyarakat yang selama ini dihilangkan. Pelaksanaan otonomi daerah harus mempunyai makna pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi (akses terhadap sumberdaya produktif utamanya lahan) politik (sistem pengambilan keputusan) dan sosial (kelembagaan masyarakat) hingga pada tingkat desa, serta aspek lingkungan (sustainability). Desentralisasi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang menawarkan kesadaran pada kita bahwa ke depan, pembangunan harus dijiwai dan mengakomodasi nilai-nilai lokal, kultural dan historis masyarakat setempat ke dalam bentuk partisipasi seluas-luasnya.

Paralel dengan semangat ideal desentralisasi tersebut, ide tentang pembaharuan desa menemukan signifikansinya pada perbaikan kehidupan desa. Pembaharuan desa dilakukan untuk mengawal perubahan relasi ekonomi politik desa secara internal maupun eksternal yang memiliki tatanan kehidupan baru yang demokratis, mandiri dan adil. Dengan demikian, pembaharuan desa hendak melakukan konfrontasi terhadap ketimpangan ekonomi politik desa maupun krisis sosial di desa. Pembaharuan desa juga dilakukan dalam upaya mendorong masyarakat belajar secara kritis untuk mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi hidup mereka, menempa kapasitas, membangkitkan potensi dan kekuatan lokal serta mengembangkan modal sosial, yang semua ini menjadi basis bagi demokrasi dan otonomi desa.
Pilkades, seperti hajatan demokrasi yang lain sebenarnya juga membuka jalan bagi pembaharuan desa. Hasil Pilkades, sesungguhnya jabatan politis yang kuat legitimasinya dan berdaulat. Dengan kekuasaannya Kades mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan (Perdes) dengan persetujuan BPD.

Semacam kontrak politik, masyarakat pedesaan juga bisa memanfaatkan momentum PILKADES untuk mencari sosok Kepala Desa yang penuh komitmen untuk pembaharuan desa, daripada terus menerus dibohongi janji-janji semu politik uang. Sebagai perbandingan beberapa desa di Garut Jawa Barat telah sukses menyusun Perdes Tata Guna dan Tata Kelola Lahan, yang membuka akses petani-petani miskin pada faktor produksi tanah, dan menjamin kelangsungan usaha tani. Perdes ini merupakan hasil kontrak politik Kades terpilih dengan salah satu organisasi tani di desa tersebut. Inilah bukti bahwa masyarakat desa bisa menjadi pemeran aktif dalam hajat demokrasi, bukan hanya sekedar objek mobilisasi suara yang hanya diganti dengan beberapa lembar rupiah. Masyarakat desa bisa berdaya dan mempunyai posisi tawar secara politik sejak awal pemilihan Kades.


Read more on this article...

Senin, 22 Oktober 2007

Liberalisasi Pertanian:Lonceng Kematian Petani Indonesia


Oleh
MN.Latief
Bagaimana negara yang pernah berswasembada beras menjadi pengimpor beras terbesar di dunia? Inilah pengalaman yang pernah dialami oleh negara kita. Susah payah membangun swasembada beras, tiba-tiba runtuh oleh badai krisis akhir 90-an. Bahkan di tahun anggaran 1998/1999 Indonesia menjadi pemimpor beras terbesar di dunia, waktu itu Indonesia mengimpor beras sebanyak 4,8 juta ton. Sampai kini Indonesia menjadi pembeli beras terbanyak di dunia, 10 persen dari beras yang diperdagangkan di dunia masuk dalam pasar produk pertanian dalam negeri. Menurut Bonie Setiawan, dalam buku Globalisasi Pertanian, bila ketergantungan pada impor beras terus naik, maka Indonesia akan terus menjadi pemimpor beras terbanyak selamanya.
.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Untuk menjawabnya kita harus mengurai lebih banyak pernak-pernik dunia pertanian tanah air. Khusunya kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian yang menjadi persoalan mendasar pertanian kita. Di negeri ini, kebijakan pertanian begitu kompleks, rumit dan sarat kepentingan pihak, dari petani, pejabat, perusahaan besar, sampai para pemburu rente. Mereka ribet dengan urusannya masing-masing, kongkalikong dan memburu keuntungan paling tinggi.

Karena ruwetnya kebijakan pertanian di negeri ini, kita hampir tiap tahun mengalami kenaikan harga beras, kelangkaan pupuk di pasaran, anjlognya harga gabah, dan persoalan lain yang merugikan masyarakat. Seperti diakhir 2006, harga beras melonjak lebih dari 30 persen. Khusus mengenai lonjakan harga beras tahun ini, Bustanul Arifin seorang guru besar pertanian dari Universitas Lampung mengatakan bahwa pemerintah menerapkan manajmen yang buruk dalam mengurusi beras. Menurutnya, persoalan mendasar dalam menajemen stok pemerintah adalah tidak adanya penanggungjawab atas pengadaan beras dan bagaimana pengadaan dilaksanakan. Setiap daerah, menurutnya harus mempunyai cadangan stok beras yang diadakan oleh pemerintah pusat dan daerah (Kompas 14 Desember 2006). Hampir senada, Faisal Basri, pengamat ekonomi menilai bahwa memahami kenaikan harga beras sesungguhnya tidak terlalu rumit. Kejadian ini sudah berulangkali dan seperti telah menjadi ritual tahunan. Namun penyelesaiannya tidak pernah kunjung tuntas, jurus yang itu-itu saja, yakni membuka kran impor beras. Akibatnya seribu satu masalah yang menjadi penyebab carut marutnya dunia perberasan tak kunjung ditangani dengan seksama (Kompas. 18 desember 2006).
Siapa yang dirugikan, tentu saja petani dan masyarakat pedesaan lain. Mereka adalah golongan paling lemah dalam konstelasi ekonomi pertanian nasional. Importir beras, pedagang besar, perusahaan-perusahaan multinasional yang menguasai benih, pupuk, obat-obatan, mesin pertanian, tanaman transgenik, penguasa tanah besar tentu bukan lawan yang seimbang bagi petani kita. Rata-rata petani kita hanya menguasai kurang dari 0,3 ha, selain jutaan petani lainnya yang tidak mempunyai tanah, bagaimana mungkin mereka melawan oranng-orang dan perusahaan yang mempunyai modal jutaan kali lipat.

Liberalisasi Pangan
Mulai tahun 1995 Indonesia masuk pada perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture) World Trade Organization. Perjanjian ini adalah perjanjian yang mengikat secara hukum dan harus ditaati oleh negara yang mengikutinya. Dengan mengikutinya, Indonesia berkewajiban untuk pertama, mengurangi dukungan domestic. Dukungan domestic ini biasanya diberikan pemerintah kepada petani dalam bentuk kredir lunak dan subsidi input bahan-bahan pertanian. Setelah perjanjian ini, sedikit-demi sedikit bantuan pemerintah tersebut akan dikurangi sampai akhirnya dihapus sama sekali. Kedua pengurangan subsidi ekspor. Dengan pengurangan ini, petani kita dibiarkan pemerintah untuk menghadapi pemain-pemain besar pemasar produk pertanian. Ketiga, perluasan akses pasar yang diartikan sebagai penghapusan seluruh hambatan impor dan dikonversi dalam bentuk tariff. Tariff ini nantinya akan dikurangi sebesar 36 persen bagi negara maju, sementara bagi negara berkembang, tariff impor akan dikurangi 24 persen dalam jangka waktu 10 tahun dan pengurangan minimum 10 persen.

Selain Agrement On Agriculture, adalagi beberapa perjanjian internasional yang merugikan petani kita. Misalnya TRIPs, suatu perjanjian yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bidang perdagangan. Perjanjian ini mewajibkan setiap negara untuk memberikan paten terhadap produk dan proses atas penemuan-penemuan di bidang biotekhnologi, termasuk lingkup pangan dan pertanian. Artinya Negara harus mengakui paten atas tanaman-tanaman dan bibit yang kebanyakan berada di negara dunia ke-tiga, dan sebaliknya tidak mengakui hak-hak komunitas setempat atas sumber daya mereka sendiri. Celakanya, perusahaan-perusahaan multi nasional sekarang telah menguasai 97 persen paten di dunia. Jika hal ini terus terjadi, bisa jadi petani kita yang ada di desa-desa harus membeli bibit Jagung pada perusahaan besar Mosanto di Amerika sana, atau membeli bibit padi pada perusahaan agrobisnis raksasa lain.

Isu lain yang berkaitan dengan liberalisasi pertanian di dunia adalah perjanjian SPS (Sanitasi dan Fitonisasi) yaitu perjanjian mengenai aturan karantina barang-barang impor pertanian untuk perlindungan terhadap kesehatan manusia, tanaman dan hewan, yang harus sesuai dengan standar-standar kesehatan yang bisa dibenarkan secara ilmiah. Dalam perjanjian ini, WTO menunjuk badan yang bernama Codex Alimentaius yang diurus oleh WHO dan FAO. SPS ini banyak dipakai oleh negara maju sebagai penghalang akses pasar produk pertanian dari negara-negara dunia ketiga. Standar ini sangat mahal untuk diterapkan di negara berkembang dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya banyak produk pertanian dari negara berkembang yang tidak bisa masuk ke negara maju karena standar yang tidak bisa dipenuhi oleh pertanian skala kecil dan tradisional.

Hampir serupa dengan perjanjian Sanitasi dan Fitonasi adalah TBT (Technical Barriesrs to Trade). Perjanjian ini mengatur standarisasi baik yang bersifat mandatory (wajib) maupun yang bersifat voluntary yang mencakup karakteristik produk; metode dan proses produk; terminology dan simbol; serta persyaratan kemasan (packaging) dan label (labeling) suatu produk. Ketentuan ini ditetapkan untuk memberikan jaminan bagi kualitas suatu produk ekspor, memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup. Pertanjian TBT ini mewajibkan para anggotanya untuk menggunakan standar internasional sebagai dasar penetapan standar, seperti ISO dan lainnya.

Petani Kecil Makin Terpinggirkan
Petani di Indonesia oleh program revolusi hijau terlanjur diarahkan pada bentuk pertanian yang berasupan tinggi (high external input). Dengan model pertanian seperti ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan petani akan input luar seperti benih, pupuk, racun pada hama dan penyakit tanaman sangat tinggi. Apa jadinya jika pemerintah mengurangi subsidinya pada bahan-bahan ini? Petani akan menanggung kenaikan biaya produksi dan usaha tani akan memerlukan modal yang sangat besar walaupun pada skala kecil dan tradisional. Mana mungkin petani kita mampu menyediakan modal dalam jumlah yang besar sementara kredit-kredit usaha tani juga dipangkas pemerintah. Tentu saja produktifitasnya menurun, dan merugi.

Hal diatas baru kerugian petani kita dalam proses produksi, bagaimana dengan pemasaran hasil pertanian mereka? Ambil contoh harga beras, apakah harga beras yang mahal berarti juga peningkatan kesejahteraan petani? Ternyata tidak, jika sekarang kita merasakan harga beras yang mahal, ternyata kenaikan harga beras tidak dinikmati oleh petani. Mereka tetap saja membeli beras dengan harga mahal karena hasil pertanian mereka terlanjur dijual dengan harga murah. Harga jual gabah di tingkat petani belum mampu mengangkat taraf hidup petani, kenaikan harga jual gabah tidak semimbang dengan laju inflasi dan selalu tertinggal jauh dari kenaikan barang konsumsi selain pertanian. Perjanjian yang ditandatangani pemerintah dalam bidang pertanian juga membuka kran impor beras, akibatnya harga beras di pasar lokal hancur dan berakibat pada sistem pengadaan pangan lokal dari dalam negeri. Impor beras sebenarnya hanya ditujukan untuk mengendalikan harga beras dan menambah stok di daerah-daerah rawan pangan, namun kenyataannya daerah yang surplus seperti Lampung, Sumatra Utara, Jawa Tengah, Karawang, Indramayu juga kedatangan beras impor. Tentu saja, harga beras dan gabah di daerah tersebut hancur, dan petani mengalami kerugian.

Sesungguhnya, banyak pihak yang telah menyadari ketidakadilan dalam mekanisme perdagangan produk pertanian internasional ini. Dalam perdagangan ini, mereka hnya melihat dominasi negara-negara maju dan perusahaan agrobisnis raksasa. Misalnya Vatikan, pimpinan tertinggi umat Katolik dunia ini mengeluarkan pernyataan perlunya reformasi perdagangan dunia. Menurut Vatikan, peraturan-peraturan perdagangan seharusnya disesuaikan dengan komitmen yang lebih luas untuk mengembangkan umat manusia dan untuk mengangkat standar kehidupan masyarakat miskin. Khusus untuk kesepakatan perdagangan pertanian, Vatikan meminta agar menjadikannya tes moral dan ekonomis karena hasilnya nanti tidak hanya untuk kepentingan kehidupan banyak petani dan keluarga kecil, tetapi juga untuk keseluruhan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seharusnya mampu mengekspor produk mereka ke negara-negara maju tanpa hambatan tarif atau hambatan apapun, dan negara berkembang juga tidak diharuskan untuk membuat komitmen yang tidak sesuai dengan status ekonomi dan pembangunan mereka.

Terakhir Paus Benediktus XVI mengemukakan keprihatinannya terhadap para petani kecil: ‘Tidak boleh dilupakan bahwa kerentanan kawasan pedesaan memiliki dampak yang sangat besar terhadap keberlangsungan hidup para petani kecil dan keluarga mereka’, katanya. Paus juga meminta adanya rasa ‘solidaritas’ dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO lalu dan adanya perlindungan khusus melalui mekanisme pengamanan bagi kaum miskin, keluarga-keluarga di daerah pedesaan, dan, khususnya, kaum perempuan pedesaan dan anak-anak. Paus juga menunjukkan ‘pentingnya untuk membantu komunitas-komunitas asli di pedalaman karena mereka juga sering menjadi subyek apropriasi untuk kepentingan keuntungan semata’.


Read more on this article...

Bu Giyem, Emping Melinjo dan Kemandirian Petani

Dusun Cerean, Kemawi, akhir 2006. Kami berniat mendatangi rumah Bu Giyem, pelopor pengrajin empling Melinjo di desa Kemawi, kecamatan Somagede, Banyumas. Tak sulit mencarinya, semua tukang ojeg di gerbang desa Kemawi, kenal baik sosok ini. “Oh…tahu mas, bu giyem Mbah Carik kan? Sing nggawe emping kae mbok?”, jawaban para tukang ojek saat kami tanya arah menuju rumah bu Giyem. Tanpa ragu, mereka segera menunjukan jalan.
Waktu bertandang, rumahnya sedang direnovasi, agak berantakan, potongan kayu bertebaran disana-sini. ”Eternitnya sudah pada rusak, sering buat kejar-kejaran kucing sama tikus” ujar Bu Giyem, sambil mempersilahkan kami masuk.
.
Nama lengkapnya Sugiyem, umurnya sudah lebih dari setengah abad. Dia diperistri oleh mantan Carik di Desa Kemawi, karena itulah dia sering juga ikut-ikutan dipanggil oleh tetangganya Mbah Carik. Biasanya, istri orang penting di desa mempunyai seabreg kegiatan, tapi bagi bu Giyem bukan itu alasan satu-satunya untuk aktif berkegiatan di desanya.
”Saya itu orangnya tidak bisa diam, harus ada sesuatu yang saya kerjakan” ujarnya. Maka dia terlihat sangat menikmati berbagai kesibukan, mulai dari menjadi ketua kelompok Sekar Mulya, Dasawisma, arisan, bahkan dia menjadi ketua PKK desa, jabatan yang biasa dipegang oleh istri kepala desa.

Aktifitasnya di kelompok Sekar Mulya inilah yang mengantarnya menjadi ”pengusaha” emping. Awalnya, mereka berkenalan dengan BABAD, sebuah NGO di Purwokerto yang bergerak dalam pemberdayaan dan usaha ekonomi rakyat. Dengan NGO ini, mereka belajar berkelompok dan berorganisasi dengan lebih rapi, menggunakan prinsip-prinsip manajemen usaha tani. Kelompok Sekar Mulya kemudian menentukan kegiatan utamanya, yaitu mengembangkan usaha pasca panen yang berbasis sumber daya lokal.

Awalnya kegiatan kelompok ini sama dengan kelompok-kelompok tani lain yang didampingi oleh yayasan BABAD, berusaha menguatkan aspek produksi pertanian. Mulai dari bertanam Jahe Gajah, pembibitan tanaman usia panjang, membuat pupuk organik, mengelola lahan kelompok dan menanaminya dengan sayur mayur. Namun apa daya, sekian usaha telah dilakukan, namun hasil maksimal dari pengelolaan lahan belum juga didapat. Belum lagi urusan domestik yang menyita banyak waktu ibu-ibu ini, maka pekerjaan mengelola lahan dan mengembangkan pertanian kelompok terabaikan. Karena itulah mereka beranjak mencari usaha lain. Terpikir oleh Bu Giyem untuk mengembangkan usaha pasca panen Emping Melinjo. Pilihan ini bukan tanpa alasan, salah satu anggota kelompok pernah sukses mengembangkan usaha ini, namun karena kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, usaha ini tidak diteruskan. Dari hasil analisis usaha pun terlihat bahwa pengolahan melinjo mempunyai prospek pasar yang cukup besar, bahkan berapapun jumlah emping yang dihasilkan pasar masih tetap bisa menyerapnya. Masyarakat Kemawi biasanya membutuhknan emping dalam jumlah besar untuk acara-acara hajatan, selain konsumsi harian mereka.

Rantai Pertanian
Usaha pasca panen, menurut logika Pertanian Berkelanjutan yang dikembangkan oleh yayasan pendamping mereka adalah salah satu bagian penting dalam rantai pertanian berkelanjutan selain rantai produksi dan distribusi. Pengolahan hasil pertanian secara mandiri diyakini mampu meningkatkan value added produk, selain menyiasati sifat-sifat rentan hasil pertanian, seperti mudah rusak, tidak tahan lama, tidak tahan gesek, dan rentan terhadap perubahan cuaca.
Kemawi mempunyai cadangan Melinjo cukup melimpah. Setiap musim panen, daerah ini bisa menghasilkan 21 ton. Jika musim sedang bagus, dalam setahun bisa tiga kali panen. Dengen perhitungan ini, Bu Giyem yakin usahanya tidak akan kekurangan bahan baku.
”Untuk membuat 30 kg emping tiap bulan melinjo dari kemawi sudah cukup, tidak perlu nyari di desa lain” ungkap bu Giyem. Bahan baku dibeli dari petani langsung, tiap kilogram melinjo yang sudah dikupas kulitnya dihargai Rp. 2.250-Rp.2500, biji melinjo belum dikupas dihargai Rp. 500,-. Emping yang mereka hasilkan tergolong emping yang berkualitas bagus, mereka mengistilahkan dengan kualitas super. Cara pembuatannya sederhana, hanya butuh ketekunan. ”Tidak ada rahasianya mas” ungkap bu Giyem.

Proses pembuatan emping dimulai dari memisahkan biji dari kulit Melinjo. Biji melinjo yang masih bercangkang kemudian digoreng dengan pasir, bukan dengan wajan biasa, tapi sangan sejenis wajan yang terbuat dari tanah liat. Setelah itu, cangkang dibuang dan biji melinjo yang berwarna putih dipipihkan dengan cara dipukul. Satu keping emping dibuat dari 3 buah biji Melinjo, karena itulah berat melinjo menyusut, tiap satu kuintal Melinjo hanya menghasilkan 30 kg emping. Dengan kapasitas produksi saat ini, mereka belum mampu memenuhi pasar luar desa. ”Buat mencukupi permintaan di sini saja kami sudah kewalahan” ujar Bu Giyem.

Kemandirian dan Pertanian Masa Depan
Usaha Bu Giyem dan kelompok Sekar Mulya belum lagi berkembang besar, namun ada semangat untuk mengembangkan perekonomian keluarga berbasis sumber daya lokal. Inilah awal kemandirian, memulai dengan apa yang dimiliki, mengembangkan dan mendapatkan hasil darinya. Bu Giyem dan kelompoknya telah memberikan teladan yang baik. ”Memulai sesuatu memang dari hal yang kecil, tidak bisa langsung besar dan membawa keuntungan, apalagi usaha seperti ini, kita harus benar-benar sabar dan ulet” papar Bu Giyem.

Total produksi 30 Kg perbulan belum cukup untuk di”ekspor”, kecuali satu permintaan khusus dari Bandung, itupun karena pesanan salah seorang tetangga yang sedang membuka warung kecil-kecilan disana. Oh ya..setiap kilogram emping melinjo kualitas kelas 1 dihargai Rp. 18.000, untuk kualitas kelas 2 dijual dengan harga Rp. 15.000,- Perbedaan kualitas disebabkan karena rasanya, kualitas kelas 1 biasanya berwarna putih, rasanya gurih, terasa melinjo-nya dan lebih mengembang waktu digoreng. Sedangkan kualitas nomor 2 Emping berwana agak kelam, rasa melinjonya agak samar dan tidak mengembang sempurna jika digoreng.
Bu Giyem dan kelompoknya sedang berusaha memotong rantai pertanian yang selama ini membelenggu petani. Mereka memangkas jalur distribusi produk pertanian dan mengolahnya menjadi barang siap konsumsi. Sedikit demi sedikit mereka menggeser peran tengkulak dalam rantai pemasaran produk pertanian, menggantikannya dengan kemandirian, kerja keras petani untuk menghasilkan keuntungan yang sebanding dengan kerja keras petani.[]


Read more on this article...

Darmakeradenan ; Makmur dari Kapur?

ini cerita tentang desa yang hidup dari penambangan batu kapur. kegiatan ini menguntungkan i secara ekonomis, namun bagaimana keberlanjutan dan konservasi alamnya?

Jika melintas di jalan raya Ajibarang-Gumelar pastikan anda berhati-hati. Pasalnya banyak truk besar lalu lalang, selain sering diselimuti kabut putih. Truk mengangkut bongkahan-bongkahan bahan baku kapur sementara kabut putih adalah sisa pembakaran kapur tohor. Truk dan kabut putih merupakan “efek” dari eksplorasi pertambangan batu gamping yang dilakukan di kanan kiri jalanan itu. Jika tidak berhati-hati, salah-salah anda bisa tercium oleh atau terperosok jurang karena jarak pandang yang pendek.
Di wilayah ini terdapat gugusan perbukitan yang memanjang kurang lebih 4 km, berada di 3 kecamatan, Ajibarang, Gumelar, Pekuncen dan wilayah ini adalah daerah kaya sumber daya alam, khususnya batu gamping. Masyarakat menyebutnya dengan nama Igir Badak. Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas memperkirakan total cadangan limestone yang bisa dieksplorasi sekitar 442.181.173 ton. Jumlah tersebut hanya cadangan di Desa Darmakeradenan, desa dan kecamatan lain belum dihitung. Bisa dipastikan total cadangan batu gamping di perbukitan tersebut jauh melebihi angka yang dikeluarkan pemerintah.
Masyarakat di sekitar perbukitan gamping, khususnya desa Darmakeradenan sudah terbiasa mengolah batu gamping tersebut menjadi kapur tohor, bahan inilah yang nantinya diolah menjadi kapur putih yang biasa digunakan untuk campuran adonan semen, labur( sejenis kapur tembok), bahkan campuran makanan ternak.
“Dari saya kecil sampai sekarang, bukit kapur itu ya ajeg, kayaknya nggak kurang-kurang, padahal tiap hari pasti ada yang mbledug” ujar Karsim (40 th).
Saat ini di Desa Darmakeradenan, paling tidak ada 50 buah tobong. Tobong adalah tempat pengolahan dan pembakaran batu gamping menjadi kapur tohor. Tiap tobong bisa menghasilkan sekitar 40 M² kapur per minggu. Dari tiap meter kubik kapur yang dihasilkan, Pemkab Banyumas kebagian jatah melalui pajak bahan galian C sebesar 15 % dari hasil penjualan kapur. Jika dikonversi dengan harga kapur di pasaran sekarang, pemerintah Kabupaten Banyumas memperoleh konstribusi sekitar Rp. 15.000,- per M³ kapur. Namun, sampai sekarang belum ada laporan yang pasti tentang pendapatan daerah dari sektor ini.
Setiap kali obong membutuhkan paling tidak 12 truk batu gamping, tiap rit gamping dibeli seharga Rp. 70.000. Batu gamping ini dibeli dari para pemilik tanah yang kebetulan memiliki lahan bergamping, atau kepada Perhutani jika batu gamping diambil dari hutan.
Cadangan batu gamping di desa Darmakradenan terdapat di beberapa grumbul, antara lain di grumbul Pegawulan, Karangpucung, Angkruk dan Darma. Di grumbul Angkruk lokasi batu gamping terletak di wilayah Perhutani mempunyai panjang 1.475,00 M, Lebar 540,93 M, tebal 188,00 M berat jenis 2,2 kg, kawasan ini mempunyai cadangan batu gamping sebesar 164.499.999 ton. Dari penelitian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas, bahwa batu gamping di grumbul ini memiliki kualitas paling baik, kadar CaO-nya mencapai 53,5 %. Di Karang Pucung dan Pegawulan, terdapat cadangan batu gamping dengan panjang 1.200,00 m, lebar 261, 12 m, tebal 188 m, berat jenis 2,20 kg, jadi cadangan di kawasan ini adalah 67.499.520 ton.
Batu gamping juga dapat dimanfaatkan untuk membuat klinker, bahan ini adalah bahan dasar pembuatan semen portland. Batu gamping di Grumbul Angkruk inilah yang paling baik untuk dijadikan klinker, karena kadar CaO-nya tinggi. Dengan cadangan yang melimpah, jika di daerah tersebut dibangun pabrik semen tipe 1 dengan kapasitas 1,5 juta ton/tahun dengan tekhnologi yang kurang lebih sama dengan PT. Semen Nusantara, tambang dan pabrik nanti akan bertahan selama 176 tahun. Sungguh menggiurkan untuk menambah pundi-pundi PAD. ”Potensinya sangat besar, namun belum ada investor yang serius mengembangkan sektor ini” ujar Bambang Udoyo, Kasi Pertambangan Umum DISAIRTAMBEN Banyumas.
Masa Keemasan
Pada tahun 80-an, kapur Darmakradenan memasuki masa kejayaannya. Pada tahun-tahun itu, tiap tobong bisa menghasilkan 40 ton kapur dalam sehari. Juragan-juragan kapur bermunculan, dan tiba-tiba saja di Darmakradenan berdiri bangungan-bangunan megah pada juragan itu. Selain menjadi juragan, tenaga kerja di desa itu juga terserap dalam kegiatan eksplorasi dan pengolahan batu gamping.
Menurut Rasiman, seorang mantan penambang, obong (membakar batu gamping) marak mulai tahun 60-an. Waktu itu baru terdapat beberapa tobong. ”Saya sempat lama bekerja sebagai tukang obong” ujar kakek 3 cucu ini.
Permintaan kapur meningkat, dan cadangan batu gamping di Darmakradenan terbilang banyak, maka masyarakat desa itu berbondong-bondong menjadi juragan dan pekerja pertambangan kapur. Awalnya mereka mengambil bongkahan batu gamping dengan cara manual, cangkul, linggis dan perkakas lain digunakan untuk ndukir. Seiring dengan meningkatnya permintaan, untuk memenuhi batu gamping didapat dengan meledakan bukit, maka aktifitas menambang batu gamping ini sering juga disebut mbledug, karena sering terdengar dhuar-dhuer ledakan. Dalam sehari mereka bisa 2 kali obong, tiap kali obong bisa menghasilkan 20 ton kapur.
Pada tahun 2005 total nilai yang mampu dihasilkan sebesar Rp. 6.220.800.000,-. Sektor ini menyumbang pendapatan sebesar 1.325.200. terdapat 42 rumah tangga yang menggantungkah hidup dengan total anggota keluarga 84 orang, dan jumlah rumah tangga buruhnya 658 dengan jumlah anggota keluarga mencapai 873 orang.
Reklamasi dan Sumberdaya Alternatif
Setiap upaya penambangan pasti menyisakan problem lingkungan. Banyak contoh kasus yang membuat kita harus berhati-hati dalam melakukan eksplorasi sumber daya alam. Krisis lingkungan yang ditinggalkan oleh aktifitas penambangan bermacam-macam, mulai dari degradasi lahan sampai residu bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi manusia.
“Idealnya, tiap usaha eksplorasi harus diikuti oleh upaya reklamasi” ujar Bambang. Komitmen ini, menurut Bambang, harus ditaati oleh pengusaha pertambangan agar upaya penambangannya tidak membawa akibat buruk bagi masyarakat dan lingkungan maka perlu upaya sistematis untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan.
Dari pengamatan sederhana di desa Darmakeradenan, diketahui bahwa daerah ini adalah daerah rawan bencana. Rata-rata kemiringan lahan mencapai 22 persen, belum lagi lahan-lahan bekas penambangan kapur yang sudah sangat kritis. Diatas pemukiman penduduk di Grumbul Pegawulan, terdapat bukit-bukit yang putih menganga tanpa tumbuhan. Ditambah lagi aktifitas mledug yang menimbulkan getaran-getaran kuat. Mbledug adalah meledakan bukit kapur dengan dinamit untuk mendapatkan bongkahan kapur mentah.
Dinas pertambangan Kabupaten Banyumas mengakui bahwa upaya pemantauan kegiatan pertambangan belum maksimal. Saat ini baru ada 2 orang tenaga pantau untuk mengawasi kegiatan-kegiatan pertambangan di seluruh wilayah Banyumas.
”Selama ini kami hanya mengandalkan informasi dari kepala desa dan camat untuk melaporkan kegiatan pertambangan yang tidak berijin, mereka masuk dalam tim pemantauan di bawah dinas pertambangan” ujar Bambang.
Di sisi lain, Darmakeradenan sesungguhnya adalah desa dengan potensi pertanian lahan kering yang besar. Pertanian di Darmakeradenan berkembang sebagai pertanian lahan kering dan sedikit pertanian lahan basah. Wilayahnya yang berbukit dan memiliki kemiringan hampir 40 persen menjadikan desa ini sebagai wilayah tidak begitu produktif untuk tanaman pangan. Produk pertanian yang dihasilkan dari wilayah ini adalah palawija dan kayu-kayuan.
Pada tahun 2005, Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar Darmakeradenan berasal dari sektor pertanian terutama tanaman padi. Dengan luas tanaman Padi 100,485 Ha mampu menghasilkan Rp. 6.250.000/ha. Total pendapatan kotor dari tanaman ini sebesar Rp. 570.754.800. Penyumbang PDB terbesar ke dua adalah Jagung yang mampu menghasilkan 2.000.000/ha dengan luas 10,50 ha. Total pendapatan dari tanaman ini adalah Rp. 12.232.500,-. Kemudian disusul kacang tanah dan kedelai yang masing-masing menyumbang pendapatan kotor sebesar Rp. 13.500.000 dan 6.225.000,-.
Di sektor perkebunan, terdapat perkebunan coklat seluas 230 ha yang dikuasai oleh perkebunan swasta besar, sementara hanya 43,5 ha dimiliki oleh warga. Dari luas 43,5 ha dapat dirinci sebagai berikut : kelapa 14,56 ha, kopi 10 ha, cengkih 12 ha, lada 5 ha, dan vanili 2 ha)


Read more on this article...

Kamis, 04 Oktober 2007

Mas Ratno, Guru yang belajar pada Petani

Hampir pukul 3 sore ketika seorang pria datang tergopoh-gopoh ke sekretariat Paguyuban Tani Sri Rejeki (PTSR). “ Maaf agak terlambat, murid-murid saya sebentar lagi ujian, saya harus nge-les dulu” ujarnya usai memarkir motor Cina yang setia menjadi tunggangan sehari-hari.

Hari ini pengurus Paguyuban Tani Sri Rejeki, Desa Bantarsari Cilacap, mengadakan rapat rutin bulanan untuk membahas perkembangan organisasi, dan Suratno Akhmad, nama pria yang baru datang, harus memimpin rapat.Mas Ratno, begitu dia sering disapa, adalah sekretaris PTSR, organisasi tani yang sedang menghadapi konflik agraria. Sampai saat ini Mas Ratno sudah dua kali terpilih menjadi sekretaris organisasi,sejak organisasi berdiri pada tahun 2000. “Kami mempunyai sejarah yang panjang dengan tanah ini, sebelum seperti ini (persawahan-red) tanah ini adalah rawa-rawa yang tidak produktif, kamilah yang mengubahnya menjadi lahan subur dan produktif” ujarnya menjelaskan alasan petani mempertahankan garapan.

Mas Ratno cukup beruntung, jika umumnya petani tidak mengenyam pendidikan tinggi, lain halnya dengan Mas Ratno, dia berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Ushuludin, IAIN Gunung Jati Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Agama. Dengan bekalnya menimba ilmu, dia juga menekuni profesi sebagai seorang guru di yayasan pendidikan Muhamadiyah.“Sebagai manusia, kita mempunyai kewajiban untuk menolong manusia lain keluar dari kesulitannya” kata Ratno.

Aktifitasnya dalam organisasi dimaknai sebagai implementasi konsep tersebut. Dia ingin ingin ilmu yang dimilikinya bisa membantu menyelesaikan sengketa agraria antara PTSR dan Pemerintah Kabupaten Cilacap di tanah eks perkebunan NV. Rubber Culturr Maatschappy Kubangkangkung seluas 84,59 ha. Melalui organisasi tani inilah Mas Ratno ingin berguna bagi petani penggarap di desanya, karena bagi Mas Ratno, sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna bagi sesama. Saling BelajarBerinteraksi dengan petani bagi Mas Ratno sama dengan proses belajar yang tiada henti. Petani adalah sumber inspirasi yang selalu mengalir.” Mereka mengajari saya tentang hidup yang sesungguhnya, bagaimana menyelesaikan masalah dan mensyukuri nikmat” ujarnya. Karena itulah pada setiap pelajaran yang diberikannya di sekolah, dia selalu menekankan kebanggaan menjadi anak petani dan profesi petani. Diceritakan kepada murid-muridnya bahwa petani adalah manusia orang yang dinamis, mau bekerja dan belajar keras. Karena itulah petani bukan pekerjaan rendahan, tidak kalah bergengsi dengan pekerjaan lain di kota besar. Agamanya mengajarkan bahwa sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan yang menghidupi orang banyak, membawa manfaat bagi kehidupan.

Menjadi petani menurutnya adalah perkerjaan yang membawa manfaat bagi sesama.Lahir dengan nama Akhmad Suratno, anak petani di Bantarsari pada tanggal 12 September 1972. Sebagai anak petani dia menyadari betul bahwa tanah adalah ruh petani, kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masa SD dilewatkan di Bantarsari, SMP dan SMA-nya dijalani di Gandrungmangu, kota kecamatan di sebelah desanya.

Dinamika di organisasi tani membuatnya sadar bahwa banyaknya petani yang tidak mempunyai lahan garapan bukan hanya persoalan tidak mempunyai cukup modal untuk membeli tanah. Tapi ada persoalan struktural yaitu pemerintah tidak pernah serius melaksanakan reforma agraria yang menjamin tersedianya tanah garapan untuk petani. Seperti aktifis organisasi tani lain, Mas Ratno juga berjuang agar pemerintah secepatnya merealisasikan program revitalisasi pertanian yang mencakup pelaksanaan reforma agraria seperti diamanatkan UUPA. Saat ini Mas Ratno dikaruniai dua orang putri. Jihan Arkani Fauziah dan Mutiara Tsani dari seorang istri Siti Nurkhasanah.

Dengan keluarnyanya inilah dia harus berkompromomi dan memberi penjelasan bahwa aktifitas organisasi memang menyita waktu.Beruntung dia mempunyai istri yang memahami aktifitas organisas, maka tak menjadi masalah jika dia sering ditinggal malam-malam untuk menghadiri rapat dan koordinasi organisasi
Read more on this article...

Isyarat Krisis Air Di Banyumas

Oleh Muhammad N. Latief

Pertengahan tahun 2006, pada suatu kesempatan diskusi yang diselenggarakan oleh salah satu harian lokal, direktur baru PDAM pada waktu itu mengungkapkan gagasan untuk menggunakan air sisa pemutar turbin PLTA Ketenger Baturaden, Banyumas sebagai salah satu sumber air bakunya. Dengan menggunakan air dari Kali Banjaran, persoalan pelayanan pada pelanggan akan teratasi, bisa menambah pelanggan baru sebanyak-banyaknya, bahkan bisa “mengekspor” air bersih ke kabupaten tetangga dalam rentang waktu puluhan tahun mendatang.

PDAM Banyumas saat ini mengelola air dengan debit 607 l/dt pada musim penghujan dan 529 l/dt serta 470 l/dt pada musim penghujan dan turun sampai dengan 390 l/dt pada musim kemarau khusus untuk kota Puwokerto. Mereka melayani lebih dari 11.000 pelanggan. Dengan kondisi ini wajar bila PDAM melakukan upaya-upaya untuk menambah pasokan air bakunya.
Bagi petani yang menggantungkan hidup pada sawah dan irigasi, rencana ini adalah berita buruk yang mengancam kelangsungan usaha tani mereka. Saat ini, air Kali Banjaran digunakan oleh hampir 20 % sawah irigasi tekhnis di Banyumas yang luasnya mencapai 10.509 ha. Karena itulah mereka menolak pengambilan air dari hulu sungai banjaran untuk air minum walaupun hanya 100-300 liter/detik.
Anatomi Konflik Sumber Daya Air
Konflik antara PDAM Banyumas dan petani-petani di daerah hilir Kali Banjaran menandai babak baru krisis dan konflik air di Banyumas. Selama ini, kita sering mendengar petani sering berebut air, ronda air pada saluran tersier maupun kuarter irigasi sebagai konflik atas sumber daya air secara terbuka. Dalam konflik ini, petani berperan sebagai korban sekaligus pelaku konflik air. Babak baru krisis air ini ditandai munculnya konflik antara petani dengan korporasi (PDAM) yang ramai diberitakan media. Selain itu juga mulai terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan air kemasan walaupun dalam skala kecil, seperti di Desa Pancasan Kecamatan Ajibarang dan Kecamatan Sumbang. Konflik horisontal antar petani mulai berubah menjadi konflik vertikal, antara masyarakat dengan negara sebagai pengambil kebijakan pengelolaan air yang berkolaborasi dengan pemilik modal.
Sekilas, konflik ini muncul dari sulitnya pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat kota berhadapan dengan kebutuhan pemenuhan air irigasi petani dan bisa dikategorikan sebagai konflik horizontal. Tetapi, jika kita lebih teliti, dapat dilihat bahwa dasar konflik ini adalah konflik vertikal antara masyarakat yang membutuhkan air (air bersih maupun air irigasi) dengan pengambil kebijakan sumber daya air.
Keterlibatan korporasi yang bersekutu dengan negara memunculkan kecurigaan berlakunya gagasan neoliberal dalam pengelolaan air. Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan dipicu oleh air (Shiva.2002). Dulu air dipandang sebagai public goods yang harus dipelihara bersama-sama dan haram diperjual-belikan, bahkan air disebut sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan (Shiva; 2002). Gagasan neoliberal merubah cara pandang terhadap air sebagai barang dagangan yang bisa mendatangkan keuntungan besar.
Pembangunan Tidak Berwawasan Lingkungan
Jika dianalisis lebih jauh, konflik sumber daya air mempunyai beberapa sebab. Pertama sentralisasi pemenuhan kebutuhan air bersih lewat PDAM, pada satu sisi memang merupakan bentuk dari tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Namun, skema ini tidak melihat daya dukung lokal dan pola dasar pemenuhan air masyarakat. Tradisi dan kearifan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air terganti dengan budaya instan. Masyarakat kita tak lagi mengandalkan sumur dangkal sebagai pemasok kebutuhan air, padahal dulunya di sekitar sumur pasti tumbuh rimbun pohon penahan air. Dengan budaya inilah, masyarakat kita tidak kesulitan air jika kemarau tiba.
Kedua, di Banyumas, segala aktifitas yang bisa mengakibatkan krisis air sudah berjalan. Ambil contoh aktifitas penebangan hutan produksi Perhutani di sekitar Gunung Cendana dan Bunder berkontribusi pada penurunan debit air Kali Banjaran, pengelolaan hutan oleh perusahaan ini juga menimbulkan konflik sosial ekonomi dengan masyarakat sekitar hutan. Contoh lain, penambangan limestone (batu gamping) di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang yang sudah sampai pada tahap menimbulkan resiko bencana ekologis. Belum lagi 18 potensi bahan galian lain, dari andesit sampai emas tinggal menunggu investor yang mengeksplorasinya.
Ketiga pemerintah daerah hanya mementingkan tercapainya target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rejim PAD ini melakukan segala daya upaya untuk mendatangkan pendapatan, termasuk mendatangkan investasi sebesar-besarnya. Keberhasilan otonomi daerah menurut mereka tergantung seberapa besar Pemerintah Daerah menghasilkan pendapatan dan mendatangkan investasi. Demi mengejar PAD, pembangunan ruko dan bangunan besar lain tak terkendali, menggusur lahan pertanian dan menutup saluran irigasi.
Selain masalah diatas, siklus hidrologis air telah mengalami perubahan ekstrem, manusia modern telah merusak dan menghancurkan kapasitas bumi untuk menerima, menyerap dan menampung air. Industri, dan pertanian tidak ramah lingkungan mengeringkan ekosistem dan meningkatkan penggunaan bahan bakar minyak yang menjadi penyebab utama polusi dan perubahan iklim global.
Sekarang, tinggal kita yang memilih, akan segera mengalami krisis lingkungan atau berpikir tentang konservasi dan bersahabat dengan alam. Pilihan pertama mungkin mudah dilakukan dan sesuai dengan pola pikir rejim otonomi daerah, karena pilihan inilah yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pilihan kedua? Hanya orang-orang yang berpikir yang melakukannya?
Read more on this article...