Rabu, 24 Oktober 2007

PILKADES dan Gagasan Pembaharuan Desa

Dulu, waktu masih mahasiswa, kami sering membandingkan kondisi demokrasi di kampus dan desa. Waktu itu menurut kami, kehidupan demokrasi di desa jauh lebih maju dari pada di kampus. Masyarakat desa memilih secara langsung pimpinan mereka dan mengontrol kinerjanya melalui BPD yang independen. Di kampus, rektor --terutama PT yang belum menjadi BHMN-- merangkap jabatan, sebagai eksekutif juga sebagai ketua Senat Universitas, lembaga yang salah satu tugasnya melakukan kontrol terhadap kinerja Rektor.

Setelah lulus dan kemudian bekerja, obrolan tersebut saya pikir layak untuk direnungkan kembali. Melihat realitas kehidupan pedesaan ternyata tidak segampang hanya dengan menggunakan kaca demokrasi elektoral. Menurut pengamatan saya, kompleksitas kehidupan masyarakat pedesaan juga harus dilihat dalam kaca mata yang lain, misalnya ekonomi dan politik.

Sebentar lagi, Kabupaten Banyumas menyelenggarakan dua hajat yang penting bagi demokrasi. Pertama Pilkades, rencananya akan dilaksanakan tahun ini, waktu pelaksanaannya secara pasti belum ditentukan, mungkin serentak, ingin mengulang keberhasilan kabupaten tetangganya Purbalingga. Hajat yang ke dua adalah PILKADA, pemilihan bupati langsung, Juni 2008, ini hajat yang lebih besar, pemain-pemainnya tambah banyak dan semakin ruwet urusan politiknya.

Dalam momentum menjelang PILKADES ini saya ingin memaknainya lebih dalam, bukan sekedar memuaskan hajat demokrasi elektoral, namun lebih jauh memaknainya sebagai peluang untuk memajukan kehidupan pedesaan, terutama petani pedesaan. Lebih khusus lagi memaknai jabatan kepala desa, sebagai jabatan politik yang dapat memajukan masyarakat petani yang menjadi mayoritas penduduk. Kepala desa sudah waktunya untuk dimaknai bukan sekedar kepanjangan tangan administrasi pemerintahan supradesa.

Kemiskinan Pedesaan
Di akhir tahun 2006, World Bank mengeluarkan hasil risetnya yang mencengangkan. Menurut World Bank sekitar 49 persen dari total penduduk Indonesia atau 109 juta jiwa masuk dalam kategori miskin. Sementara jumlah penduduk miskin menurut angka resmi pemerintah per agustus 2006 adalah 39,1 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Tidak usah bingung menentukan mana yang lebih kita percaya, apapun metode dan indikator data tersebut, jumlah penduduk miskin dan persoalan pengangguran yang tinggi adalah fakta yang tidak boleh dianggap enteng. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada di wilayah pedesaan, BPS misalnya menyebut 24,8 juta jiwa dari angka kemiskinan berada di pedesaan, penduduk miskin di pedesaan tersebut bekerja di sektor pertanian sebagai petani maupun buruh tani.
Paparan angka diatas menunjukan bahwa sekarang kita sedang “menikmati” hasil dari model pembangunan yang menafikan posisi desa. Pada dekade tahun 50-an, teori pembangunan melihat industrialisasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari keterbelakangan. B. Higgins yang dikutip oleh Mubyarto mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi oleh masyarakat pertanian Indonesia tidak dapat dipecahkan dengan program-program pertanian saja. Menurutnya, hanya industrialisasi yang mampu mengubah pengangguran tersembunyi menjadi kerja yang produktif.

Memang industrialisasi di sektor manufaktur, perkebunan, pertanian, kehutanan berkembang dan pertumbuhan ekonomi meroket. Tapi, model pembangunan yang “kota sentris” mengorbankan penduduk desa yang hanya menjadi suplayer tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi pertanian yang diberi nilai tukarnya rendah dibandingkan dengan produk industri. Akibatnya, akumulasi kapital pun mengalir ke kapitalis asing dan kesenjangan ekonomi semakin melebar antar sektor perkotaan dengan pedesaan, sektor formal dengan informal, sektor kapitalis dengan prakapitalis.

Dalam kondisi ini tidak mungkin terjadi akumulasi kapital pada masyarakat pedesaan atau petani, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan usaha tani. Perhatian pemerintah yang hanya menekankan pada swasembada beras, juga menghancurkan kreatifitas petani untuk melakukan diversifikasi komoditas tanaman. Parahnya, fasilitas kredit yang mereka perlukan dipenuhi bukan dari lembaga keuangan formal, namun dari lembana informal yang semakin menjerat mereka dalam kemiskinan.

Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan modal telah menghancurkan pondasi ekonomi desa. Kegiatan ekonomi yang dijalankan adalah bentuk kegiatan yang mendorong laju pertumbuhan dan berpusat di kota, akibatnya kota menjadi terbebani dengan limpahan tenaga kerja dari pedesaan. Sementara desa terperosok dalam kubangan kemiskinan dan tidak lagi sebagai elemen penting pertumbuhan ekonomi. Sektor agraris tertinggal, parahnya desakan urbanisasi telah menjadikan desa miskin sumber daya manusia yang potensial. Selain itu terjadi pula kekerasan ekonomi negara yang menghancurkan sistem perekonomian yang dibangun oleh petani, yaitu memaksakan revolusi hijau, coorporate farming, membiarkan benih transgenik menggantikan benih lokal. Akibatnya hancurlah bangunan ekonomi petani yang arif dan diganti dengan ambisi pertumbuhan ekonomi dan pasar bebas.

PILKADES dan Pembaharuan Desa
Otonomi daerah, setidaknya membuka peluang terbukanya saluran-saluran politik masyarakat yang selama ini dihilangkan. Pelaksanaan otonomi daerah harus mempunyai makna pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi (akses terhadap sumberdaya produktif utamanya lahan) politik (sistem pengambilan keputusan) dan sosial (kelembagaan masyarakat) hingga pada tingkat desa, serta aspek lingkungan (sustainability). Desentralisasi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang menawarkan kesadaran pada kita bahwa ke depan, pembangunan harus dijiwai dan mengakomodasi nilai-nilai lokal, kultural dan historis masyarakat setempat ke dalam bentuk partisipasi seluas-luasnya.

Paralel dengan semangat ideal desentralisasi tersebut, ide tentang pembaharuan desa menemukan signifikansinya pada perbaikan kehidupan desa. Pembaharuan desa dilakukan untuk mengawal perubahan relasi ekonomi politik desa secara internal maupun eksternal yang memiliki tatanan kehidupan baru yang demokratis, mandiri dan adil. Dengan demikian, pembaharuan desa hendak melakukan konfrontasi terhadap ketimpangan ekonomi politik desa maupun krisis sosial di desa. Pembaharuan desa juga dilakukan dalam upaya mendorong masyarakat belajar secara kritis untuk mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi hidup mereka, menempa kapasitas, membangkitkan potensi dan kekuatan lokal serta mengembangkan modal sosial, yang semua ini menjadi basis bagi demokrasi dan otonomi desa.
Pilkades, seperti hajatan demokrasi yang lain sebenarnya juga membuka jalan bagi pembaharuan desa. Hasil Pilkades, sesungguhnya jabatan politis yang kuat legitimasinya dan berdaulat. Dengan kekuasaannya Kades mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan (Perdes) dengan persetujuan BPD.

Semacam kontrak politik, masyarakat pedesaan juga bisa memanfaatkan momentum PILKADES untuk mencari sosok Kepala Desa yang penuh komitmen untuk pembaharuan desa, daripada terus menerus dibohongi janji-janji semu politik uang. Sebagai perbandingan beberapa desa di Garut Jawa Barat telah sukses menyusun Perdes Tata Guna dan Tata Kelola Lahan, yang membuka akses petani-petani miskin pada faktor produksi tanah, dan menjamin kelangsungan usaha tani. Perdes ini merupakan hasil kontrak politik Kades terpilih dengan salah satu organisasi tani di desa tersebut. Inilah bukti bahwa masyarakat desa bisa menjadi pemeran aktif dalam hajat demokrasi, bukan hanya sekedar objek mobilisasi suara yang hanya diganti dengan beberapa lembar rupiah. Masyarakat desa bisa berdaya dan mempunyai posisi tawar secara politik sejak awal pemilihan Kades.


Tidak ada komentar: