Senin, 17 Desember 2007

Air dan Kehidupan

Kehidupan, konon hanya ada di planet bumi. Di planet inilah ada kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Menurut para ahli, kehidupan di bumi ini ada karena terdapat unsure udara dan air, unsure paling penting penentu kehidupan. Hal ini dulu sering kita dengan waktu kita mendapat pelajaran IPA, jaman kita sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, kita diberi tahu jika air adalah unsure utama pembentuk kehidupan di muka bumi.

Kesadaran kita tentang air berbeda dari jaman kita kecil. Dulu kita asyik saja bermain air, dus-dusan sampai mata memerah dan kulit legam. Sekarang kita menyadari bahwa tanpa air irigasi sawah kering dan tak berproduksi. Tanpa air ledeng yang mengalir lancar, keluarga-keluarga di kota tergangu irama kehidupannya. Bahkan di kota-kota besar, setiap keluarga harus menyiapkan rupiah dalam jumlah yang tidak sedikit untuk menghadirkan beberapa jerigen air di dapur. Kita juga mulai dengan serius berteriak tidak setuju ketika hutan banyak digunduli, karena kita tahu hutan adalah spon raksasa penyimpan air.
Secara alamiah, air menempati posisi yang unik bahkan sentral dalam kehidupan kita. Vandanashiva seorang aktifis lingkungan dunia menyebut air sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan, karena itulah air harus dijaga dengan benar agar kehidupan manusia tidak terganggu. Dalam pandangan yang lebih kapitalistik, Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, barang tambang yang hanya bisa diperoleh dengan mengebor sedalam ribuan kilometer ke dalam perut bumi, perang masa depan dipicu oleh air.
Sesungguhnya, ada landasan etik pengelolaan air. Karena semua orang di dunia membutuhkannya, air tidak boleh dikelola selayaknya komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan besar.
Pertanyaannya adalah mengapa air menjadi memiliki nilai ekonomi sedemikian tinggi?
Read more on this article...

Kamis, 13 Desember 2007

Banyumas yang Mengering

Ini kejadian rutin di Purwokerto, khususnya di perumahan-perumahan yang menjadi pelanggan PDAM. Tiap memasuki musim kemarau, sekitar bulan Juli, aliran ledeng ke rumah mereka crat-crit, tidak lancar dan hanya air mengalir beberapa jam sehari. Termasuk perumahan di seputar Universitas Jenderal Soedirman, padahal jaraknya hanya beberapa kilometer dari daerah resapan air di Baturaden.

“Dua tahun saya ngontrak di GS (Perum Griya Satria), tiap kemarau, mandi selalu ngungsi”, ujar Priyo (22 th), mahasiswa FISIP Unsoed asal Tegal. Priyo juga mengaku sering begadang, menunggu ember dan bak mandinya terisi penuh. Di perumahan tempat dia tinggal, biasanya ledeng kembali mengalir tengah malam sampai dini hari.
Keluhan sama juga diungkapkan oleh Heri (35 th) seorang PNS di Balai Pelelangan Ikan Cilacap yang tinggal di perumahan Tanjung Elok Purwokerto. Jika memasuki musim kemarau, ledeng di rumahnya tidak pernah lancar. “Kalau sudah terang (kemarau) repot mas” ujarnya.

Masalah PDAM
Ketika ditanya apa penyebabnya, serentak mereka menuding PDAM Banyumas sebagai biang keladi masalah ini. Menurut mereka, BUMD ini tidak memiliki skema alternative untuk mengatasi keluhan pelanggan yang tiap tahun berulang.
“Masa dari tahun ke tahun tidak pernah ketemu solusinya?”, ujar Heri.

PDAM Banyumas memang pantas pusing. Kondisi perusahaan tak cukup menggembirakan, saat ini kapasitas produksi mereka 517,98 Liter/detik. Dengan kapasitas itu, mereka hanya bisa melayani 66,91 persen di Kota Purwokerto, 42,90 persen dari kota se Kabupaten Banyumas, dan 15,2 persen dari Kabupaten Banyumas, itupun dengan layanan yang pas-pasan bahkan cenderung kurang.

Kesulitan yang dihadapai PDAM adalah sumber air baku yang semakin sulit didapat. Data yang diperoleh dari Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan dan Lingkungan (DKSDHL), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Banyumas, membenarkan alas an ini. Pada bulan Agustus 2007 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas hanya tinggal 500 titik, padahal di tahun 2002 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas mencapai 3.002 titik. Secara umum inilah penyebab utama krisis air bersih di 57 desa Banyumas akhir-akhir ini.

Selain persoalan pasokan air baku, 30 persen sarana prasarana produksi dan distribusi air milik PDAM dalam kondisi rusak, usia peralatan teknis itu telah lebih dari 20 tahun, bahkan ada berapa peralatan peninggalan pemerintah colonial Belanda yang masih digunakan. Problem-problem tersebut menumpuk dan sulit diatasi, pada akhirnya, pelangganlah yang tiap tahun merasakan ledeng yang macet, dan air yang crat-crit, keruh, bahkan berbau.

Kekeringan Parah
Kabupaten Banyumas dengan topografi wilayah yang berbukit-bukit memang memungkinkan terjadi kekeringan di musim kemarau. Terdapat 40 desa yang tersebar di 12 kecamatan di Banyumas yang menjadi langganan kekeringan. 12 kecamatan itu adalah Kebasen, Rawalo, Sumpiuh, Tambak, Kalibagor. Kecamatan lainnya Wangon, Somagede, Rawalo, Cilongok, Jatilawang, Ajibarang, dan Gumelar.
Kekeringan di tahun 2007 ini lebih parah dari tahun kemarin, di Kecamatan Tambak dan Sumpiuh, pada bulan Agustus 2007 sudah mengalami instrusi. Intrusi adalah gejala alam berupa masuknya air asin ke daratan. Gejala ini disebabkan rendahnya permukaan air tawar. Selain itu, kejadian ini juga dipicu oleh rusaknya klep pengatur pembuangan, sehingga air laut samudra hindia yang berjarak 30 km dari sebelah selatan kecamatan tersebut masuk ke sungai-sungai dan akhirnya meresap ke sumur warga. Biasanya intrusi terjadi saat kemarau mencapai puncaknya, kisaran bulan November, tapi tahun ini intrusi sudah terjadi di bulan Agustus.
Secara umum disebutkan dalam surat surat edaran Provinsi Jawa Tengah No. 360/8476 tertanggal 14 Juli 2003 bahwa, 29 kabupaten di Jawa Tengah mengalami kekurangan air bersih. Di karesidenan Banyumas dan Pekalongan terdapat 9 kabupaten yang mengalami kekurangan air. Tercatat 327 desa di 57 kecamatan yang tersebar di Kabupaten Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga dan Cilacap mengalami kekurangan air bersih.
Dampak paling terasa adalah kesulitan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Di desa Kedungwuluh Lor, Kecamatan Patikraja misalnya, Selama musim kemarau, mereka harus mencari ke sejumlah mata air di luar desa yang jarak tempuhnya mencapi 1,5 km. Sementara bantuan air bersih dari PEMKAB Banyumas hanya berkisar 4000 liter. Jumlah tersebut tidak cukup untuk memasok kebutuhan ribuan warga. Akibatnya, pembagian air bantuan pemerintah selalu diwarnai dengan rebutan air, dan keluhan tidak memperoleh jatah air bersih. Masyarakat di Kecamatan Sumpyuh warga terpaksa memilih mencari air ke desa tetangga yang letaknya sekitar 3-5 km. Bahkan sebagian dari mereka mencari air hingga ke Rowokele dan Ayah di Kabupaten Kebumen.
Kekeringan juga mengancam kondisi ketersediaan pangan. Pada minggu pertama Agustus 2007 kekeringan di Jateng sudah melanda sekitar 108.000 hektar lahan sawah dengan kondisi puso sekitar 10 persen. Akibatnya, pada tahun 2007 ini, produksi padi diperkirakan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ramalan II 2007 menunjukkan angka perkiraaan produksi padi dalam setahun hanya sebesar 8,38 juta ton dengan luas panen selama tahun 2007 hanya seluas 1,56 juta hektar. Berbeda dengan tahun 2006, angka produksi mencapai 8,73 juta ton, angka tertinggi sejak tahun 2000. keberhasilan ini berkat dkungan curah hujan, saat itu jumlah lahan panen mencapai 1,66 juta hektar dengan kondisi puso hanya 6.000 hektar.

Kerusakan Ekosistem
Kekeringan dimusim kemarau dan banjir di musim hujan sepertinya sudah menjadi agenda rutin dalam kehidupan kita. Jika sudah seperti ini, bukan lagi fenomena alam biasa. Kenyataan ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan ekosistem, sebabnya adalah kerusakan lingkungan yang parah. Masyarakat kadang salah memahami, kekeringan dan banjir sering dianggap bencana alam, padahal bencana-bencana alam ini bukanlah suatu kondisi yang begitu saja terjadi, tetapi akibat yang muncul dari akumulasi berbagai kerusakan di bumi.
Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyumas menunjukan kerusakan ekosistem banyak dipicu oleh aktifitas ekonomi manusia. Penebangan hutan menjadi salah satu sebab kerusakan alam. Menurut Wisnu Hermawanto, Kepala Dishutbun, setiap hari ada sekitar 500 meter kubik kayu di Banyumas yang ditebang. Jumlah tersebut setara dengan 1.500 batang pohon. Padahal, mata air membutuhkan sedikitnya 400 batang pohon sebagai penyimpan air. Jika tidak ada upaya serius untum menghentikan penebangan dan reboisasi, Wisnu memperkirakan dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, di Banyumas sudah tidak ada lagi mata air.
Penebangan memberikan implikasi buruk bagi hutan, padahal hutan memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air, berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro, dan mampu mencegah terjadinya bencana-bencana longsor, banjir, serta melindungi kawasan di bawahnya dari angin ribut. Akibat minimnya hutan, air hujan tidak dapat tertahan sehingga lari ke lahan yang lebih rendah dengan menggerus lapisan tanah atas (top soil) yang subur. Kondisi ini memaksa petani untuk memberi pupuk kimia agar tanahnya subur. Dampaknya, berbagai zat kimia tersebut mencemari air tanah dan mempersulit warga memperoleh air bersih.
Selain kerusakan hutan, penyedotan air tanah turut memberi andil bagi kekeringan. Kualitas dan kuantitas air merosot akibat penyadapan besar-besaran guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, rumah sakit, hotel, dan restoran.

Upaya Konservasi yang Serius
Sesungguhnya, tidak sulit untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem. Kita hanya memerlukan komitmen dan keingingan yang kuat untuk melaksanakan konservasi secara konsisten. Masalahnya sekarang, lingkungan tidak pernah dilihat dalam bagian yang intergral dalam pembangunan. Lingkungan telah dieksploitasi demi meningkatkan devisa dan mendongkrak pendapatan baik di daerah maupun secara nasional, namun upaya tersebut tidak dibarengi dengan penyelamatan dan rehabilitasi.

Menurut Dani Armanto, coordinator Komunitas Peduli Slamet (Kompleet) perlu langkah-langkah strategis dalam memulai usaha penyelamatan lingkungan. Pertama adalah membangun padangan bahwa lingkungan adalah bagian integral dari pembangunan. “Dampak pembangunan ekonomi terhadap lingkungan, social dan budaya harus diperhatikan. Harus ada kerangka dan mekanisme untuk meminimalisir dampak buruk pembangunan”, ujar Dani.
Investasi juga harus mendapat perhatian yang serius. Kadang investasi justru menjebak masyarakat sehingga menumpulkan kemampuan masyarakat untuk memobilisasi sumberdaya yang dimiliki. Bahkan, investasi juga medorong masyarakat untuk melepas asset yang dimiliki. Kawasan wisata Baturaden misalnya, di daerah tersebut, sebagai besar tanah sudah dimiliki oleh investor, masyarakat berbondong-bondong menjual tanahnya untuk mendapat keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Akibatnya, masyarakat di daerah tersebut tidak dapat menjadi pemain utama dalam usaha yang banyak ada disana, mereka hanya menjadi pemain pingiran dan bertebaran di sector informal. Pemerintah tidak harus selalu mengandalkan investasi untuk membiayai pembangunan daerah, namun ada kerangka untuk memaksimalkan penggunaan asset-asset yang dimiliki masyarakat.

Untuk mengembalikannya, perlu dilakukan penataan ulang struktur agraria. Reforma agraria adalah langkah untuk mengembalikan kemampuan produksi masyarakat dalam bidang pertanian sebagai pondasi utama pembangunan daerah. Langkah dalam redistribusi asset juga harus diikuti kebijakan yang berpihak pada pembangunan pertanian misalnya, proteksi, pengembangan kapasitas sumber daya manusia petani.

Di kalangan elit pemerintahan baik legislative maupun eksekutif juga harus dilakukan gerakan pembersihan dari mafia-mafia perijinan dan proyek. Mereka inilah yang merusak kerangka pembangunan daerah. Mereka hanya mengejar keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Read more on this article...

Sabtu, 08 Desember 2007

Kisah Cinta

Kata orang, jika barangnya panas, jangan disimpan lama-lama, tanganmu bisa terbakar, minimal sedikit melepuh atau kemerahan. Benar juga, barang yang didapat tanpa melewati prosedur semestinya, memang membuat pusing. Seperti uang hasil korupsi mungkin. Kira-kira demikian pelajaran yang bisa dipetik dari kisah yang akan saya ceritakan.

Untuk catatan, kisah ini saya kategorikan sebagai cinta, tapi bukan kisah cinta saya, jadi jangan pernah mencoba untuk mengkaitkan kisah ini dengan perjalanan hidup saya. Jika ada kemiripan kisah, nama dan karakter tokoh, anggap saja kebetulan, seperti sinetron-sinertron yang tak pernah mau dikaitkan dengan dunia nyata. Celakanya, walaupun saya sudah memberi warning begitu rupa, waktu kisah ini saya sodorkan pada seorang kawan dekat, dia ngotot menyamakan kisah ini dengan cerita yang saya alami. Dia-pun berargument, walaupun terdengar seperti argumentasi tim sukses PILKADA membela sang bos yang terkena black campaign. Ngotot. Saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, waktu itu, beberapa oz Chivas Regal Premium Scotch Whisky hasil patungan membuat tidak bisa membela diri, ada miss koordinasi antara otak dan organ tubuh saya, sehingga kata-kata yang telah tersusun rapi di otak tak sama dengan yang dia dengar.

Baiklah, mari kita buka kisah cinta yang kemarin sempat menghebohkan banyak kalangan. Begini ceritanya (jadi ingat program tayangan misteri di salah satu TV dulu) :

Perempuan Itu Datang Tiba-tiba
Datanglah seorang perempuan dalam kehidupan teman saya. Tiba-tiba, tanpa pra kondisi, hanya satu short massage service yang isinya kurang lebih meminta untuk menemaninya berkeliling kota, lagi pusing katanya. Antara perempuan ini dan teman saya memang telah lama bersahabat.

Nama sang gadis sengaja tidak saya sebutkan, keep the lady safe, ok. Awal kedatangan, dia memberi preview seperti perempuan yang butuh perlindungan. Dia bercerita bahwa hubungan dengan teman pria-nya sudah tidak mungkin dilanjutkan. Banyak sekali perbedaan prinsip yang tidak bisa ditoleransi. Menurut perempuan ini, karakter teman prianya hampir mirip dengan karakter dia sendiri, sama-sama keras kepala dan ringan tangan. Sering terjadi adu fisik dalam masa pacaran mereka, sudah tidak terhitung barang pecah belah yang berantakan jadi sasaran amukan mereka. Saya pikir mereka termasuk penganut gaya pacaran high cost, sayang sekali barang-barang itu harus hancur, padahal belinya mahal lho…

Perempuan ini memberi catatan tambahan pada teman prianya ini, possesif, cemburuan, dan sering gelap mata. Dengan mengambil referensi dalam artikel-artikel tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) teman saya berkesimpulan sama dengan sang gadis.

“Baru pacaran aja dah berani plak-plek, jika benar menikah, apa jadinya?” ujarnya bersemangat. Setelah konsultasi sana-sini, akhirnya teman saya membulatkan tekad untuk memberi perlindungan, mungkin seperti LBH APIK memberi bantuan pada korban antem-anteman dalam rumah tangga.

Nah, Sudah mulai tergambarkan, mengapa diawal saya menulis tentang barang panas? Benar, barang panas identik dengan masalah. Maksudnya kalau ada masalah cepatlah selesaikan.

Singkat kata, keduanya, perempuan itu dan teman saya semakin dekat. Saya pikir wajar, yang satu butuh perlindungan, yang satunya lagi memberi perlindungan. Klop lah… Sang gadis merasa nyaman berada di samping si pria, sebaliknya, sang pria seperti menemukan cintanya yang hilang. Bahkan, menurut pengakuan, jatuh hati-nya pada perempuan itu sudah terjadi jauh hari sebelum sang gadis digandeng pacar yang sekarang sedang bermasalah. Jadilah mereka pren makan pren he.he…

Bursa Bakal Calon Menantu
TIbalah saat untuk lebih serius. Tapi justru persoalannya muncul dari sini. Ternyata di rumah, perempuan ini sudah ditunggu calon suami pilihan orang tua. Masih kerabat. Laki-laki ini bekerja pada salah satu institusi pemerintah, pegawai negeri sipil (PNS). Rupanya inilah keunggulan laki-laki pilihan orang tua si gadis. Bapak ibunya ingin anak gadisnya hidup mapan, tenang dan tidak banyak gangguan. Wajarlah, tentu kita tidak lupa dengan mentalitas kelas menengah feudal di negeri ini, ingin adem ayem.

Waduh, pusing juga si gadis. Satu sisi ingin membahagiakan orang tuanya, sisi lain dia belum bisa menumbuhkan cinta pada laki-laki itu, tambah lagi cerita-cerita tentang anak cacat yang dihasilkan dari perkawinan antar kerabat semakin membuat sang gadis beringsut mundur dari perjodohan.

Untuk menolak upaya Sti Nurbaya-isasi, dia mengajukan nama-nama bakal calon menantu pada bapak ibunya. Forum waktu itu mungkin bisa disejajarkan dengan Konvensi penentuan calon bupati di Partai Golkar, Rakercabsus di PDI Perjuangan, atau Muskit di Partai Kebangkitan Bangsa. Nama-nama yang diajukan diteliti baik buruknya. Nama teman pria sang gadis langsung dicoret, karena tidak masuk dalam kualifikasi laki-laki penyayang dan sabar. Dalam kesempatan itu, nama teman saya juga muncul sebagai salah satu Balon, tak jauh beda dengan pacar sang gadis, teman saya juga dicoret dari daftar unggulan. Alasannya, dia memliki aktifitas yang bisa membuat hidup tidak tenang, aktifitas politik. Bapak sang gadis mempunyai kebencian pada politisi yang cukup untuk mendepak nama teman saya dari daftar unggulan bakal calon menantu. Teman saya ini memang sedang merintis karir di salah satu partai, dalam beberapa obrolan dia sudah mantap untuk menjalani hidup sebagai aktifis partai, tapi saya lihat masih bisa berubah. Forum waktu itu juga memunculkan beberapa criteria yang harus dipenuhi untuk menjadi menantu, antara lain sabar, saying pada anaknya, dan jangan lupa mapan secara ekonomi. Nah kata mapan secara ekonomi ini disederhanakan menjadi memiliki penghasilan tetap, disederhanakan lagi menjadi, calon menantu nanti adalah seorang PNS !!

Tuhan, jodohkan saya dengan laki-laki yang bisa diterima orang tua ku
Confuse lagi neh perempuan, kalo sudah bingun seperti ini, biasanya manusia timur kembali pada tuhan yang sering dilupakan kala senang. Bagian spiritualitas dalam dirinya meronta-ronta ingin dipenuhi. Berdoalah sang gadis pada Tuhannya, dia berdoa, agar tuhan mengirimkan laki-laki terbaik untuk jodohnya. Laki-laki yang bisa diterimanya dan orang tuanya. Tentu dengan criteria-criteria yang ditetapkan orang tuanya, sabar, sayang, seorang PNS. Sang gadis secara kreatif menabah lagi satu criteria, yaitu laki-laki yang mampu membimbingnya dalam laku religius.

Tentu saja teman saya ini semakin tersingkir. Semakin tidak dibicarakan dalam debat kandidat menantu. Jika diibaratkan lelang yang biasa diadakan dinas-dinas pemerintah, teman saya ini tidak lolos seleksi administrasi.

Sebenarnya ada lagi satu kisah yang membuat teman saya ini semakin jauh dari hangar bingar persaingan penentuan menantu orang tua sang gadis. Ceritanya, dalam kebingungan, sang gadis pergi ke suatu kota. Mbuang stress katanya, nah di kota itu dia bertemu dengan kakak pacar teman kuliahnya dulu. Celaka bagi teman saya, sang gadis mulai dihinggapi pikiran bahwa laki-laki itulah jodoh kiriman tuhan padanya, semua criteria cocok. Orangnya baik, penampilan oke, dan mapan, maklum dia bekerja di instansi sama dengan laki-laki pilihan orang tuanya dulu, tapi beda penempatan. Tambah lagi dia sering mengisi pengajian-pengajian di instansinya, kyai muda nampaknya. Tuhan memang murah hati.

Munajat Cinta
Bagaimana nasib teman saya? Belakangan saya melihatnya aktif terlibat dalam gelaran politik persiapan PILKADA di partainya. Dia masuk dalam jajaran elit para pembisik ketua partai, saking elitnya, tidak ada kebijakan partai yang dikeluar tanpa terlebih dulu melewati analisanya. Tugas terakhir yang diterima dari ketua partai adalah membentuk tim khusus think tank pemenangan PILKADA. Tim ini menurutnya dibentuk untuk memberi masukan-masukan strategi, isu dan media kampanye bagi 3 tim pemenangan calon, yaitu tim sang calon bupati, tim sang calon wakil bupati dan bagian pemenangan pemilu partai. Selain itu dia juga mendapat job khusus, meng-handle media massa. Job yang menurut ketua partai tidak bisa dilakukan kader partai lainya. Ketua partai ingin agar pemberitaan media massa dalam PILKADA bisa memberi citra positif bagi partai.

Sepertinya teman saya ini sudah tenggelam dalam aktifitas politik dan melupakan kisah sedihnya. Setelah saya berdiskusi dengannya, ada beberapa kesimpulan yang kami sepakati. Pertama, analisis kelas tetap berlaku dalam kisah ini. Kelas menengah tetap mempunyai karakter yang melekat sebagai bawaan, yaitu takut miskin. Mereka selalu berusaha naik kelas, pada kelas borjuasi yang lebih tinggi. Perilaku orang tua si gadis menunjukan dengan jelas kecenderungan ini. Pada beberapa obrolan dengan sang gadis, dia menyiratkan kata sepakatnya pada criteria orang tuanya. Kedua, secara sosiologis, cara pandang masyarakat kita belum beranjak dari cara pandang jaman colonial dulu. Mereka masih berpikiran bahwa pekerjaan sebagai pangreh praja adalah pekerjaan idaman yang harus diraih sekalipun dengan menjilat bokong penguasa. Kesimpulan ketiga ini agak sensitive, terutama bagi para feminist, dimana-mana perempuan adalah pemicu persoalan ekonomi, maksudnya mereka inilah yang selalu rewel pada soal kemapanan ekonomi calon suami, wajar mereka khawatir jika nanti anak-anaknya terlantar karena kesulitan ekonomi.

Dari kamar teman saya tadi, sekarang sering terdengar lagu Munajat Cinta.
Read more on this article...