Rabu, 16 April 2008

22 Tahun Dalam Pasungan



Marsono, 35, warga Dusun Gendungan, Desa Kemloko, Kecamatan Kranggan, Temanggung, harus melalui hari-harinya dengan dipasung. Tidak tanggung-tanggung dia telah menjalani hidup dengan rantai besi yang diikat pada sebongkah kayu selama 22 tahun, sejak umurnya masih belia.



Penyakit gila ini diderita Marsono ketika baru menginjak usia 13 tahun, saat duduk dibangku SMP. Sejak itu Marsono kerap menunjukan perilaku marah dan agresif. Kerap kedapatan tengah berteriak, memaki dan membabati tanaman milik tetangganya. Sepertinya dia ingin melampiaskan kemarahan yang dipendam sekian lama.

Menyaksikan tanamannya habis dibabat Marsono, warga setempat beramai-ramai mengikat dan memasung pria malang ini. Semenjak itu, dia menjalani hidup dalam pasungan di ruang berukuran tiga kali empat meter, bersama adiknya yang juga diduga menderita penyakit serupa. Dua anak pasangan Mardjo (alm) dengan Tuwuh, 70, ini memang dinilai sakit jiwa sejak kecil.

Berbeda dari kakaknya, Puji cenderung pendiam. Menurut keterangan warga, Puji bahkan sama sekali tak pernah mengganggu orang lain. Puji tak pernah memaki, berteriak ataupun membabat tanaman milik warga. ''Puji meninggal dalam pasungan sekitar dua tahun lalu,'' kata Ani, 36, tetangganya. Warga juga khawatir, jika Puji berulah sama dengan kakaknya.

Di rumah setengah jadi berdinding batu bata, dengan jendela dan pintu terbuka, tampak Marsono
tengah berdiri sambil berteriak-teriak layaknya orang tengah berorasi. Kedua tangannya diborgol palang besi dan kedua kakinya dijepit kayu dan lempengan besi.

Saat ditanya perihal ibunya, sejenak Marsono terdiam, lalu dia menunjuk dengan wajahnya ke arah rumah yang ditempati ibunya, tak jauh dari tempatnya berdiri. Sebelum kembali 'berpidato' di
jendela tanpa kaca, Marsono sempat mengucapkan terimakasih atas pemberian uangnya. "Matur nuwun, mas", katanya.

''Waktu SD, perilaku Marsono biasa saja seperti anak-anak lain, tidak menunjukkan kalau dia gila,'' ujar Tutuk, 35, teman sekelas Marsono sewaktu di SD. Bahkan, katanya, pada saat masuk SMP pun kondisi kejiwaan Marsono cenderung stabil. Namun belum sampai setahun Marsono duduk di bangku SMP tabiatnya berubah. Dia mulai sering ngamuk sehingga terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Setelah keluar dari sekolah itulah, kata Tutuk, temannya itu sering berulah dengan berteriak-teriak sendiri dan marah.

Ketika ditemui, Ny Tuwuh tidak bersedia bercerita ihwal pemasungan kedua anaknya. Perempuan itu lebih banyak diam sembari meneteskan air mata. Wanita tua itu mengaku pasrah dengan kondisi anak lelakinya. "Saya pasrah dengan apapun yang terjadi pada anak saya. Memang begitu keadaannya, kurang waras. Saya juga tidak tahu apa sebabnya. Dari pada ngamuk dan menyusahkan orang lain, lebih baik Marsono diikat saja", katanya

Karena alasan kemiskinan, orang tua Puji dan Marsono tidak mampu membawa anaknya berobat ke RS Jiwa. Bahkan ketika warga mengambil inisiatif memasung kedua putra mereka, Mardjo dan Ny Tuwuh hanya bisa pasrah dan merelakan kedua anaknya hidup dalam pasungan bertahun-tahun lamanya.
Dulu sebelum suaminya meninggal, keduanya bergantian mengantar makan dan minum untuk anaknya tiap hari. Sesekali mengganti pakaian yang sudah kotor dan berbau.

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Temanggung, Masrukhi, menegaskan bahwa masalah pemasungan atas diri Marsono bukanlah tanggung-jawabnya."Itu jelas bukan tanggung jawab kami. Tanggung-jawab kami hanyalah rehabilitasi setelah pasien sakit jiwa diyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit jiwa,"katanya.

Hal senada juga disampaikan Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung. "Masalah pemasungan Marsono, bukan wewenang kami, " kata Kabid Pengamatan dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Temanggung, Edy Rakhmatto. (mn.latief)
Read more on this article...

Senin, 07 April 2008

You Must Go to Dieng Before you Die


ini versi lengkap dari liputanku yg dimuat cuma 2 paragraf di koran tempat ku bekerja..

Catatan dari Wartawan Menanam 2008
You Must Go to Dieng Before you Die

"Dieng yang saya kenal waktu saya kecil adalah kawasan yang asri, hijau, dan banyak pepohonan. Berbeda dengan kondisi Dieng sekarang, kondisinya sudah sangat berbeda, dieng sekarang gundul, mata airnya banyak yang mati, mengandung banyak sekali potensi bencana ekologis, wisatawanpun tak banyak lagi berdatangan," ujar Woro (37th). Perempuan kelahiran Dieng yang saat ini menjadi penyuluh pertanian, tampak kikuk mengutarakan unek-unek seputar tempat kelahirannya di depan Menteri Komunikasi dan Informasi, Muhammad Nuh, Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz, Bupati Wonosobo Kholiq Arif, Ketua PWI Pusat Tarman Azzam, dan sejumlah tokoh nasional lain.


"Sebetulnya masih banyak lagi yang ingin saya ungkapkan, tapi aksi "Wartawan Menanam" ini saya pikir sudah cukup mewakili bahwa kita sekarang perlu segera melakukan rehabilitasi lingkungan dengan serius, namun perlu saya ingatkan, bahwa menanam itu mudah, tapi memeliharanya memerlukan upaya konsisten," tambahnya.

Woro, adalah salah satu dari ribuan orang yang hadir dalam kegiatan "Wartawan Menanam" yang dipusatkan di Objek Wisata Telaga Menjer, desa Maron, Kecamatan Garung, Wonosobo, minggu (27/01). Sebelumnya, para tokoh bersama dengan masyarakat sekitar melakukan penanaman sekitar 26.000 bibit pohon berbagai jenis di kawasan yang disebut Bukit Wartawan. Kegiatan ini merupakan awalan dari rangkaian peringatan hari pers nasional yang akan dipusatkan di semarang tanggal 7-10 Februari 2008 mendatang.

"Wartawan sekarang sudah mempunyai bukit sendiri, mereka bukan lagi sekedar tukang kritik terjadinya kerusakan alam, penggundulan hutan, pembalakan liar, deforestation, yang menjadi penyebab aneka bencana alam dari banjir, tanah longsor sampai keringnya mata air. Wartawan sudah memberi teladan bahwa spirit menanam dan menyelamatkan lingkungan bukan sekedar seremonial, tapi harus dilaksanakan secara konsisten," ujar Bupati Wonosobo Kholiq Arif.

Bupati yang juga mantan jurnalis ini, mengatakan bahwa wartawan mempunyai peran signifikan untuk mengkampanyekan upaya penyelematan lingkungan. Kapasitas wartawan dalam pemberitaan akan sangat mendukung pembentukan mental masyarakat yang mencintai, menghargai dan pada ahirnya melakukan upaya penyelamatan lingkungan secara mandiri."Seorang wartawan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi opini publik, kemampuan harus diarahkan untuk membangun pikiran-pikiran positif mengenai gerakan konservasi dan penyelematan lingkungan lain,"ujarnya.

Telaga Menjer, adalah kawasan genangan air yang terbentuk karena cekungan bekas kawah, berada di deretan pegunungan dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau). Air dari telaga menjadi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Garung. Dari tahun ke tahun debit airnya semakin menurun. Penurunan debit air ini, memicu kekhawatiran akan umur PLTA Garung yang semakin pendek dan kelak akan semakin memperumit masalah krisis energi. Secara umum Dieng Plateau adalah daerah penyangga penting di Jawa Tengah. Di kawasan ini terdapat Tuk Bimo Lukar, mata air Sungai Serayu yang mengaliri sedikitnya 13 Daerah Aliran Sungai di Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan Cilacap. Selain itu, karena topografinya paling tinggi, Dieng juga menjadi penyangga bagi minimal 5 daerah di bawahnya, seperti Kab Kendal, Kab Temanggung, Kab Banjarnegara, Kab Pekalongan, dan Kab Batang.

"Dieng itu jantungnya Wonosobo, dan jantungnya Jawa Tengah," ujar gubernur Jateng, Ali Mufiz. Senada dengan pejabat lain, Gubernur juga menekankan pentingnya konservasi di daerah Dieng. Menurutnya, jika lingkungan di Dieng rusak maka rusak pula lingkungan di Jawa Tengah.

Tentang rehabilitasi di Kawasan Dieng, Bupati Wonosobo mengaku sudah mempunyai skema tersendiri. Skema ini disebut skema prismatik, yaitu skema yang menghubungkan aspek sosial, ekonomi dan penyelamatan lingkungan sebagai dasar pelaksanaan upaya rehabilitasi lingkungan di Dieng. "Jangan sampai kita terjebak pada paradigma yang salah mengenai lingkungan, upaya penyelematan lingkungan tidak boleh menyingkirkan aktifitas ekonomi masyarakat" ujar Bupati.

Pihaknya akan melibatkan berbagai instansi yang bisa diajak bekerjasama menyelamatkan Dieng. Pihak pertama yang akan dilibatnya adalah Perhutani, tanah seluas 40.000 ha yang dikelola Perhutani di Daerah Dieng saat ini adalah kawasan yang bisa diwujudkan sebagai penggerak ekonomi pertanian masyarakat sekitar. "Ada banyak sekali komoditas yang bisa dikembangkan di kawasan ini. Bukan hanya Kentang yang nyata-nyata bisa merusak keseimbangan alam," jelasnya.

Berbagai jenis tanaman obat, seperti Purwaceng, Temulawak, Kunir Putih, empon-empon menurutnya akan tumbuh dan produktif jika ditanam di dearah yang mempunyai ketinggian seperti Dieng. Terpenting adalah tanaman ini meninggalkan dampak kerusakan lingkungan yang parah. "Tunggu apalagi, sudah banyak perusahaan jamu yang menunggu produk tanaman ini dari dieng, artinya masyarakat tidak perlu merasa khawatir produknya tidak laku," ujar bupati.

Revitalisasi Dieng ditunggu banyak orang, kata Tarman Azzam, Ketua PWI pusat yang menyempatkan diri berkunjung ke Dieng tiap tahun. "Ada peribahasa, berkunjunglah ke Roma sebelum mati, saya menunggu kapan saya bisa mengatakan, you must go to dieng, before you die dengan bangga' ujarnya. (m.n.latief)
. Read more on this article...