Marsono, 35, warga Dusun Gendungan, Desa Kemloko, Kecamatan Kranggan, Temanggung, harus melalui hari-harinya dengan dipasung. Tidak tanggung-tanggung dia telah menjalani hidup dengan rantai besi yang diikat pada sebongkah kayu selama 22 tahun, sejak umurnya masih belia.
Penyakit gila ini diderita Marsono ketika baru menginjak usia 13 tahun, saat duduk dibangku SMP. Sejak itu Marsono kerap menunjukan perilaku marah dan agresif. Kerap kedapatan tengah berteriak, memaki dan membabati tanaman milik tetangganya. Sepertinya dia ingin melampiaskan kemarahan yang dipendam sekian lama.
Menyaksikan tanamannya habis dibabat Marsono, warga setempat beramai-ramai mengikat dan memasung pria malang ini. Semenjak itu, dia menjalani hidup dalam pasungan di ruang berukuran tiga kali empat meter, bersama adiknya yang juga diduga menderita penyakit serupa. Dua anak pasangan Mardjo (alm) dengan Tuwuh, 70, ini memang dinilai sakit jiwa sejak kecil.
Berbeda dari kakaknya, Puji cenderung pendiam. Menurut keterangan warga, Puji bahkan sama sekali tak pernah mengganggu orang lain. Puji tak pernah memaki, berteriak ataupun membabat tanaman milik warga. ''Puji meninggal dalam pasungan sekitar dua tahun lalu,'' kata Ani, 36, tetangganya. Warga juga khawatir, jika Puji berulah sama dengan kakaknya.
Di rumah setengah jadi berdinding batu bata, dengan jendela dan pintu terbuka, tampak Marsono
tengah berdiri sambil berteriak-teriak layaknya orang tengah berorasi. Kedua tangannya diborgol palang besi dan kedua kakinya dijepit kayu dan lempengan besi.
Saat ditanya perihal ibunya, sejenak Marsono terdiam, lalu dia menunjuk dengan wajahnya ke arah rumah yang ditempati ibunya, tak jauh dari tempatnya berdiri. Sebelum kembali 'berpidato' di
jendela tanpa kaca, Marsono sempat mengucapkan terimakasih atas pemberian uangnya. "Matur nuwun, mas", katanya.
''Waktu SD, perilaku Marsono biasa saja seperti anak-anak lain, tidak menunjukkan kalau dia gila,'' ujar Tutuk, 35, teman sekelas Marsono sewaktu di SD. Bahkan, katanya, pada saat masuk SMP pun kondisi kejiwaan Marsono cenderung stabil. Namun belum sampai setahun Marsono duduk di bangku SMP tabiatnya berubah. Dia mulai sering ngamuk sehingga terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Setelah keluar dari sekolah itulah, kata Tutuk, temannya itu sering berulah dengan berteriak-teriak sendiri dan marah.
Ketika ditemui, Ny Tuwuh tidak bersedia bercerita ihwal pemasungan kedua anaknya. Perempuan itu lebih banyak diam sembari meneteskan air mata. Wanita tua itu mengaku pasrah dengan kondisi anak lelakinya. "Saya pasrah dengan apapun yang terjadi pada anak saya. Memang begitu keadaannya, kurang waras. Saya juga tidak tahu apa sebabnya. Dari pada ngamuk dan menyusahkan orang lain, lebih baik Marsono diikat saja", katanya
Karena alasan kemiskinan, orang tua Puji dan Marsono tidak mampu membawa anaknya berobat ke RS Jiwa. Bahkan ketika warga mengambil inisiatif memasung kedua putra mereka, Mardjo dan Ny Tuwuh hanya bisa pasrah dan merelakan kedua anaknya hidup dalam pasungan bertahun-tahun lamanya.
Dulu sebelum suaminya meninggal, keduanya bergantian mengantar makan dan minum untuk anaknya tiap hari. Sesekali mengganti pakaian yang sudah kotor dan berbau.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Temanggung, Masrukhi, menegaskan bahwa masalah pemasungan atas diri Marsono bukanlah tanggung-jawabnya."Itu jelas bukan tanggung jawab kami. Tanggung-jawab kami hanyalah rehabilitasi setelah pasien sakit jiwa diyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit jiwa,"katanya.
Hal senada juga disampaikan Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung. "Masalah pemasungan Marsono, bukan wewenang kami, " kata Kabid Pengamatan dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinkes Temanggung, Edy Rakhmatto. (mn.latief)
Rabu, 16 April 2008
22 Tahun Dalam Pasungan
Diposting oleh Muhammad Nazarudin Latief di 18.11
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar