Kamis, 22 Desember 2011

Sultan Berhenti Merokok?

Sultan berhenti merokok. Ini Kabar baik! Tapi sepertinya sungguh sulit jadi kenyataan. Jadi begini ceritanya, di Yogyakarta ada dua pejabat publik yang jadi ahli hisap. Yaitu Pak Sultan sendiri dan walikota Yogyakarta, Pak Herry Zudianto (sekarang mantan). Pak Sultan yang saya maksud adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X, raja keraton Ngayogyokarto Hadiningrat.


Soal rokok keduanya dikenal sebagai ahli hisap. Hampir pada setiap kesempatan mereka terlihat klepas-klepus mengepulkan asap. Pak Herry suka rokok kretek tanpa filter, kalau tidak salah itu produknya HM. Sampoerna yang sudah dibeli pabriknya rokok Marlboro. Asyik sekali kalau melihat pak Herry sedang merokok, jari-jarinya lincah memilin dan memutar rokok,sedikit ada akrobatnya lah.

Pak Sultan juga suka rokok kretek tanpa filter, satu merk ama Pak Herry. Tapi Sultan juga fanatik dengan satu produk rokok lokal, warna bungkusnya hijau bergambar logo keraton.

Rokok berbungkus hijau itu barang daganganya putri tertua Pak Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Ceritanya, Agustus 2003, keluarga Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat resmi memasuki bisnis rokok, dengan bendera PT Yogyakarta Tembakau Indonesia (YTI). Tiga putri dari lima putri Pak Sultan bebarayan (bekerjasama) mengurusinya.

Ketiga putri Ngarsa Dalem itu adalah GKR Pembayun,putri tertua ini memegang jabatan Presiden direktur. GRAy Nurmagupita berposisi sebagai Brand Manager dibantu oleh GRAy Nurkamnari Dewi. Bisnis ini serius, mereka menggandeng produsen rokok raksasa PT HM Sampoerna Tbk sebagai konsultan teknis produksi dan PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas sebagai distributor.

GKR Pembayun konon punya niat baik, dia ingin menyerap lebih banyak angkatan kerja di Yogyakarta. Saat awal didirikan, 100 orang sudah bekerja disana harapanya bisa lebih banyak lagi pada tahun-tahun berikutnya.

Dari sisi bisnis, rokok juga menggiurkan apalagi jenis sigaret kretek tangan (SKT). Konon inilah rokok khas Indonesia yang paling diminati. Rasanya mantap, saat dihisap bunyi kretek-kretek cengkeh terbakar membuat sensasi menikmati rokok jenis ini semakin tak ternilai. Ada kepuasan yang tak bisa dipahami oleh pendukung fatwa haram rokok.

Dulu rokok jenis ini sempat menguasai, 24,9% pasar rokok, kemudian naik menjadi 26,3%. Bagi industri, inilah pasar yang empuk yang menggiurkan, apalagi secara umum kebiasaan merokok selalu meningkat dari tahun-ketahun. Tak beda dengan pebisnis lain, keluarga keraton pun nyemplung ke bisnis ini.

Ada satu lagi yang menggiurkan bagi keraton, ternyata bahan baku rokok ini diambil dari kebun tembakau yang terletak di atas Sultan Ground, masuk wilayah Kabupaten Bantul. Efesiensi produksi yang luar biasa bukan?

Sebagai pebisnis, keluarga HB kesepuluh ini memang paling agresif memanfaatkan Sultan Ground, terutama ditangan putri-putrinya. Aset-aset ekonomi yang mereka punyai antara lain, pabrik gula Madukismo di Bantul, kemudian kebun tembakau di Ganjuran Bantul. Selain itu ada budidaya ulat sutera PT Yarsilk Gora Mahottama di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri, Bantul; serta tambak udang PT Indokor Bangun Desa di pantai Kuwaru, Bantul. Ada juga potensi ekonomi paling besar, yaitu penambangan pasir besi yang saat ini diurus oleh PT. Jogja Magasa Internatinoal di pesisir Kulonprogo.

Namun belakangan, perusahaan rokok ini sepertinya berhenti berproduksi. Lantas darimana Pak Sultan bisa mendapatkan rokok gambar lambang keraton itu? “Oh itu beliau sudah punya stok banyak, disimpan sendiri,”ujar Mas Aceng, ajudan Sultan.

Jadi pahamkan mengapa Pak Sultan suka rokok berbungkus hijau itu? Tentu biar dagangan anaknya laris. Kembali ke soal hobi merokok Pak Sultan. Saya pernah iseng-iseng nanya ke Pak Sultan, kapan akan berhenti merokok? Ngarso Dalem Cuma mesam mesem saja.

"Nanti, nek mangsane mandeg yo mandeg (kalau waktunya berhenti ya berhenti),"ujarnya.
mnlatief
Read more on this article...

Jumat, 02 September 2011

Ilusi Idealisme

"Tak ada yang menodongkan pistol ke kepala dan memaksa Anda menjadi jurnalis. Anda datang atas kemauan sendiri, karena Anda mencintai dunia tulis-menulis."


SAYA tiba-tiba merasa harus searching versi lengkap kutipan diatas, yang disusun dari pikiran-pikiran jurnalis senior. Dia seorang jurnalis kondang, jauh diatas kami para jurnalis kemarin sore. Kemudian dengan bantuan Google, artikel berjudul "Menjadi Wartawan" serta merta terhidang di layar computer jinjing saya.

Mari kita ambil pelajaran dari artikel tersebut. Jika tidak ada yang menodongkan pistol ke kepala saat memulai karir menjadi jurnalis, maka tak ada jua yang melempar granat saat memutuskan tidak lagi menggeluti pekerjaan yang isinya liputan dan menulis melulu itu bukan? (Termasuk, menurut artikel itu, memberi asupan buku setiap hari pada otak, memberi makna pada tiap angka, memikirkan pembaca dan tidak stereotyping). Pendeknya, penuh kemerdekaan dalam memilih, seperti yang diandaikan oleh Marx muda saat memilih karir di Jerman sana. (jadi teringat bacaan lama, Reflections of a Young Man on The Choice of a Profession)

Syahdan, pada suatu dinihari yang dingin, seorang teman menelephone. Bertutur mantap bahwa, keputusannya untuk berhenti menjadi jurnalis sudah bulat, pun surat pengunduran diri keesokan harinya dikirim.

Sejurus kemudian, saya mahfum. Inilah momentum, saat kemerdekaan, dasar profesi jurnalisme meronta meminta eksistensi. Memilih menjadi atau tidak menjadi jurnalis sama mudahnya dengan memilih minum kopi hitam pekat atau sedikit tambahan kreamer. (sebenarnya tidak sesedehana itu..)

Jadi begini, kami, para jurnalis juga terlibat dalam hubungan industrial yang mengandaikan pemenuhan hak-hak normative kaum buruh. Apa bentuknya? Ya itulah, spanduk dan baliho perayaan May Day tiap tahun sudah terang benderang menjelaskan. (gara-gara pansus Century kata “terang benderang” ini jadi ngetren). Begitulah, seperti sudah menjadi kesepakatan, bahwa menjadi jurnalis artinya siap untuk hidup biasa-biasa saja. Maksutnya, serba terbatas begitu.

Soal ini, pak Rosihan Anwar, sang maestro jurnalisme Indonesia, sebenarnya sudah begitu terang benderang (lagi? benar-benar kena demam pansus Century neh!) membahas kesehahteraan pegiat jurnalisme. Dia, yang termasuk segelintir orang-orang beruntung bisa menjadi saksi perkembangan pers di tanah air dari jaman pra kemerdekaan menegaskan bahwa jurnalis mengabdi pada fakta.

"Wartawan harus objektif dan melindungi kenyataan. Fakta itu suci. Jangan gadaikan idealisme meski kesejahteraan rendah," begitu kata Pak Rosihan sebagaimana termuat pada salah satu harian nasional. Karya jurnalistik yang dicapai dengan penuh perjuangan membuat Rosihan begitu bangga dan bahagia. Karena itulah, idealisme sebagai wartawan tidak pernah luntur.

Aduh..Pak Rosihan, dengan segala rasa hormat, petuah mulia bapak bukan tidak bermakna. Tapi, rasanya kok malah berada pada sisi seberang sana ya? Sisi para pemilik industri media yang sebentar-sebentar oplah, iklan, oplah, iklan.

Maaf Pak Rosihan, bukankah tenggelam dalam idealisme malah menyeret kita pada ilusi? Membuat kita berpaling dari persoalaan di depan mata, yaitu kesejahteraan yang cekak. Kemudian beralih menjadi mantra pengabdian profesi atau dongeng suci para penyebar fakta. Tapi kami berterimakasih, selalu mengingatkan untuk menjadi professional dan berintegritas.

Jurnalis jaman sekarang menghadapi industri media yang kejam. Sekejam Sang Rama yang ragu kesucian Dewi Shinta, sehingga harus dibuktikan pada bara api. Kejam bukan? Karena loyalitas dan pengabdian tak terhargai? Seperti perangkat, dengan mudah diganti diganti yang baru jika sudah usang.

Selamat Hari Pers Nasional kawan, atau setidaknya selamat ulang tahun PWI. (Mumpung masih bulan februari)

Read more on this article...

Gak Usah Tirakatan


Suatu saat kami terlibat obrolan tentang tirakatan. Kok tiba-tiba temanya tirakatan? Gampang saja, esoknya kan seluruh bangsa ini memperingati peristiwa besar pada halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan No 56 Jakarta, kita menyebutnya dengan proklamasi kemerdekaan.

“Tirakatan itu hanya bisa dipahami setelah kamu menikah,”ujar Priyo. Priyo ini, teman sekantor saya yang bekerja di desk Bantul.

Wedew, apa-apan ini? Mengapa tiba-tiba ada hubungan antara tirakatan dan menikah? Mak jleeeb, jawaban Priyo jelas-jelas mengusik eksistensi sebagai saya, lajang usia tigapuluhan tahun. Ditambah tawa girang kawan-kawan di ruang redaksi menyukuri wajah saya yang tiba-tiba jadi nekuk-nekuk.

Ternyata, kaum bapak-bapak di kampung-lah yang merancang tirakatan. Tentu dengan iuran secukupnya untuk biaya penyelenggaraan. Kalau ada tirakatan berarti ada iuran RT ekstra, dan yang ditagih iuran itu hanya bapak-bapak yang telah berkeluarga.

Lajang, lolos! Ini dia ternyata maksud jawaban Mas Priyo Mardikenyo! Makna tirakatan di malam kemerdekaan adalah mengikuti rapat RT berkali-kali dan pada akhirnya membayar iuran bulanan ekstra di bulan Agustus. Itu saja! Gawat! Bagaimana jika hal itu adalah persepsi dari 1000 orang bapak-bapak terhadap perayaan hari kemerdekaan?

Jika semua bapak-bapak berpikiran seperti ini, apakabar nasionalisme Indonesia? Bayangkan, saat kerjaan susah, susu mahal, biaya sekolah selangit, deg-degan kena gas mleduk, apa-apa mahal, tambahan iuran RT (bahkan saat tanggal masih muda) menjadi sangat menyebalkan. Mungkin benar kata orang pintar, pada jaman yang makin susah perilaku orang menjadi semakin individualis. TIdak gampang, ngomong nasionalisme saat neoliberalisme merasuk ke sumsum dan kita dilanda kapitalisme akut.

Sudahlah saudara-saudara. Apa seh untungnya berbuih-buih tentang nasionalisme sekarang ini. Toh, dari awal nasionalisme adalah sentimen sebagai bangsa unggul dan terpilih masyarakat Ibrani Kuno. Berkembang di Eropa kemudian dibawa ke tanah jajahan, yang intinya adalah membangga-banggakan bangsa sendiri. Sekarang apa gunanya mempunyai kebanggaan (semu)? Sementara kita tidak punya wibawa internasional. Tiga petugas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang ditangkap saat menjalankan tugas negara ditukar dengan maling ikan (benar-benar diplomasi yang aneh).

Baiklah, ikuti saja siklus jaman. Saat ini konon kita sedang berada dalam fase tertinggi kapitalisme, yaitu neoliberalisme. Konon juga, krisis akan menghancurkannya, dan kita akan kembali memutari sejarah. Jadi, gak usah lah tirakatan tiap tahun, mengurangi jatah buat beli susu anak saja !

Read more on this article...

Kamis, 01 Januari 2009

Dokumentasi Para Pelukis Terlarang



Media massa, berperan besar dalam mewarnai perjalanan kesenian suatu bangsa. Termasuk pergulatan ideologi dan politik di dalamnya. Seperti perjalan Sanggar Bumi Tarung, suatu kumpulan seniman yang menghayati realisme sosialis sebagai jalan berkesenian terekam dalam kliping majalah dan koran yang terbit kala itu.


PAMERAN arsip Sanggar Bumi Tarung (SBT) membawa kita pada suasa berkesenian yang bercampur baur dengan dunia politik. Aroma ideologi dan keberpihakan pada rakyat menyeruak kencang. Pada tahun 60-an, siapa yang tidak kenal Sanggar Bumi Tarung? Mereka adalah kumpulan perupa yang melukiskan ekpresi politik "kiri" dalam lukisannya. Tema lukisan mereka, tak jauh dari kehidupan buruh, petani gurem, pedagang kecil dan kaum marjinal lain.

Beberapa versi sejarah menyebut, SBT ini adalah salah satu sanggar dibawah naungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), sayap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam lapangan budaya. Mereka menghayati dengan benar aliran seni realisme sosialis, sebuah aliran kesenian yang beranggapan bahwa kesenian harus sinergis dengan realitas masyarakat dan mengabdi pada tujuan-tujuan revolusi. Definisi resminya, mungkin yang dikeluarkan oleh Vladimir Lenin, dedengkot komunisme Uni Sovyet yang menyebut aliran ini dengan seni garda depan.

Pada Jamannya, Lekra, hanya salah satu dari sekian banyak organisasi kesenian yang berafiliasi dengan sebuah aliran politik.Ada sanggar dan organisasi seperti Lembaga Kebudayan Nasional (LKN) yang merupakan sayap Partai Nasional Indonesia (PNI), Lembaga Kebudayan Kristen Indonesia (LEKRINDO) dan lain lain. Sampai akhirnya persentuhan dunia kesenian dan politik ini melahirkan pertentangan yang kemudian menjadi prahara kesenian di tanah air, Lekra berhadapan dengan Manikebu. Bisa dibayangkan, betapa ramai dunia kesenian Indonesia di masa-masa itu. Penuh gejolak, dinamika dan pertentangan, mereka melakukan ekpresi seni, sekaligus corong propaganda partai.

Pameran arsip SBT yang diselenggarakan oleh Indonesia Visual Art Archive (IVAA), 9 - 31 Desember 2008, di Jl. Patehan Tengah No. 37 Yogyakarta mencoba menghadirkan perjalanan Sanggar Bumi Tarung secara utuh. Eksistensi SBY ditunjukan dalam bentuk teks liputan media massa, dokumentasi organisasi, dan arsip perijinan pameran yang dikeluarkan pemerintah "Sebetulnya kami ingin menjelaskan bahwa Bumi Tarung tidak selalu identik dengan Lekra. Tapi mereka memang mempunyai karakter kesenian yang politis, realis dan rakyat sentris," ujar peneliti IVAA, Pitra Ayu.

Sanggar Bumi Tarung didirikan oleh nama-nama seperti adalah Amrus Natalsya, Misbach Tamrin,Ng Sembiring, Isa Hasanda, Kuslan Budiman, Djoko Pekik, Sutopo, Adrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suharjiyo Pujanadi, Harmani, Haryatno. Kurang lebih ada 30 orang yang tercatat sebagai anggota sanggar ini. Bumi Tarung, menurut Pitra masih juga mempunyai ciri khas yang menjadi pembeda dengan Lekra. Seniman ini, hanya berafiliasi dengan Lekra, namun tidak berhubungan langsung dengan partai.

Dokumen tertua yang dipamerkan adalah publikasi Lekra tentang pandangan politiknya di tahun 1957. Dokumen propaganda tentang peran-peran lembaga kebudayaan dalam Revolusi Indonesia, tentu saja dalam pandangan Lekra. Ada juga visi misi Lekra dan ajakan untuk bergabung bersama organisasi ini. "Semacam open recruitment, Lekra berusaha menyosialisasikan diri dan mengajak seniman untuk bergabung," ujar Pitra.

Berikutnya, adalah laporan jurnalistik dari Majalah Pentja, No. 9 Tahun ke XVII tentang Sanggar Bambu. Sanggar ini sempat dianggap sebagai kubu yang berada di seberang Bumi Tarung. Waktu itu, sanggar bambu dianggap tidak memasukan politik bagi dalam tema-tema keseniannya. Mereka juga tidak mengkritisi kondisi masyarakat,
gampangnya, tidak turut dalam gegap gempita revolusi Indonesia, tentu saja versi Lekra.

"Aktifisme dalam seni rupa tidak bisa dikotak-kotakan menurut organisasi. Seniman tetap berinteraksi dan berhubungan baik secara ide maupun fisiknya. Walaupun terdapat pertentangan ideologi yang sangat kental," papar Pitra.

Pitra melakukan periodesasi seni rupa dari kajian terhadap dokumen yang terkumpul. Periode pertama adalah periode pra 65, saat para perupa Indonesia begitu dekat dengan politik. Penandanya adalah banyaknya lembaga-lembaga kebudayaan yang mempunyai afiliasi dengan partai. Periode berikutnya adalah periode 70-an, saat dunia seni rupa seolah mundur untuk memperbaiki infrastukturnya. Saat itu marak
pendirian tempat-tempat pameran, dunia kesenian menjadi sangat teknis. Pada periode ini, pengaruh rejim orde baru yang membatasi ekpresi seni juga nampak. Berikutnya di tahun 90-an, saat itu mulai muncul kembali kesenian dengan mazhab kritis yang menyerempet masalah-masalah sosial. Disebut sebagai tonggak periode ini, adalah kelompok Taring Padi, sekumpulan pelukis muda yang karya-karya seninya mewarnai gelombang demonstrasi di tahun 1998-an.

Kurator Farah Wardani, yang juga direktur IVAA menjelaskan, ada missing link dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sejarah seni jarang mengurai secara menyeluruh hubungan antara seniman dan ideologi yang dianut, atau hubungan antara satu periode dengan periode lain.

"Sejarah seni rupa hanya mengungkap, misalnya ditahun ini ada peristiwa ini, ditahun itu ada peristiwa ini. Jarang yang mengungkap relasi antar peristiwa, misalnya kemiripan antara SBT dan Taring Padi sekarang," ujar Farah.

Pameran ini, menurut Farah, berusaha menjelaskan banyak fakta yang menarik dan penting dalam perjalan sejarah seni rupa di Indonesia. Fakta ini adalah bagian dari perkembangan seni rupa secara khusus dan posisi kesenian dalam masyarakat.

"Sejarah kesenian kita kurang pada sisi histiografi-nya. Maka ada permaknaan yang terlewat pada setiap peristiwa seni. Padahal, dunia kesenian memberi respon pada setiap peristiwa sosial. Seperti peristiwa Malapetaka Limabelas Januari yang direspon dengan Pameran Desember Hitam," ujarnya.
Read more on this article...

Senin, 22 September 2008

TRADISI NYADRAN DI TEMANGGUNG



Ramadhan sebentar lagi tiba, satu bulan sebelum ramadhan atau bulan syakban masyarakat menumpahkan sykurnya. Wujudnya bermacam-macam,utamanya adalah mendoakan arwah para leluluhur dan keluarga dekat yang terlebih dahulu menghadap sang Khaliq.


MATAHARI belum meninggi saat masyarakat dusun Pete, Desa Kembangsari, Kecamatan Kandangan berkumpul membentuk barisan panjang di depan Masjid yang mereka sebut sebagai Masjid Agung. Di barisan depan, berjejer Kepala Desa dan beberapa tetua desa. Kades yang bernama Sutiyo ini mengenakan busana jawa lengkap, pun demikian dengan para tetua desa. Di belakangnya, ratusan tenongan yang berisi nasi kuning dan ubo rampe-nya berjajar, dibelakangnya lagi, tua muda warga desa yang menggenakan pakaian terbagusnya, barisan paling belakang adalah
rombongan kesenian tradisional, seperti kuda lumping.

Mereka bersiap menyelenggarakan nyadran, ritual yang biasanya diselenggarakan besar-besaran tiap dua tahun sekali. Sejurus kemudian, Kades menaiki kuda tunggangannya. Dengan gagah dia memimpin barisan rakyatnya menuju komplek pemakaman. Letaknya kira-kira dua kilometer sebelah selatan desa.

Di komplek pemakaman ini bersemayan jazad dua sesepuh desa, yaitu Kyai Keramat dan Kyai Yudo Kusumo alias Joyo Kusumo. Dua tokoh ini diyakini sebagai orang yang meletakan cikal bakal desa. Mereka juga yang memimpin warga desa dalam
perjuangan mengusir penjajah Belanda.

Di komplek pemakaman, ratusan warga desa juga sudah menunggu iring-iringan ini. Ada juga 130 ekor kambing yang siap untuk disembelih, semua berwarna putih. "Hakekat acara ini adalah ungkapan syukur kepada sang pencipta. Setahun ini, kami telah diberi rejeki yang melimpah dan dijauhkan dari bala," ujar Kades, Sutiyoso.

Tiba di pusara Kyai Joyokusumo, Kades menyerahkan sebilah parang kepada Kayim, dia adalah perangkat desa yang mengurusi masalah-masalah keagamaan. Parang bernama Parang Joyokusumo. Konon, dengan parang inilah, Kyai Joyokusumo berjuangan mengusir penjajah Belanda yang menduduki wilayah Temanggung. Sekarang, parang ini adalah alat utama untuk menyembelih kambing-kambing yang akan dikorbankan.

Usai serah terima parang, rombongan pengusung tumpeng Argo Bugo yang juga ikut diarak dalam prosesi pawai kemudian maju mendekati kerumunan warga. Setelah diberi aba-aba, warga langsung merangsek dan meraih sekenanya nasi kuning dan hasil bumi yang menjadi susunan rangkaian tumpeng. Bersamaan, di sisi lain makam, kambing-kambing mulai disembelih, kemudian langsung dimasak di tempat itu pula.

"Kambing-kambing ini adalah sumbangan dari warga. Biasanya, setelah mereka mencapai cita-cita, mereka bernadzar menyumbang kambing pada perayaan Nyadran," ujar salah seorang sesepuh desa, Cipto.

Menurutnya, daging kambing harus dimasak di komplek makam, ada pantangan untuk membawa daging kambing yang masih mentah.

"Ambil saja positifnya dari pantangan ini, kambing-kambing itu bisa dinikmati seluruh masyarakat dengan bumbu seadanya. Kalau di rumah kan bisa dimasak macem-macem. Biar adil," ujarnya.

Acara berhenti sebentar untuk menunaikan ibadah sholat Jum'at. Ba'da Jum'at, mereka kembali lagi ke pemakaman. Kali ini acaranya lebih personal. Masing-masing keluarga membawa tenongan berisi tumpeng dan ingkung -sejenis ayam yang dibakar utuh- ke makam. Mereka kemudian menikmatinya diatas pusara para leluhur keluarga.

"Ini sebenarnya tradisi yang umum dikalangan masyarakat Jawa. Tiap menjelang ramadhan, kami selalu menziarahi makam leluhur, mendoakan arwah mereka," ujar
Cipto. (mn.latief)
Read more on this article...