"Tak ada yang menodongkan pistol ke kepala dan memaksa Anda menjadi jurnalis. Anda datang atas kemauan sendiri, karena Anda mencintai dunia tulis-menulis."
SAYA tiba-tiba merasa harus searching versi lengkap kutipan diatas, yang disusun dari pikiran-pikiran jurnalis senior. Dia seorang jurnalis kondang, jauh diatas kami para jurnalis kemarin sore. Kemudian dengan bantuan Google, artikel berjudul "Menjadi Wartawan" serta merta terhidang di layar computer jinjing saya.
Mari kita ambil pelajaran dari artikel tersebut. Jika tidak ada yang menodongkan pistol ke kepala saat memulai karir menjadi jurnalis, maka tak ada jua yang melempar granat saat memutuskan tidak lagi menggeluti pekerjaan yang isinya liputan dan menulis melulu itu bukan? (Termasuk, menurut artikel itu, memberi asupan buku setiap hari pada otak, memberi makna pada tiap angka, memikirkan pembaca dan tidak stereotyping). Pendeknya, penuh kemerdekaan dalam memilih, seperti yang diandaikan oleh Marx muda saat memilih karir di Jerman sana. (jadi teringat bacaan lama, Reflections of a Young Man on The Choice of a Profession)
Syahdan, pada suatu dinihari yang dingin, seorang teman menelephone. Bertutur mantap bahwa, keputusannya untuk berhenti menjadi jurnalis sudah bulat, pun surat pengunduran diri keesokan harinya dikirim.
Sejurus kemudian, saya mahfum. Inilah momentum, saat kemerdekaan, dasar profesi jurnalisme meronta meminta eksistensi. Memilih menjadi atau tidak menjadi jurnalis sama mudahnya dengan memilih minum kopi hitam pekat atau sedikit tambahan kreamer. (sebenarnya tidak sesedehana itu..)
Jadi begini, kami, para jurnalis juga terlibat dalam hubungan industrial yang mengandaikan pemenuhan hak-hak normative kaum buruh. Apa bentuknya? Ya itulah, spanduk dan baliho perayaan May Day tiap tahun sudah terang benderang menjelaskan. (gara-gara pansus Century kata “terang benderang” ini jadi ngetren). Begitulah, seperti sudah menjadi kesepakatan, bahwa menjadi jurnalis artinya siap untuk hidup biasa-biasa saja. Maksutnya, serba terbatas begitu.
Soal ini, pak Rosihan Anwar, sang maestro jurnalisme Indonesia, sebenarnya sudah begitu terang benderang (lagi? benar-benar kena demam pansus Century neh!) membahas kesehahteraan pegiat jurnalisme. Dia, yang termasuk segelintir orang-orang beruntung bisa menjadi saksi perkembangan pers di tanah air dari jaman pra kemerdekaan menegaskan bahwa jurnalis mengabdi pada fakta.
"Wartawan harus objektif dan melindungi kenyataan. Fakta itu suci. Jangan gadaikan idealisme meski kesejahteraan rendah," begitu kata Pak Rosihan sebagaimana termuat pada salah satu harian nasional. Karya jurnalistik yang dicapai dengan penuh perjuangan membuat Rosihan begitu bangga dan bahagia. Karena itulah, idealisme sebagai wartawan tidak pernah luntur.
Aduh..Pak Rosihan, dengan segala rasa hormat, petuah mulia bapak bukan tidak bermakna. Tapi, rasanya kok malah berada pada sisi seberang sana ya? Sisi para pemilik industri media yang sebentar-sebentar oplah, iklan, oplah, iklan.
Maaf Pak Rosihan, bukankah tenggelam dalam idealisme malah menyeret kita pada ilusi? Membuat kita berpaling dari persoalaan di depan mata, yaitu kesejahteraan yang cekak. Kemudian beralih menjadi mantra pengabdian profesi atau dongeng suci para penyebar fakta. Tapi kami berterimakasih, selalu mengingatkan untuk menjadi professional dan berintegritas.
Jurnalis jaman sekarang menghadapi industri media yang kejam. Sekejam Sang Rama yang ragu kesucian Dewi Shinta, sehingga harus dibuktikan pada bara api. Kejam bukan? Karena loyalitas dan pengabdian tak terhargai? Seperti perangkat, dengan mudah diganti diganti yang baru jika sudah usang.
Selamat Hari Pers Nasional kawan, atau setidaknya selamat ulang tahun PWI. (Mumpung masih bulan februari)
Jumat, 02 September 2011
Ilusi Idealisme
Diposting oleh Muhammad Nazarudin Latief di 21.02
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar