Jumat, 02 September 2011

Gak Usah Tirakatan


Suatu saat kami terlibat obrolan tentang tirakatan. Kok tiba-tiba temanya tirakatan? Gampang saja, esoknya kan seluruh bangsa ini memperingati peristiwa besar pada halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan No 56 Jakarta, kita menyebutnya dengan proklamasi kemerdekaan.

“Tirakatan itu hanya bisa dipahami setelah kamu menikah,”ujar Priyo. Priyo ini, teman sekantor saya yang bekerja di desk Bantul.

Wedew, apa-apan ini? Mengapa tiba-tiba ada hubungan antara tirakatan dan menikah? Mak jleeeb, jawaban Priyo jelas-jelas mengusik eksistensi sebagai saya, lajang usia tigapuluhan tahun. Ditambah tawa girang kawan-kawan di ruang redaksi menyukuri wajah saya yang tiba-tiba jadi nekuk-nekuk.

Ternyata, kaum bapak-bapak di kampung-lah yang merancang tirakatan. Tentu dengan iuran secukupnya untuk biaya penyelenggaraan. Kalau ada tirakatan berarti ada iuran RT ekstra, dan yang ditagih iuran itu hanya bapak-bapak yang telah berkeluarga.

Lajang, lolos! Ini dia ternyata maksud jawaban Mas Priyo Mardikenyo! Makna tirakatan di malam kemerdekaan adalah mengikuti rapat RT berkali-kali dan pada akhirnya membayar iuran bulanan ekstra di bulan Agustus. Itu saja! Gawat! Bagaimana jika hal itu adalah persepsi dari 1000 orang bapak-bapak terhadap perayaan hari kemerdekaan?

Jika semua bapak-bapak berpikiran seperti ini, apakabar nasionalisme Indonesia? Bayangkan, saat kerjaan susah, susu mahal, biaya sekolah selangit, deg-degan kena gas mleduk, apa-apa mahal, tambahan iuran RT (bahkan saat tanggal masih muda) menjadi sangat menyebalkan. Mungkin benar kata orang pintar, pada jaman yang makin susah perilaku orang menjadi semakin individualis. TIdak gampang, ngomong nasionalisme saat neoliberalisme merasuk ke sumsum dan kita dilanda kapitalisme akut.

Sudahlah saudara-saudara. Apa seh untungnya berbuih-buih tentang nasionalisme sekarang ini. Toh, dari awal nasionalisme adalah sentimen sebagai bangsa unggul dan terpilih masyarakat Ibrani Kuno. Berkembang di Eropa kemudian dibawa ke tanah jajahan, yang intinya adalah membangga-banggakan bangsa sendiri. Sekarang apa gunanya mempunyai kebanggaan (semu)? Sementara kita tidak punya wibawa internasional. Tiga petugas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang ditangkap saat menjalankan tugas negara ditukar dengan maling ikan (benar-benar diplomasi yang aneh).

Baiklah, ikuti saja siklus jaman. Saat ini konon kita sedang berada dalam fase tertinggi kapitalisme, yaitu neoliberalisme. Konon juga, krisis akan menghancurkannya, dan kita akan kembali memutari sejarah. Jadi, gak usah lah tirakatan tiap tahun, mengurangi jatah buat beli susu anak saja !

Tidak ada komentar: