Ini kejadian rutin di Purwokerto, khususnya di perumahan-perumahan yang menjadi pelanggan PDAM. Tiap memasuki musim kemarau, sekitar bulan Juli, aliran ledeng ke rumah mereka crat-crit, tidak lancar dan hanya air mengalir beberapa jam sehari. Termasuk perumahan di seputar Universitas Jenderal Soedirman, padahal jaraknya hanya beberapa kilometer dari daerah resapan air di Baturaden.
“Dua tahun saya ngontrak di GS (Perum Griya Satria), tiap kemarau, mandi selalu ngungsi”, ujar Priyo (22 th), mahasiswa FISIP Unsoed asal Tegal. Priyo juga mengaku sering begadang, menunggu ember dan bak mandinya terisi penuh. Di perumahan tempat dia tinggal, biasanya ledeng kembali mengalir tengah malam sampai dini hari.
Keluhan sama juga diungkapkan oleh Heri (35 th) seorang PNS di Balai Pelelangan Ikan Cilacap yang tinggal di perumahan Tanjung Elok Purwokerto. Jika memasuki musim kemarau, ledeng di rumahnya tidak pernah lancar. “Kalau sudah terang (kemarau) repot mas” ujarnya.
Masalah PDAM
Ketika ditanya apa penyebabnya, serentak mereka menuding PDAM Banyumas sebagai biang keladi masalah ini. Menurut mereka, BUMD ini tidak memiliki skema alternative untuk mengatasi keluhan pelanggan yang tiap tahun berulang.
“Masa dari tahun ke tahun tidak pernah ketemu solusinya?”, ujar Heri.
PDAM Banyumas memang pantas pusing. Kondisi perusahaan tak cukup menggembirakan, saat ini kapasitas produksi mereka 517,98 Liter/detik. Dengan kapasitas itu, mereka hanya bisa melayani 66,91 persen di Kota Purwokerto, 42,90 persen dari kota se Kabupaten Banyumas, dan 15,2 persen dari Kabupaten Banyumas, itupun dengan layanan yang pas-pasan bahkan cenderung kurang.
Kesulitan yang dihadapai PDAM adalah sumber air baku yang semakin sulit didapat. Data yang diperoleh dari Bagian Konservasi Sumber Daya Hutan dan Lingkungan (DKSDHL), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Banyumas, membenarkan alas an ini. Pada bulan Agustus 2007 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas hanya tinggal 500 titik, padahal di tahun 2002 jumlah mata air di Kabupaten Banyumas mencapai 3.002 titik. Secara umum inilah penyebab utama krisis air bersih di 57 desa Banyumas akhir-akhir ini.
Selain persoalan pasokan air baku, 30 persen sarana prasarana produksi dan distribusi air milik PDAM dalam kondisi rusak, usia peralatan teknis itu telah lebih dari 20 tahun, bahkan ada berapa peralatan peninggalan pemerintah colonial Belanda yang masih digunakan. Problem-problem tersebut menumpuk dan sulit diatasi, pada akhirnya, pelangganlah yang tiap tahun merasakan ledeng yang macet, dan air yang crat-crit, keruh, bahkan berbau.
Kekeringan Parah
Kabupaten Banyumas dengan topografi wilayah yang berbukit-bukit memang memungkinkan terjadi kekeringan di musim kemarau. Terdapat 40 desa yang tersebar di 12 kecamatan di Banyumas yang menjadi langganan kekeringan. 12 kecamatan itu adalah Kebasen, Rawalo, Sumpiuh, Tambak, Kalibagor. Kecamatan lainnya Wangon, Somagede, Rawalo, Cilongok, Jatilawang, Ajibarang, dan Gumelar.
Kekeringan di tahun 2007 ini lebih parah dari tahun kemarin, di Kecamatan Tambak dan Sumpiuh, pada bulan Agustus 2007 sudah mengalami instrusi. Intrusi adalah gejala alam berupa masuknya air asin ke daratan. Gejala ini disebabkan rendahnya permukaan air tawar. Selain itu, kejadian ini juga dipicu oleh rusaknya klep pengatur pembuangan, sehingga air laut samudra hindia yang berjarak 30 km dari sebelah selatan kecamatan tersebut masuk ke sungai-sungai dan akhirnya meresap ke sumur warga. Biasanya intrusi terjadi saat kemarau mencapai puncaknya, kisaran bulan November, tapi tahun ini intrusi sudah terjadi di bulan Agustus.
Secara umum disebutkan dalam surat surat edaran Provinsi Jawa Tengah No. 360/8476 tertanggal 14 Juli 2003 bahwa, 29 kabupaten di Jawa Tengah mengalami kekurangan air bersih. Di karesidenan Banyumas dan Pekalongan terdapat 9 kabupaten yang mengalami kekurangan air. Tercatat 327 desa di 57 kecamatan yang tersebar di Kabupaten Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga dan Cilacap mengalami kekurangan air bersih.
Dampak paling terasa adalah kesulitan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Di desa Kedungwuluh Lor, Kecamatan Patikraja misalnya, Selama musim kemarau, mereka harus mencari ke sejumlah mata air di luar desa yang jarak tempuhnya mencapi 1,5 km. Sementara bantuan air bersih dari PEMKAB Banyumas hanya berkisar 4000 liter. Jumlah tersebut tidak cukup untuk memasok kebutuhan ribuan warga. Akibatnya, pembagian air bantuan pemerintah selalu diwarnai dengan rebutan air, dan keluhan tidak memperoleh jatah air bersih. Masyarakat di Kecamatan Sumpyuh warga terpaksa memilih mencari air ke desa tetangga yang letaknya sekitar 3-5 km. Bahkan sebagian dari mereka mencari air hingga ke Rowokele dan Ayah di Kabupaten Kebumen.
Kekeringan juga mengancam kondisi ketersediaan pangan. Pada minggu pertama Agustus 2007 kekeringan di Jateng sudah melanda sekitar 108.000 hektar lahan sawah dengan kondisi puso sekitar 10 persen. Akibatnya, pada tahun 2007 ini, produksi padi diperkirakan menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ramalan II 2007 menunjukkan angka perkiraaan produksi padi dalam setahun hanya sebesar 8,38 juta ton dengan luas panen selama tahun 2007 hanya seluas 1,56 juta hektar. Berbeda dengan tahun 2006, angka produksi mencapai 8,73 juta ton, angka tertinggi sejak tahun 2000. keberhasilan ini berkat dkungan curah hujan, saat itu jumlah lahan panen mencapai 1,66 juta hektar dengan kondisi puso hanya 6.000 hektar.
Kerusakan Ekosistem
Kekeringan dimusim kemarau dan banjir di musim hujan sepertinya sudah menjadi agenda rutin dalam kehidupan kita. Jika sudah seperti ini, bukan lagi fenomena alam biasa. Kenyataan ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan ekosistem, sebabnya adalah kerusakan lingkungan yang parah. Masyarakat kadang salah memahami, kekeringan dan banjir sering dianggap bencana alam, padahal bencana-bencana alam ini bukanlah suatu kondisi yang begitu saja terjadi, tetapi akibat yang muncul dari akumulasi berbagai kerusakan di bumi.
Data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banyumas menunjukan kerusakan ekosistem banyak dipicu oleh aktifitas ekonomi manusia. Penebangan hutan menjadi salah satu sebab kerusakan alam. Menurut Wisnu Hermawanto, Kepala Dishutbun, setiap hari ada sekitar 500 meter kubik kayu di Banyumas yang ditebang. Jumlah tersebut setara dengan 1.500 batang pohon. Padahal, mata air membutuhkan sedikitnya 400 batang pohon sebagai penyimpan air. Jika tidak ada upaya serius untum menghentikan penebangan dan reboisasi, Wisnu memperkirakan dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, di Banyumas sudah tidak ada lagi mata air.
Penebangan memberikan implikasi buruk bagi hutan, padahal hutan memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air, berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro, dan mampu mencegah terjadinya bencana-bencana longsor, banjir, serta melindungi kawasan di bawahnya dari angin ribut. Akibat minimnya hutan, air hujan tidak dapat tertahan sehingga lari ke lahan yang lebih rendah dengan menggerus lapisan tanah atas (top soil) yang subur. Kondisi ini memaksa petani untuk memberi pupuk kimia agar tanahnya subur. Dampaknya, berbagai zat kimia tersebut mencemari air tanah dan mempersulit warga memperoleh air bersih.
Selain kerusakan hutan, penyedotan air tanah turut memberi andil bagi kekeringan. Kualitas dan kuantitas air merosot akibat penyadapan besar-besaran guna memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri, rumah sakit, hotel, dan restoran.
Upaya Konservasi yang Serius
Sesungguhnya, tidak sulit untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem. Kita hanya memerlukan komitmen dan keingingan yang kuat untuk melaksanakan konservasi secara konsisten. Masalahnya sekarang, lingkungan tidak pernah dilihat dalam bagian yang intergral dalam pembangunan. Lingkungan telah dieksploitasi demi meningkatkan devisa dan mendongkrak pendapatan baik di daerah maupun secara nasional, namun upaya tersebut tidak dibarengi dengan penyelamatan dan rehabilitasi.
Menurut Dani Armanto, coordinator Komunitas Peduli Slamet (Kompleet) perlu langkah-langkah strategis dalam memulai usaha penyelamatan lingkungan. Pertama adalah membangun padangan bahwa lingkungan adalah bagian integral dari pembangunan. “Dampak pembangunan ekonomi terhadap lingkungan, social dan budaya harus diperhatikan. Harus ada kerangka dan mekanisme untuk meminimalisir dampak buruk pembangunan”, ujar Dani.
Investasi juga harus mendapat perhatian yang serius. Kadang investasi justru menjebak masyarakat sehingga menumpulkan kemampuan masyarakat untuk memobilisasi sumberdaya yang dimiliki. Bahkan, investasi juga medorong masyarakat untuk melepas asset yang dimiliki. Kawasan wisata Baturaden misalnya, di daerah tersebut, sebagai besar tanah sudah dimiliki oleh investor, masyarakat berbondong-bondong menjual tanahnya untuk mendapat keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Akibatnya, masyarakat di daerah tersebut tidak dapat menjadi pemain utama dalam usaha yang banyak ada disana, mereka hanya menjadi pemain pingiran dan bertebaran di sector informal. Pemerintah tidak harus selalu mengandalkan investasi untuk membiayai pembangunan daerah, namun ada kerangka untuk memaksimalkan penggunaan asset-asset yang dimiliki masyarakat.
Untuk mengembalikannya, perlu dilakukan penataan ulang struktur agraria. Reforma agraria adalah langkah untuk mengembalikan kemampuan produksi masyarakat dalam bidang pertanian sebagai pondasi utama pembangunan daerah. Langkah dalam redistribusi asset juga harus diikuti kebijakan yang berpihak pada pembangunan pertanian misalnya, proteksi, pengembangan kapasitas sumber daya manusia petani.
Di kalangan elit pemerintahan baik legislative maupun eksekutif juga harus dilakukan gerakan pembersihan dari mafia-mafia perijinan dan proyek. Mereka inilah yang merusak kerangka pembangunan daerah. Mereka hanya mengejar keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Kamis, 13 Desember 2007
Banyumas yang Mengering
Diposting oleh Muhammad Nazarudin Latief di 16.21
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar