Rabu, 24 Oktober 2007

Pangan

Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang dihasilkan baik secara alami dari mahluk hidup maupun rekayasa teknologi untuk dikonsumsi oleh manusia guna menghasilkan energi sebagai sumber kehidupannya.

Demikian pangan didefinisikan secara “eksakta”, definisinya tegas dan jelas. Definisi ini juga mengandung arti bahwa jika ingin melanjutkan kehidupan, mahluk hidup harus dapat mengakses pangan.

Selain itu, pangan juga berkembang menjadi banyak komoditas, pentas politik negeri ini penah memanas gara-gara pangan, waktu itu parlemen kita memanggil presiden dan mempertanyakan mengapa sampai terjadi kelaparan di bagian timur Indonesia. Keruntuhan dua rejim pemerintahan kita, orde baru dan orde lama, diawali dengan kelangkaan pangan.

Pangan menempati posisi yang sedemikian penting. Untuk mengaturnya, ada etika yang mengatakan bahwa pangan tidak boleh dipandang sebagai komoditas ekonomi belaka, pangan harus diletakkan sebagai hak dasar manusia yang harus bisa dipenuhi. Melville J. Herskovits, seorang antropolog ternama mengatakan pangan adalah primary determinant of survival.

Jaman menjadikan pangan berkembang rupa-rupa, bukan hanya itu, pangan juga mengglobal. Di kaki Gunung slamet orang-orang bisa menikmati ayam goreng berbalut tepung yang biasa dimakan oleh bule di salah satu negara bagian AS. Beras mengganti pangan pokok masyarakat di ujung timur Indonesia, yang dulu memakan sagu, penganan yang diolah dari batang pohon salah satu jenis tumbuhan. Hal ini berlaku juga untuk mie, donat, pizza, dan kentang goreng.

Anehnya, ada anggapan, bahwa salah satu penganan lebih bergengsi dari pada jenis lain. Mental terjajah bangsa ini belum sepenuhnya lenyap, pizza dianggap lebih bergengsi dari pada thiwul, minuman bersoda lebih bermartabat dari pada dawet. Perlahan tapi pasti, kita mengalami penyeragaman pangan. Kondisi seragam pangan inilah yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan besar penghasil penganan. Kondisi ini sengaja diciptakan, agar produk mereka terserap habis. Melalui iklan otak kita dicekoki dengan keunggulan produk yang mereka hasilkan, bahwa memakan penganan ini lebih bergengsi dari pada itu, meminum ini akan kuat seperti si anu dan sebagainya.

Kita dibuat lupa akan grontol, suweg, uwi, gatot, sriping makanan yang pernah membuat meja makan keluarga kita indah dan mengundang selera.


Read more on this article...

PILKADES dan Gagasan Pembaharuan Desa

Dulu, waktu masih mahasiswa, kami sering membandingkan kondisi demokrasi di kampus dan desa. Waktu itu menurut kami, kehidupan demokrasi di desa jauh lebih maju dari pada di kampus. Masyarakat desa memilih secara langsung pimpinan mereka dan mengontrol kinerjanya melalui BPD yang independen. Di kampus, rektor --terutama PT yang belum menjadi BHMN-- merangkap jabatan, sebagai eksekutif juga sebagai ketua Senat Universitas, lembaga yang salah satu tugasnya melakukan kontrol terhadap kinerja Rektor.

Setelah lulus dan kemudian bekerja, obrolan tersebut saya pikir layak untuk direnungkan kembali. Melihat realitas kehidupan pedesaan ternyata tidak segampang hanya dengan menggunakan kaca demokrasi elektoral. Menurut pengamatan saya, kompleksitas kehidupan masyarakat pedesaan juga harus dilihat dalam kaca mata yang lain, misalnya ekonomi dan politik.

Sebentar lagi, Kabupaten Banyumas menyelenggarakan dua hajat yang penting bagi demokrasi. Pertama Pilkades, rencananya akan dilaksanakan tahun ini, waktu pelaksanaannya secara pasti belum ditentukan, mungkin serentak, ingin mengulang keberhasilan kabupaten tetangganya Purbalingga. Hajat yang ke dua adalah PILKADA, pemilihan bupati langsung, Juni 2008, ini hajat yang lebih besar, pemain-pemainnya tambah banyak dan semakin ruwet urusan politiknya.

Dalam momentum menjelang PILKADES ini saya ingin memaknainya lebih dalam, bukan sekedar memuaskan hajat demokrasi elektoral, namun lebih jauh memaknainya sebagai peluang untuk memajukan kehidupan pedesaan, terutama petani pedesaan. Lebih khusus lagi memaknai jabatan kepala desa, sebagai jabatan politik yang dapat memajukan masyarakat petani yang menjadi mayoritas penduduk. Kepala desa sudah waktunya untuk dimaknai bukan sekedar kepanjangan tangan administrasi pemerintahan supradesa.

Kemiskinan Pedesaan
Di akhir tahun 2006, World Bank mengeluarkan hasil risetnya yang mencengangkan. Menurut World Bank sekitar 49 persen dari total penduduk Indonesia atau 109 juta jiwa masuk dalam kategori miskin. Sementara jumlah penduduk miskin menurut angka resmi pemerintah per agustus 2006 adalah 39,1 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia. Tidak usah bingung menentukan mana yang lebih kita percaya, apapun metode dan indikator data tersebut, jumlah penduduk miskin dan persoalan pengangguran yang tinggi adalah fakta yang tidak boleh dianggap enteng. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berada di wilayah pedesaan, BPS misalnya menyebut 24,8 juta jiwa dari angka kemiskinan berada di pedesaan, penduduk miskin di pedesaan tersebut bekerja di sektor pertanian sebagai petani maupun buruh tani.
Paparan angka diatas menunjukan bahwa sekarang kita sedang “menikmati” hasil dari model pembangunan yang menafikan posisi desa. Pada dekade tahun 50-an, teori pembangunan melihat industrialisasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari keterbelakangan. B. Higgins yang dikutip oleh Mubyarto mengungkapkan bahwa masalah yang dihadapi oleh masyarakat pertanian Indonesia tidak dapat dipecahkan dengan program-program pertanian saja. Menurutnya, hanya industrialisasi yang mampu mengubah pengangguran tersembunyi menjadi kerja yang produktif.

Memang industrialisasi di sektor manufaktur, perkebunan, pertanian, kehutanan berkembang dan pertumbuhan ekonomi meroket. Tapi, model pembangunan yang “kota sentris” mengorbankan penduduk desa yang hanya menjadi suplayer tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi pertanian yang diberi nilai tukarnya rendah dibandingkan dengan produk industri. Akibatnya, akumulasi kapital pun mengalir ke kapitalis asing dan kesenjangan ekonomi semakin melebar antar sektor perkotaan dengan pedesaan, sektor formal dengan informal, sektor kapitalis dengan prakapitalis.

Dalam kondisi ini tidak mungkin terjadi akumulasi kapital pada masyarakat pedesaan atau petani, yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan usaha tani. Perhatian pemerintah yang hanya menekankan pada swasembada beras, juga menghancurkan kreatifitas petani untuk melakukan diversifikasi komoditas tanaman. Parahnya, fasilitas kredit yang mereka perlukan dipenuhi bukan dari lembaga keuangan formal, namun dari lembana informal yang semakin menjerat mereka dalam kemiskinan.

Paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan modal telah menghancurkan pondasi ekonomi desa. Kegiatan ekonomi yang dijalankan adalah bentuk kegiatan yang mendorong laju pertumbuhan dan berpusat di kota, akibatnya kota menjadi terbebani dengan limpahan tenaga kerja dari pedesaan. Sementara desa terperosok dalam kubangan kemiskinan dan tidak lagi sebagai elemen penting pertumbuhan ekonomi. Sektor agraris tertinggal, parahnya desakan urbanisasi telah menjadikan desa miskin sumber daya manusia yang potensial. Selain itu terjadi pula kekerasan ekonomi negara yang menghancurkan sistem perekonomian yang dibangun oleh petani, yaitu memaksakan revolusi hijau, coorporate farming, membiarkan benih transgenik menggantikan benih lokal. Akibatnya hancurlah bangunan ekonomi petani yang arif dan diganti dengan ambisi pertumbuhan ekonomi dan pasar bebas.

PILKADES dan Pembaharuan Desa
Otonomi daerah, setidaknya membuka peluang terbukanya saluran-saluran politik masyarakat yang selama ini dihilangkan. Pelaksanaan otonomi daerah harus mempunyai makna pemberdayaan masyarakat dalam aspek ekonomi (akses terhadap sumberdaya produktif utamanya lahan) politik (sistem pengambilan keputusan) dan sosial (kelembagaan masyarakat) hingga pada tingkat desa, serta aspek lingkungan (sustainability). Desentralisasi dapat dimaknai sebagai sesuatu yang menawarkan kesadaran pada kita bahwa ke depan, pembangunan harus dijiwai dan mengakomodasi nilai-nilai lokal, kultural dan historis masyarakat setempat ke dalam bentuk partisipasi seluas-luasnya.

Paralel dengan semangat ideal desentralisasi tersebut, ide tentang pembaharuan desa menemukan signifikansinya pada perbaikan kehidupan desa. Pembaharuan desa dilakukan untuk mengawal perubahan relasi ekonomi politik desa secara internal maupun eksternal yang memiliki tatanan kehidupan baru yang demokratis, mandiri dan adil. Dengan demikian, pembaharuan desa hendak melakukan konfrontasi terhadap ketimpangan ekonomi politik desa maupun krisis sosial di desa. Pembaharuan desa juga dilakukan dalam upaya mendorong masyarakat belajar secara kritis untuk mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi hidup mereka, menempa kapasitas, membangkitkan potensi dan kekuatan lokal serta mengembangkan modal sosial, yang semua ini menjadi basis bagi demokrasi dan otonomi desa.
Pilkades, seperti hajatan demokrasi yang lain sebenarnya juga membuka jalan bagi pembaharuan desa. Hasil Pilkades, sesungguhnya jabatan politis yang kuat legitimasinya dan berdaulat. Dengan kekuasaannya Kades mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan peraturan (Perdes) dengan persetujuan BPD.

Semacam kontrak politik, masyarakat pedesaan juga bisa memanfaatkan momentum PILKADES untuk mencari sosok Kepala Desa yang penuh komitmen untuk pembaharuan desa, daripada terus menerus dibohongi janji-janji semu politik uang. Sebagai perbandingan beberapa desa di Garut Jawa Barat telah sukses menyusun Perdes Tata Guna dan Tata Kelola Lahan, yang membuka akses petani-petani miskin pada faktor produksi tanah, dan menjamin kelangsungan usaha tani. Perdes ini merupakan hasil kontrak politik Kades terpilih dengan salah satu organisasi tani di desa tersebut. Inilah bukti bahwa masyarakat desa bisa menjadi pemeran aktif dalam hajat demokrasi, bukan hanya sekedar objek mobilisasi suara yang hanya diganti dengan beberapa lembar rupiah. Masyarakat desa bisa berdaya dan mempunyai posisi tawar secara politik sejak awal pemilihan Kades.


Read more on this article...

Senin, 22 Oktober 2007

Liberalisasi Pertanian:Lonceng Kematian Petani Indonesia


Oleh
MN.Latief
Bagaimana negara yang pernah berswasembada beras menjadi pengimpor beras terbesar di dunia? Inilah pengalaman yang pernah dialami oleh negara kita. Susah payah membangun swasembada beras, tiba-tiba runtuh oleh badai krisis akhir 90-an. Bahkan di tahun anggaran 1998/1999 Indonesia menjadi pemimpor beras terbesar di dunia, waktu itu Indonesia mengimpor beras sebanyak 4,8 juta ton. Sampai kini Indonesia menjadi pembeli beras terbanyak di dunia, 10 persen dari beras yang diperdagangkan di dunia masuk dalam pasar produk pertanian dalam negeri. Menurut Bonie Setiawan, dalam buku Globalisasi Pertanian, bila ketergantungan pada impor beras terus naik, maka Indonesia akan terus menjadi pemimpor beras terbanyak selamanya.
.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Untuk menjawabnya kita harus mengurai lebih banyak pernak-pernik dunia pertanian tanah air. Khusunya kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian yang menjadi persoalan mendasar pertanian kita. Di negeri ini, kebijakan pertanian begitu kompleks, rumit dan sarat kepentingan pihak, dari petani, pejabat, perusahaan besar, sampai para pemburu rente. Mereka ribet dengan urusannya masing-masing, kongkalikong dan memburu keuntungan paling tinggi.

Karena ruwetnya kebijakan pertanian di negeri ini, kita hampir tiap tahun mengalami kenaikan harga beras, kelangkaan pupuk di pasaran, anjlognya harga gabah, dan persoalan lain yang merugikan masyarakat. Seperti diakhir 2006, harga beras melonjak lebih dari 30 persen. Khusus mengenai lonjakan harga beras tahun ini, Bustanul Arifin seorang guru besar pertanian dari Universitas Lampung mengatakan bahwa pemerintah menerapkan manajmen yang buruk dalam mengurusi beras. Menurutnya, persoalan mendasar dalam menajemen stok pemerintah adalah tidak adanya penanggungjawab atas pengadaan beras dan bagaimana pengadaan dilaksanakan. Setiap daerah, menurutnya harus mempunyai cadangan stok beras yang diadakan oleh pemerintah pusat dan daerah (Kompas 14 Desember 2006). Hampir senada, Faisal Basri, pengamat ekonomi menilai bahwa memahami kenaikan harga beras sesungguhnya tidak terlalu rumit. Kejadian ini sudah berulangkali dan seperti telah menjadi ritual tahunan. Namun penyelesaiannya tidak pernah kunjung tuntas, jurus yang itu-itu saja, yakni membuka kran impor beras. Akibatnya seribu satu masalah yang menjadi penyebab carut marutnya dunia perberasan tak kunjung ditangani dengan seksama (Kompas. 18 desember 2006).
Siapa yang dirugikan, tentu saja petani dan masyarakat pedesaan lain. Mereka adalah golongan paling lemah dalam konstelasi ekonomi pertanian nasional. Importir beras, pedagang besar, perusahaan-perusahaan multinasional yang menguasai benih, pupuk, obat-obatan, mesin pertanian, tanaman transgenik, penguasa tanah besar tentu bukan lawan yang seimbang bagi petani kita. Rata-rata petani kita hanya menguasai kurang dari 0,3 ha, selain jutaan petani lainnya yang tidak mempunyai tanah, bagaimana mungkin mereka melawan oranng-orang dan perusahaan yang mempunyai modal jutaan kali lipat.

Liberalisasi Pangan
Mulai tahun 1995 Indonesia masuk pada perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture) World Trade Organization. Perjanjian ini adalah perjanjian yang mengikat secara hukum dan harus ditaati oleh negara yang mengikutinya. Dengan mengikutinya, Indonesia berkewajiban untuk pertama, mengurangi dukungan domestic. Dukungan domestic ini biasanya diberikan pemerintah kepada petani dalam bentuk kredir lunak dan subsidi input bahan-bahan pertanian. Setelah perjanjian ini, sedikit-demi sedikit bantuan pemerintah tersebut akan dikurangi sampai akhirnya dihapus sama sekali. Kedua pengurangan subsidi ekspor. Dengan pengurangan ini, petani kita dibiarkan pemerintah untuk menghadapi pemain-pemain besar pemasar produk pertanian. Ketiga, perluasan akses pasar yang diartikan sebagai penghapusan seluruh hambatan impor dan dikonversi dalam bentuk tariff. Tariff ini nantinya akan dikurangi sebesar 36 persen bagi negara maju, sementara bagi negara berkembang, tariff impor akan dikurangi 24 persen dalam jangka waktu 10 tahun dan pengurangan minimum 10 persen.

Selain Agrement On Agriculture, adalagi beberapa perjanjian internasional yang merugikan petani kita. Misalnya TRIPs, suatu perjanjian yang mengatur tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual dalam bidang perdagangan. Perjanjian ini mewajibkan setiap negara untuk memberikan paten terhadap produk dan proses atas penemuan-penemuan di bidang biotekhnologi, termasuk lingkup pangan dan pertanian. Artinya Negara harus mengakui paten atas tanaman-tanaman dan bibit yang kebanyakan berada di negara dunia ke-tiga, dan sebaliknya tidak mengakui hak-hak komunitas setempat atas sumber daya mereka sendiri. Celakanya, perusahaan-perusahaan multi nasional sekarang telah menguasai 97 persen paten di dunia. Jika hal ini terus terjadi, bisa jadi petani kita yang ada di desa-desa harus membeli bibit Jagung pada perusahaan besar Mosanto di Amerika sana, atau membeli bibit padi pada perusahaan agrobisnis raksasa lain.

Isu lain yang berkaitan dengan liberalisasi pertanian di dunia adalah perjanjian SPS (Sanitasi dan Fitonisasi) yaitu perjanjian mengenai aturan karantina barang-barang impor pertanian untuk perlindungan terhadap kesehatan manusia, tanaman dan hewan, yang harus sesuai dengan standar-standar kesehatan yang bisa dibenarkan secara ilmiah. Dalam perjanjian ini, WTO menunjuk badan yang bernama Codex Alimentaius yang diurus oleh WHO dan FAO. SPS ini banyak dipakai oleh negara maju sebagai penghalang akses pasar produk pertanian dari negara-negara dunia ketiga. Standar ini sangat mahal untuk diterapkan di negara berkembang dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya banyak produk pertanian dari negara berkembang yang tidak bisa masuk ke negara maju karena standar yang tidak bisa dipenuhi oleh pertanian skala kecil dan tradisional.

Hampir serupa dengan perjanjian Sanitasi dan Fitonasi adalah TBT (Technical Barriesrs to Trade). Perjanjian ini mengatur standarisasi baik yang bersifat mandatory (wajib) maupun yang bersifat voluntary yang mencakup karakteristik produk; metode dan proses produk; terminology dan simbol; serta persyaratan kemasan (packaging) dan label (labeling) suatu produk. Ketentuan ini ditetapkan untuk memberikan jaminan bagi kualitas suatu produk ekspor, memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup. Pertanjian TBT ini mewajibkan para anggotanya untuk menggunakan standar internasional sebagai dasar penetapan standar, seperti ISO dan lainnya.

Petani Kecil Makin Terpinggirkan
Petani di Indonesia oleh program revolusi hijau terlanjur diarahkan pada bentuk pertanian yang berasupan tinggi (high external input). Dengan model pertanian seperti ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan petani akan input luar seperti benih, pupuk, racun pada hama dan penyakit tanaman sangat tinggi. Apa jadinya jika pemerintah mengurangi subsidinya pada bahan-bahan ini? Petani akan menanggung kenaikan biaya produksi dan usaha tani akan memerlukan modal yang sangat besar walaupun pada skala kecil dan tradisional. Mana mungkin petani kita mampu menyediakan modal dalam jumlah yang besar sementara kredit-kredit usaha tani juga dipangkas pemerintah. Tentu saja produktifitasnya menurun, dan merugi.

Hal diatas baru kerugian petani kita dalam proses produksi, bagaimana dengan pemasaran hasil pertanian mereka? Ambil contoh harga beras, apakah harga beras yang mahal berarti juga peningkatan kesejahteraan petani? Ternyata tidak, jika sekarang kita merasakan harga beras yang mahal, ternyata kenaikan harga beras tidak dinikmati oleh petani. Mereka tetap saja membeli beras dengan harga mahal karena hasil pertanian mereka terlanjur dijual dengan harga murah. Harga jual gabah di tingkat petani belum mampu mengangkat taraf hidup petani, kenaikan harga jual gabah tidak semimbang dengan laju inflasi dan selalu tertinggal jauh dari kenaikan barang konsumsi selain pertanian. Perjanjian yang ditandatangani pemerintah dalam bidang pertanian juga membuka kran impor beras, akibatnya harga beras di pasar lokal hancur dan berakibat pada sistem pengadaan pangan lokal dari dalam negeri. Impor beras sebenarnya hanya ditujukan untuk mengendalikan harga beras dan menambah stok di daerah-daerah rawan pangan, namun kenyataannya daerah yang surplus seperti Lampung, Sumatra Utara, Jawa Tengah, Karawang, Indramayu juga kedatangan beras impor. Tentu saja, harga beras dan gabah di daerah tersebut hancur, dan petani mengalami kerugian.

Sesungguhnya, banyak pihak yang telah menyadari ketidakadilan dalam mekanisme perdagangan produk pertanian internasional ini. Dalam perdagangan ini, mereka hnya melihat dominasi negara-negara maju dan perusahaan agrobisnis raksasa. Misalnya Vatikan, pimpinan tertinggi umat Katolik dunia ini mengeluarkan pernyataan perlunya reformasi perdagangan dunia. Menurut Vatikan, peraturan-peraturan perdagangan seharusnya disesuaikan dengan komitmen yang lebih luas untuk mengembangkan umat manusia dan untuk mengangkat standar kehidupan masyarakat miskin. Khusus untuk kesepakatan perdagangan pertanian, Vatikan meminta agar menjadikannya tes moral dan ekonomis karena hasilnya nanti tidak hanya untuk kepentingan kehidupan banyak petani dan keluarga kecil, tetapi juga untuk keseluruhan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seharusnya mampu mengekspor produk mereka ke negara-negara maju tanpa hambatan tarif atau hambatan apapun, dan negara berkembang juga tidak diharuskan untuk membuat komitmen yang tidak sesuai dengan status ekonomi dan pembangunan mereka.

Terakhir Paus Benediktus XVI mengemukakan keprihatinannya terhadap para petani kecil: ‘Tidak boleh dilupakan bahwa kerentanan kawasan pedesaan memiliki dampak yang sangat besar terhadap keberlangsungan hidup para petani kecil dan keluarga mereka’, katanya. Paus juga meminta adanya rasa ‘solidaritas’ dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO lalu dan adanya perlindungan khusus melalui mekanisme pengamanan bagi kaum miskin, keluarga-keluarga di daerah pedesaan, dan, khususnya, kaum perempuan pedesaan dan anak-anak. Paus juga menunjukkan ‘pentingnya untuk membantu komunitas-komunitas asli di pedalaman karena mereka juga sering menjadi subyek apropriasi untuk kepentingan keuntungan semata’.


Read more on this article...

Bu Giyem, Emping Melinjo dan Kemandirian Petani

Dusun Cerean, Kemawi, akhir 2006. Kami berniat mendatangi rumah Bu Giyem, pelopor pengrajin empling Melinjo di desa Kemawi, kecamatan Somagede, Banyumas. Tak sulit mencarinya, semua tukang ojeg di gerbang desa Kemawi, kenal baik sosok ini. “Oh…tahu mas, bu giyem Mbah Carik kan? Sing nggawe emping kae mbok?”, jawaban para tukang ojek saat kami tanya arah menuju rumah bu Giyem. Tanpa ragu, mereka segera menunjukan jalan.
Waktu bertandang, rumahnya sedang direnovasi, agak berantakan, potongan kayu bertebaran disana-sini. ”Eternitnya sudah pada rusak, sering buat kejar-kejaran kucing sama tikus” ujar Bu Giyem, sambil mempersilahkan kami masuk.
.
Nama lengkapnya Sugiyem, umurnya sudah lebih dari setengah abad. Dia diperistri oleh mantan Carik di Desa Kemawi, karena itulah dia sering juga ikut-ikutan dipanggil oleh tetangganya Mbah Carik. Biasanya, istri orang penting di desa mempunyai seabreg kegiatan, tapi bagi bu Giyem bukan itu alasan satu-satunya untuk aktif berkegiatan di desanya.
”Saya itu orangnya tidak bisa diam, harus ada sesuatu yang saya kerjakan” ujarnya. Maka dia terlihat sangat menikmati berbagai kesibukan, mulai dari menjadi ketua kelompok Sekar Mulya, Dasawisma, arisan, bahkan dia menjadi ketua PKK desa, jabatan yang biasa dipegang oleh istri kepala desa.

Aktifitasnya di kelompok Sekar Mulya inilah yang mengantarnya menjadi ”pengusaha” emping. Awalnya, mereka berkenalan dengan BABAD, sebuah NGO di Purwokerto yang bergerak dalam pemberdayaan dan usaha ekonomi rakyat. Dengan NGO ini, mereka belajar berkelompok dan berorganisasi dengan lebih rapi, menggunakan prinsip-prinsip manajemen usaha tani. Kelompok Sekar Mulya kemudian menentukan kegiatan utamanya, yaitu mengembangkan usaha pasca panen yang berbasis sumber daya lokal.

Awalnya kegiatan kelompok ini sama dengan kelompok-kelompok tani lain yang didampingi oleh yayasan BABAD, berusaha menguatkan aspek produksi pertanian. Mulai dari bertanam Jahe Gajah, pembibitan tanaman usia panjang, membuat pupuk organik, mengelola lahan kelompok dan menanaminya dengan sayur mayur. Namun apa daya, sekian usaha telah dilakukan, namun hasil maksimal dari pengelolaan lahan belum juga didapat. Belum lagi urusan domestik yang menyita banyak waktu ibu-ibu ini, maka pekerjaan mengelola lahan dan mengembangkan pertanian kelompok terabaikan. Karena itulah mereka beranjak mencari usaha lain. Terpikir oleh Bu Giyem untuk mengembangkan usaha pasca panen Emping Melinjo. Pilihan ini bukan tanpa alasan, salah satu anggota kelompok pernah sukses mengembangkan usaha ini, namun karena kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, usaha ini tidak diteruskan. Dari hasil analisis usaha pun terlihat bahwa pengolahan melinjo mempunyai prospek pasar yang cukup besar, bahkan berapapun jumlah emping yang dihasilkan pasar masih tetap bisa menyerapnya. Masyarakat Kemawi biasanya membutuhknan emping dalam jumlah besar untuk acara-acara hajatan, selain konsumsi harian mereka.

Rantai Pertanian
Usaha pasca panen, menurut logika Pertanian Berkelanjutan yang dikembangkan oleh yayasan pendamping mereka adalah salah satu bagian penting dalam rantai pertanian berkelanjutan selain rantai produksi dan distribusi. Pengolahan hasil pertanian secara mandiri diyakini mampu meningkatkan value added produk, selain menyiasati sifat-sifat rentan hasil pertanian, seperti mudah rusak, tidak tahan lama, tidak tahan gesek, dan rentan terhadap perubahan cuaca.
Kemawi mempunyai cadangan Melinjo cukup melimpah. Setiap musim panen, daerah ini bisa menghasilkan 21 ton. Jika musim sedang bagus, dalam setahun bisa tiga kali panen. Dengen perhitungan ini, Bu Giyem yakin usahanya tidak akan kekurangan bahan baku.
”Untuk membuat 30 kg emping tiap bulan melinjo dari kemawi sudah cukup, tidak perlu nyari di desa lain” ungkap bu Giyem. Bahan baku dibeli dari petani langsung, tiap kilogram melinjo yang sudah dikupas kulitnya dihargai Rp. 2.250-Rp.2500, biji melinjo belum dikupas dihargai Rp. 500,-. Emping yang mereka hasilkan tergolong emping yang berkualitas bagus, mereka mengistilahkan dengan kualitas super. Cara pembuatannya sederhana, hanya butuh ketekunan. ”Tidak ada rahasianya mas” ungkap bu Giyem.

Proses pembuatan emping dimulai dari memisahkan biji dari kulit Melinjo. Biji melinjo yang masih bercangkang kemudian digoreng dengan pasir, bukan dengan wajan biasa, tapi sangan sejenis wajan yang terbuat dari tanah liat. Setelah itu, cangkang dibuang dan biji melinjo yang berwarna putih dipipihkan dengan cara dipukul. Satu keping emping dibuat dari 3 buah biji Melinjo, karena itulah berat melinjo menyusut, tiap satu kuintal Melinjo hanya menghasilkan 30 kg emping. Dengan kapasitas produksi saat ini, mereka belum mampu memenuhi pasar luar desa. ”Buat mencukupi permintaan di sini saja kami sudah kewalahan” ujar Bu Giyem.

Kemandirian dan Pertanian Masa Depan
Usaha Bu Giyem dan kelompok Sekar Mulya belum lagi berkembang besar, namun ada semangat untuk mengembangkan perekonomian keluarga berbasis sumber daya lokal. Inilah awal kemandirian, memulai dengan apa yang dimiliki, mengembangkan dan mendapatkan hasil darinya. Bu Giyem dan kelompoknya telah memberikan teladan yang baik. ”Memulai sesuatu memang dari hal yang kecil, tidak bisa langsung besar dan membawa keuntungan, apalagi usaha seperti ini, kita harus benar-benar sabar dan ulet” papar Bu Giyem.

Total produksi 30 Kg perbulan belum cukup untuk di”ekspor”, kecuali satu permintaan khusus dari Bandung, itupun karena pesanan salah seorang tetangga yang sedang membuka warung kecil-kecilan disana. Oh ya..setiap kilogram emping melinjo kualitas kelas 1 dihargai Rp. 18.000, untuk kualitas kelas 2 dijual dengan harga Rp. 15.000,- Perbedaan kualitas disebabkan karena rasanya, kualitas kelas 1 biasanya berwarna putih, rasanya gurih, terasa melinjo-nya dan lebih mengembang waktu digoreng. Sedangkan kualitas nomor 2 Emping berwana agak kelam, rasa melinjonya agak samar dan tidak mengembang sempurna jika digoreng.
Bu Giyem dan kelompoknya sedang berusaha memotong rantai pertanian yang selama ini membelenggu petani. Mereka memangkas jalur distribusi produk pertanian dan mengolahnya menjadi barang siap konsumsi. Sedikit demi sedikit mereka menggeser peran tengkulak dalam rantai pemasaran produk pertanian, menggantikannya dengan kemandirian, kerja keras petani untuk menghasilkan keuntungan yang sebanding dengan kerja keras petani.[]


Read more on this article...

Darmakeradenan ; Makmur dari Kapur?

ini cerita tentang desa yang hidup dari penambangan batu kapur. kegiatan ini menguntungkan i secara ekonomis, namun bagaimana keberlanjutan dan konservasi alamnya?

Jika melintas di jalan raya Ajibarang-Gumelar pastikan anda berhati-hati. Pasalnya banyak truk besar lalu lalang, selain sering diselimuti kabut putih. Truk mengangkut bongkahan-bongkahan bahan baku kapur sementara kabut putih adalah sisa pembakaran kapur tohor. Truk dan kabut putih merupakan “efek” dari eksplorasi pertambangan batu gamping yang dilakukan di kanan kiri jalanan itu. Jika tidak berhati-hati, salah-salah anda bisa tercium oleh atau terperosok jurang karena jarak pandang yang pendek.
Di wilayah ini terdapat gugusan perbukitan yang memanjang kurang lebih 4 km, berada di 3 kecamatan, Ajibarang, Gumelar, Pekuncen dan wilayah ini adalah daerah kaya sumber daya alam, khususnya batu gamping. Masyarakat menyebutnya dengan nama Igir Badak. Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas memperkirakan total cadangan limestone yang bisa dieksplorasi sekitar 442.181.173 ton. Jumlah tersebut hanya cadangan di Desa Darmakeradenan, desa dan kecamatan lain belum dihitung. Bisa dipastikan total cadangan batu gamping di perbukitan tersebut jauh melebihi angka yang dikeluarkan pemerintah.
Masyarakat di sekitar perbukitan gamping, khususnya desa Darmakeradenan sudah terbiasa mengolah batu gamping tersebut menjadi kapur tohor, bahan inilah yang nantinya diolah menjadi kapur putih yang biasa digunakan untuk campuran adonan semen, labur( sejenis kapur tembok), bahkan campuran makanan ternak.
“Dari saya kecil sampai sekarang, bukit kapur itu ya ajeg, kayaknya nggak kurang-kurang, padahal tiap hari pasti ada yang mbledug” ujar Karsim (40 th).
Saat ini di Desa Darmakeradenan, paling tidak ada 50 buah tobong. Tobong adalah tempat pengolahan dan pembakaran batu gamping menjadi kapur tohor. Tiap tobong bisa menghasilkan sekitar 40 M² kapur per minggu. Dari tiap meter kubik kapur yang dihasilkan, Pemkab Banyumas kebagian jatah melalui pajak bahan galian C sebesar 15 % dari hasil penjualan kapur. Jika dikonversi dengan harga kapur di pasaran sekarang, pemerintah Kabupaten Banyumas memperoleh konstribusi sekitar Rp. 15.000,- per M³ kapur. Namun, sampai sekarang belum ada laporan yang pasti tentang pendapatan daerah dari sektor ini.
Setiap kali obong membutuhkan paling tidak 12 truk batu gamping, tiap rit gamping dibeli seharga Rp. 70.000. Batu gamping ini dibeli dari para pemilik tanah yang kebetulan memiliki lahan bergamping, atau kepada Perhutani jika batu gamping diambil dari hutan.
Cadangan batu gamping di desa Darmakradenan terdapat di beberapa grumbul, antara lain di grumbul Pegawulan, Karangpucung, Angkruk dan Darma. Di grumbul Angkruk lokasi batu gamping terletak di wilayah Perhutani mempunyai panjang 1.475,00 M, Lebar 540,93 M, tebal 188,00 M berat jenis 2,2 kg, kawasan ini mempunyai cadangan batu gamping sebesar 164.499.999 ton. Dari penelitian yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Banyumas, bahwa batu gamping di grumbul ini memiliki kualitas paling baik, kadar CaO-nya mencapai 53,5 %. Di Karang Pucung dan Pegawulan, terdapat cadangan batu gamping dengan panjang 1.200,00 m, lebar 261, 12 m, tebal 188 m, berat jenis 2,20 kg, jadi cadangan di kawasan ini adalah 67.499.520 ton.
Batu gamping juga dapat dimanfaatkan untuk membuat klinker, bahan ini adalah bahan dasar pembuatan semen portland. Batu gamping di Grumbul Angkruk inilah yang paling baik untuk dijadikan klinker, karena kadar CaO-nya tinggi. Dengan cadangan yang melimpah, jika di daerah tersebut dibangun pabrik semen tipe 1 dengan kapasitas 1,5 juta ton/tahun dengan tekhnologi yang kurang lebih sama dengan PT. Semen Nusantara, tambang dan pabrik nanti akan bertahan selama 176 tahun. Sungguh menggiurkan untuk menambah pundi-pundi PAD. ”Potensinya sangat besar, namun belum ada investor yang serius mengembangkan sektor ini” ujar Bambang Udoyo, Kasi Pertambangan Umum DISAIRTAMBEN Banyumas.
Masa Keemasan
Pada tahun 80-an, kapur Darmakradenan memasuki masa kejayaannya. Pada tahun-tahun itu, tiap tobong bisa menghasilkan 40 ton kapur dalam sehari. Juragan-juragan kapur bermunculan, dan tiba-tiba saja di Darmakradenan berdiri bangungan-bangunan megah pada juragan itu. Selain menjadi juragan, tenaga kerja di desa itu juga terserap dalam kegiatan eksplorasi dan pengolahan batu gamping.
Menurut Rasiman, seorang mantan penambang, obong (membakar batu gamping) marak mulai tahun 60-an. Waktu itu baru terdapat beberapa tobong. ”Saya sempat lama bekerja sebagai tukang obong” ujar kakek 3 cucu ini.
Permintaan kapur meningkat, dan cadangan batu gamping di Darmakradenan terbilang banyak, maka masyarakat desa itu berbondong-bondong menjadi juragan dan pekerja pertambangan kapur. Awalnya mereka mengambil bongkahan batu gamping dengan cara manual, cangkul, linggis dan perkakas lain digunakan untuk ndukir. Seiring dengan meningkatnya permintaan, untuk memenuhi batu gamping didapat dengan meledakan bukit, maka aktifitas menambang batu gamping ini sering juga disebut mbledug, karena sering terdengar dhuar-dhuer ledakan. Dalam sehari mereka bisa 2 kali obong, tiap kali obong bisa menghasilkan 20 ton kapur.
Pada tahun 2005 total nilai yang mampu dihasilkan sebesar Rp. 6.220.800.000,-. Sektor ini menyumbang pendapatan sebesar 1.325.200. terdapat 42 rumah tangga yang menggantungkah hidup dengan total anggota keluarga 84 orang, dan jumlah rumah tangga buruhnya 658 dengan jumlah anggota keluarga mencapai 873 orang.
Reklamasi dan Sumberdaya Alternatif
Setiap upaya penambangan pasti menyisakan problem lingkungan. Banyak contoh kasus yang membuat kita harus berhati-hati dalam melakukan eksplorasi sumber daya alam. Krisis lingkungan yang ditinggalkan oleh aktifitas penambangan bermacam-macam, mulai dari degradasi lahan sampai residu bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi manusia.
“Idealnya, tiap usaha eksplorasi harus diikuti oleh upaya reklamasi” ujar Bambang. Komitmen ini, menurut Bambang, harus ditaati oleh pengusaha pertambangan agar upaya penambangannya tidak membawa akibat buruk bagi masyarakat dan lingkungan maka perlu upaya sistematis untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan.
Dari pengamatan sederhana di desa Darmakeradenan, diketahui bahwa daerah ini adalah daerah rawan bencana. Rata-rata kemiringan lahan mencapai 22 persen, belum lagi lahan-lahan bekas penambangan kapur yang sudah sangat kritis. Diatas pemukiman penduduk di Grumbul Pegawulan, terdapat bukit-bukit yang putih menganga tanpa tumbuhan. Ditambah lagi aktifitas mledug yang menimbulkan getaran-getaran kuat. Mbledug adalah meledakan bukit kapur dengan dinamit untuk mendapatkan bongkahan kapur mentah.
Dinas pertambangan Kabupaten Banyumas mengakui bahwa upaya pemantauan kegiatan pertambangan belum maksimal. Saat ini baru ada 2 orang tenaga pantau untuk mengawasi kegiatan-kegiatan pertambangan di seluruh wilayah Banyumas.
”Selama ini kami hanya mengandalkan informasi dari kepala desa dan camat untuk melaporkan kegiatan pertambangan yang tidak berijin, mereka masuk dalam tim pemantauan di bawah dinas pertambangan” ujar Bambang.
Di sisi lain, Darmakeradenan sesungguhnya adalah desa dengan potensi pertanian lahan kering yang besar. Pertanian di Darmakeradenan berkembang sebagai pertanian lahan kering dan sedikit pertanian lahan basah. Wilayahnya yang berbukit dan memiliki kemiringan hampir 40 persen menjadikan desa ini sebagai wilayah tidak begitu produktif untuk tanaman pangan. Produk pertanian yang dihasilkan dari wilayah ini adalah palawija dan kayu-kayuan.
Pada tahun 2005, Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar Darmakeradenan berasal dari sektor pertanian terutama tanaman padi. Dengan luas tanaman Padi 100,485 Ha mampu menghasilkan Rp. 6.250.000/ha. Total pendapatan kotor dari tanaman ini sebesar Rp. 570.754.800. Penyumbang PDB terbesar ke dua adalah Jagung yang mampu menghasilkan 2.000.000/ha dengan luas 10,50 ha. Total pendapatan dari tanaman ini adalah Rp. 12.232.500,-. Kemudian disusul kacang tanah dan kedelai yang masing-masing menyumbang pendapatan kotor sebesar Rp. 13.500.000 dan 6.225.000,-.
Di sektor perkebunan, terdapat perkebunan coklat seluas 230 ha yang dikuasai oleh perkebunan swasta besar, sementara hanya 43,5 ha dimiliki oleh warga. Dari luas 43,5 ha dapat dirinci sebagai berikut : kelapa 14,56 ha, kopi 10 ha, cengkih 12 ha, lada 5 ha, dan vanili 2 ha)


Read more on this article...

Kamis, 04 Oktober 2007

Mas Ratno, Guru yang belajar pada Petani

Hampir pukul 3 sore ketika seorang pria datang tergopoh-gopoh ke sekretariat Paguyuban Tani Sri Rejeki (PTSR). “ Maaf agak terlambat, murid-murid saya sebentar lagi ujian, saya harus nge-les dulu” ujarnya usai memarkir motor Cina yang setia menjadi tunggangan sehari-hari.

Hari ini pengurus Paguyuban Tani Sri Rejeki, Desa Bantarsari Cilacap, mengadakan rapat rutin bulanan untuk membahas perkembangan organisasi, dan Suratno Akhmad, nama pria yang baru datang, harus memimpin rapat.Mas Ratno, begitu dia sering disapa, adalah sekretaris PTSR, organisasi tani yang sedang menghadapi konflik agraria. Sampai saat ini Mas Ratno sudah dua kali terpilih menjadi sekretaris organisasi,sejak organisasi berdiri pada tahun 2000. “Kami mempunyai sejarah yang panjang dengan tanah ini, sebelum seperti ini (persawahan-red) tanah ini adalah rawa-rawa yang tidak produktif, kamilah yang mengubahnya menjadi lahan subur dan produktif” ujarnya menjelaskan alasan petani mempertahankan garapan.

Mas Ratno cukup beruntung, jika umumnya petani tidak mengenyam pendidikan tinggi, lain halnya dengan Mas Ratno, dia berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Ushuludin, IAIN Gunung Jati Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Agama. Dengan bekalnya menimba ilmu, dia juga menekuni profesi sebagai seorang guru di yayasan pendidikan Muhamadiyah.“Sebagai manusia, kita mempunyai kewajiban untuk menolong manusia lain keluar dari kesulitannya” kata Ratno.

Aktifitasnya dalam organisasi dimaknai sebagai implementasi konsep tersebut. Dia ingin ingin ilmu yang dimilikinya bisa membantu menyelesaikan sengketa agraria antara PTSR dan Pemerintah Kabupaten Cilacap di tanah eks perkebunan NV. Rubber Culturr Maatschappy Kubangkangkung seluas 84,59 ha. Melalui organisasi tani inilah Mas Ratno ingin berguna bagi petani penggarap di desanya, karena bagi Mas Ratno, sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna bagi sesama. Saling BelajarBerinteraksi dengan petani bagi Mas Ratno sama dengan proses belajar yang tiada henti. Petani adalah sumber inspirasi yang selalu mengalir.” Mereka mengajari saya tentang hidup yang sesungguhnya, bagaimana menyelesaikan masalah dan mensyukuri nikmat” ujarnya. Karena itulah pada setiap pelajaran yang diberikannya di sekolah, dia selalu menekankan kebanggaan menjadi anak petani dan profesi petani. Diceritakan kepada murid-muridnya bahwa petani adalah manusia orang yang dinamis, mau bekerja dan belajar keras. Karena itulah petani bukan pekerjaan rendahan, tidak kalah bergengsi dengan pekerjaan lain di kota besar. Agamanya mengajarkan bahwa sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan yang menghidupi orang banyak, membawa manfaat bagi kehidupan.

Menjadi petani menurutnya adalah perkerjaan yang membawa manfaat bagi sesama.Lahir dengan nama Akhmad Suratno, anak petani di Bantarsari pada tanggal 12 September 1972. Sebagai anak petani dia menyadari betul bahwa tanah adalah ruh petani, kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Masa SD dilewatkan di Bantarsari, SMP dan SMA-nya dijalani di Gandrungmangu, kota kecamatan di sebelah desanya.

Dinamika di organisasi tani membuatnya sadar bahwa banyaknya petani yang tidak mempunyai lahan garapan bukan hanya persoalan tidak mempunyai cukup modal untuk membeli tanah. Tapi ada persoalan struktural yaitu pemerintah tidak pernah serius melaksanakan reforma agraria yang menjamin tersedianya tanah garapan untuk petani. Seperti aktifis organisasi tani lain, Mas Ratno juga berjuang agar pemerintah secepatnya merealisasikan program revitalisasi pertanian yang mencakup pelaksanaan reforma agraria seperti diamanatkan UUPA. Saat ini Mas Ratno dikaruniai dua orang putri. Jihan Arkani Fauziah dan Mutiara Tsani dari seorang istri Siti Nurkhasanah.

Dengan keluarnyanya inilah dia harus berkompromomi dan memberi penjelasan bahwa aktifitas organisasi memang menyita waktu.Beruntung dia mempunyai istri yang memahami aktifitas organisas, maka tak menjadi masalah jika dia sering ditinggal malam-malam untuk menghadiri rapat dan koordinasi organisasi
Read more on this article...

Isyarat Krisis Air Di Banyumas

Oleh Muhammad N. Latief

Pertengahan tahun 2006, pada suatu kesempatan diskusi yang diselenggarakan oleh salah satu harian lokal, direktur baru PDAM pada waktu itu mengungkapkan gagasan untuk menggunakan air sisa pemutar turbin PLTA Ketenger Baturaden, Banyumas sebagai salah satu sumber air bakunya. Dengan menggunakan air dari Kali Banjaran, persoalan pelayanan pada pelanggan akan teratasi, bisa menambah pelanggan baru sebanyak-banyaknya, bahkan bisa “mengekspor” air bersih ke kabupaten tetangga dalam rentang waktu puluhan tahun mendatang.

PDAM Banyumas saat ini mengelola air dengan debit 607 l/dt pada musim penghujan dan 529 l/dt serta 470 l/dt pada musim penghujan dan turun sampai dengan 390 l/dt pada musim kemarau khusus untuk kota Puwokerto. Mereka melayani lebih dari 11.000 pelanggan. Dengan kondisi ini wajar bila PDAM melakukan upaya-upaya untuk menambah pasokan air bakunya.
Bagi petani yang menggantungkan hidup pada sawah dan irigasi, rencana ini adalah berita buruk yang mengancam kelangsungan usaha tani mereka. Saat ini, air Kali Banjaran digunakan oleh hampir 20 % sawah irigasi tekhnis di Banyumas yang luasnya mencapai 10.509 ha. Karena itulah mereka menolak pengambilan air dari hulu sungai banjaran untuk air minum walaupun hanya 100-300 liter/detik.
Anatomi Konflik Sumber Daya Air
Konflik antara PDAM Banyumas dan petani-petani di daerah hilir Kali Banjaran menandai babak baru krisis dan konflik air di Banyumas. Selama ini, kita sering mendengar petani sering berebut air, ronda air pada saluran tersier maupun kuarter irigasi sebagai konflik atas sumber daya air secara terbuka. Dalam konflik ini, petani berperan sebagai korban sekaligus pelaku konflik air. Babak baru krisis air ini ditandai munculnya konflik antara petani dengan korporasi (PDAM) yang ramai diberitakan media. Selain itu juga mulai terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan air kemasan walaupun dalam skala kecil, seperti di Desa Pancasan Kecamatan Ajibarang dan Kecamatan Sumbang. Konflik horisontal antar petani mulai berubah menjadi konflik vertikal, antara masyarakat dengan negara sebagai pengambil kebijakan pengelolaan air yang berkolaborasi dengan pemilik modal.
Sekilas, konflik ini muncul dari sulitnya pemenuhan kebutuhan air minum masyarakat kota berhadapan dengan kebutuhan pemenuhan air irigasi petani dan bisa dikategorikan sebagai konflik horizontal. Tetapi, jika kita lebih teliti, dapat dilihat bahwa dasar konflik ini adalah konflik vertikal antara masyarakat yang membutuhkan air (air bersih maupun air irigasi) dengan pengambil kebijakan sumber daya air.
Keterlibatan korporasi yang bersekutu dengan negara memunculkan kecurigaan berlakunya gagasan neoliberal dalam pengelolaan air. Ismail Serageldin, wakil direktur Word Bank pada tahun 1995 mengatakan, dimasa depan perang bukan lagi disebabkan oleh persengketaan minyak, perang masa depan dipicu oleh air (Shiva.2002). Dulu air dipandang sebagai public goods yang harus dipelihara bersama-sama dan haram diperjual-belikan, bahkan air disebut sebagai matrik budaya dan dasar kehidupan (Shiva; 2002). Gagasan neoliberal merubah cara pandang terhadap air sebagai barang dagangan yang bisa mendatangkan keuntungan besar.
Pembangunan Tidak Berwawasan Lingkungan
Jika dianalisis lebih jauh, konflik sumber daya air mempunyai beberapa sebab. Pertama sentralisasi pemenuhan kebutuhan air bersih lewat PDAM, pada satu sisi memang merupakan bentuk dari tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat. Namun, skema ini tidak melihat daya dukung lokal dan pola dasar pemenuhan air masyarakat. Tradisi dan kearifan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air terganti dengan budaya instan. Masyarakat kita tak lagi mengandalkan sumur dangkal sebagai pemasok kebutuhan air, padahal dulunya di sekitar sumur pasti tumbuh rimbun pohon penahan air. Dengan budaya inilah, masyarakat kita tidak kesulitan air jika kemarau tiba.
Kedua, di Banyumas, segala aktifitas yang bisa mengakibatkan krisis air sudah berjalan. Ambil contoh aktifitas penebangan hutan produksi Perhutani di sekitar Gunung Cendana dan Bunder berkontribusi pada penurunan debit air Kali Banjaran, pengelolaan hutan oleh perusahaan ini juga menimbulkan konflik sosial ekonomi dengan masyarakat sekitar hutan. Contoh lain, penambangan limestone (batu gamping) di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang yang sudah sampai pada tahap menimbulkan resiko bencana ekologis. Belum lagi 18 potensi bahan galian lain, dari andesit sampai emas tinggal menunggu investor yang mengeksplorasinya.
Ketiga pemerintah daerah hanya mementingkan tercapainya target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rejim PAD ini melakukan segala daya upaya untuk mendatangkan pendapatan, termasuk mendatangkan investasi sebesar-besarnya. Keberhasilan otonomi daerah menurut mereka tergantung seberapa besar Pemerintah Daerah menghasilkan pendapatan dan mendatangkan investasi. Demi mengejar PAD, pembangunan ruko dan bangunan besar lain tak terkendali, menggusur lahan pertanian dan menutup saluran irigasi.
Selain masalah diatas, siklus hidrologis air telah mengalami perubahan ekstrem, manusia modern telah merusak dan menghancurkan kapasitas bumi untuk menerima, menyerap dan menampung air. Industri, dan pertanian tidak ramah lingkungan mengeringkan ekosistem dan meningkatkan penggunaan bahan bakar minyak yang menjadi penyebab utama polusi dan perubahan iklim global.
Sekarang, tinggal kita yang memilih, akan segera mengalami krisis lingkungan atau berpikir tentang konservasi dan bersahabat dengan alam. Pilihan pertama mungkin mudah dilakukan dan sesuai dengan pola pikir rejim otonomi daerah, karena pilihan inilah yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan naiknya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pilihan kedua? Hanya orang-orang yang berpikir yang melakukannya?
Read more on this article...