Media massa, berperan besar dalam mewarnai perjalanan kesenian suatu bangsa. Termasuk pergulatan ideologi dan politik di dalamnya. Seperti perjalan Sanggar Bumi Tarung, suatu kumpulan seniman yang menghayati realisme sosialis sebagai jalan berkesenian terekam dalam kliping majalah dan koran yang terbit kala itu.
PAMERAN arsip Sanggar Bumi Tarung (SBT) membawa kita pada suasa berkesenian yang bercampur baur dengan dunia politik. Aroma ideologi dan keberpihakan pada rakyat menyeruak kencang. Pada tahun 60-an, siapa yang tidak kenal Sanggar Bumi Tarung? Mereka adalah kumpulan perupa yang melukiskan ekpresi politik "kiri" dalam lukisannya. Tema lukisan mereka, tak jauh dari kehidupan buruh, petani gurem, pedagang kecil dan kaum marjinal lain.
Beberapa versi sejarah menyebut, SBT ini adalah salah satu sanggar dibawah naungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), sayap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam lapangan budaya. Mereka menghayati dengan benar aliran seni realisme sosialis, sebuah aliran kesenian yang beranggapan bahwa kesenian harus sinergis dengan realitas masyarakat dan mengabdi pada tujuan-tujuan revolusi. Definisi resminya, mungkin yang dikeluarkan oleh Vladimir Lenin, dedengkot komunisme Uni Sovyet yang menyebut aliran ini dengan seni garda depan.
Pada Jamannya, Lekra, hanya salah satu dari sekian banyak organisasi kesenian yang berafiliasi dengan sebuah aliran politik.Ada sanggar dan organisasi seperti Lembaga Kebudayan Nasional (LKN) yang merupakan sayap Partai Nasional Indonesia (PNI), Lembaga Kebudayan Kristen Indonesia (LEKRINDO) dan lain lain. Sampai akhirnya persentuhan dunia kesenian dan politik ini melahirkan pertentangan yang kemudian menjadi prahara kesenian di tanah air, Lekra berhadapan dengan Manikebu. Bisa dibayangkan, betapa ramai dunia kesenian Indonesia di masa-masa itu. Penuh gejolak, dinamika dan pertentangan, mereka melakukan ekpresi seni, sekaligus corong propaganda partai.
Pameran arsip SBT yang diselenggarakan oleh Indonesia Visual Art Archive (IVAA), 9 - 31 Desember 2008, di Jl. Patehan Tengah No. 37 Yogyakarta mencoba menghadirkan perjalanan Sanggar Bumi Tarung secara utuh. Eksistensi SBY ditunjukan dalam bentuk teks liputan media massa, dokumentasi organisasi, dan arsip perijinan pameran yang dikeluarkan pemerintah "Sebetulnya kami ingin menjelaskan bahwa Bumi Tarung tidak selalu identik dengan Lekra. Tapi mereka memang mempunyai karakter kesenian yang politis, realis dan rakyat sentris," ujar peneliti IVAA, Pitra Ayu.
Sanggar Bumi Tarung didirikan oleh nama-nama seperti adalah Amrus Natalsya, Misbach Tamrin,Ng Sembiring, Isa Hasanda, Kuslan Budiman, Djoko Pekik, Sutopo, Adrianus Gumelar, Sabri Djamal, Suharjiyo Pujanadi, Harmani, Haryatno. Kurang lebih ada 30 orang yang tercatat sebagai anggota sanggar ini. Bumi Tarung, menurut Pitra masih juga mempunyai ciri khas yang menjadi pembeda dengan Lekra. Seniman ini, hanya berafiliasi dengan Lekra, namun tidak berhubungan langsung dengan partai.
Dokumen tertua yang dipamerkan adalah publikasi Lekra tentang pandangan politiknya di tahun 1957. Dokumen propaganda tentang peran-peran lembaga kebudayaan dalam Revolusi Indonesia, tentu saja dalam pandangan Lekra. Ada juga visi misi Lekra dan ajakan untuk bergabung bersama organisasi ini. "Semacam open recruitment, Lekra berusaha menyosialisasikan diri dan mengajak seniman untuk bergabung," ujar Pitra.
Berikutnya, adalah laporan jurnalistik dari Majalah Pentja, No. 9 Tahun ke XVII tentang Sanggar Bambu. Sanggar ini sempat dianggap sebagai kubu yang berada di seberang Bumi Tarung. Waktu itu, sanggar bambu dianggap tidak memasukan politik bagi dalam tema-tema keseniannya. Mereka juga tidak mengkritisi kondisi masyarakat,
gampangnya, tidak turut dalam gegap gempita revolusi Indonesia, tentu saja versi Lekra.
"Aktifisme dalam seni rupa tidak bisa dikotak-kotakan menurut organisasi. Seniman tetap berinteraksi dan berhubungan baik secara ide maupun fisiknya. Walaupun terdapat pertentangan ideologi yang sangat kental," papar Pitra.
Pitra melakukan periodesasi seni rupa dari kajian terhadap dokumen yang terkumpul. Periode pertama adalah periode pra 65, saat para perupa Indonesia begitu dekat dengan politik. Penandanya adalah banyaknya lembaga-lembaga kebudayaan yang mempunyai afiliasi dengan partai. Periode berikutnya adalah periode 70-an, saat dunia seni rupa seolah mundur untuk memperbaiki infrastukturnya. Saat itu marak
pendirian tempat-tempat pameran, dunia kesenian menjadi sangat teknis. Pada periode ini, pengaruh rejim orde baru yang membatasi ekpresi seni juga nampak. Berikutnya di tahun 90-an, saat itu mulai muncul kembali kesenian dengan mazhab kritis yang menyerempet masalah-masalah sosial. Disebut sebagai tonggak periode ini, adalah kelompok Taring Padi, sekumpulan pelukis muda yang karya-karya seninya mewarnai gelombang demonstrasi di tahun 1998-an.
Kurator Farah Wardani, yang juga direktur IVAA menjelaskan, ada missing link dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sejarah seni jarang mengurai secara menyeluruh hubungan antara seniman dan ideologi yang dianut, atau hubungan antara satu periode dengan periode lain.
"Sejarah seni rupa hanya mengungkap, misalnya ditahun ini ada peristiwa ini, ditahun itu ada peristiwa ini. Jarang yang mengungkap relasi antar peristiwa, misalnya kemiripan antara SBT dan Taring Padi sekarang," ujar Farah.
Pameran ini, menurut Farah, berusaha menjelaskan banyak fakta yang menarik dan penting dalam perjalan sejarah seni rupa di Indonesia. Fakta ini adalah bagian dari perkembangan seni rupa secara khusus dan posisi kesenian dalam masyarakat.
"Sejarah kesenian kita kurang pada sisi histiografi-nya. Maka ada permaknaan yang terlewat pada setiap peristiwa seni. Padahal, dunia kesenian memberi respon pada setiap peristiwa sosial. Seperti peristiwa Malapetaka Limabelas Januari yang direspon dengan Pameran Desember Hitam," ujarnya.
Kamis, 01 Januari 2009
Dokumentasi Para Pelukis Terlarang
Diposting oleh Muhammad Nazarudin Latief di 18.14
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
trims buat infonya...
latif, blogmu aku link yah...
ya'kub
Posting Komentar