Sultan berhenti merokok. Ini Kabar baik! Tapi sepertinya sungguh sulit jadi kenyataan. Jadi begini ceritanya, di Yogyakarta ada dua pejabat publik yang jadi ahli hisap. Yaitu Pak Sultan sendiri dan walikota Yogyakarta, Pak Herry Zudianto (sekarang mantan). Pak Sultan yang saya maksud adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X, raja keraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Soal rokok keduanya dikenal sebagai ahli hisap. Hampir pada setiap kesempatan mereka terlihat klepas-klepus mengepulkan asap. Pak Herry suka rokok kretek tanpa filter, kalau tidak salah itu produknya HM. Sampoerna yang sudah dibeli pabriknya rokok Marlboro. Asyik sekali kalau melihat pak Herry sedang merokok, jari-jarinya lincah memilin dan memutar rokok,sedikit ada akrobatnya lah.
Pak Sultan juga suka rokok kretek tanpa filter, satu merk ama Pak Herry. Tapi Sultan juga fanatik dengan satu produk rokok lokal, warna bungkusnya hijau bergambar logo keraton.
Rokok berbungkus hijau itu barang daganganya putri tertua Pak Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Ceritanya, Agustus 2003, keluarga Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat resmi memasuki bisnis rokok, dengan bendera PT Yogyakarta Tembakau Indonesia (YTI). Tiga putri dari lima putri Pak Sultan bebarayan (bekerjasama) mengurusinya.
Ketiga putri Ngarsa Dalem itu adalah GKR Pembayun,putri tertua ini memegang jabatan Presiden direktur. GRAy Nurmagupita berposisi sebagai Brand Manager dibantu oleh GRAy Nurkamnari Dewi. Bisnis ini serius, mereka menggandeng produsen rokok raksasa PT HM Sampoerna Tbk sebagai konsultan teknis produksi dan PT Perusahaan Dagang dan Industri Panamas sebagai distributor.
GKR Pembayun konon punya niat baik, dia ingin menyerap lebih banyak angkatan kerja di Yogyakarta. Saat awal didirikan, 100 orang sudah bekerja disana harapanya bisa lebih banyak lagi pada tahun-tahun berikutnya.
Dari sisi bisnis, rokok juga menggiurkan apalagi jenis sigaret kretek tangan (SKT). Konon inilah rokok khas Indonesia yang paling diminati. Rasanya mantap, saat dihisap bunyi kretek-kretek cengkeh terbakar membuat sensasi menikmati rokok jenis ini semakin tak ternilai. Ada kepuasan yang tak bisa dipahami oleh pendukung fatwa haram rokok.
Dulu rokok jenis ini sempat menguasai, 24,9% pasar rokok, kemudian naik menjadi 26,3%. Bagi industri, inilah pasar yang empuk yang menggiurkan, apalagi secara umum kebiasaan merokok selalu meningkat dari tahun-ketahun. Tak beda dengan pebisnis lain, keluarga keraton pun nyemplung ke bisnis ini.
Ada satu lagi yang menggiurkan bagi keraton, ternyata bahan baku rokok ini diambil dari kebun tembakau yang terletak di atas Sultan Ground, masuk wilayah Kabupaten Bantul. Efesiensi produksi yang luar biasa bukan?
Sebagai pebisnis, keluarga HB kesepuluh ini memang paling agresif memanfaatkan Sultan Ground, terutama ditangan putri-putrinya. Aset-aset ekonomi yang mereka punyai antara lain, pabrik gula Madukismo di Bantul, kemudian kebun tembakau di Ganjuran Bantul. Selain itu ada budidaya ulat sutera PT Yarsilk Gora Mahottama di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri, Bantul; serta tambak udang PT Indokor Bangun Desa di pantai Kuwaru, Bantul. Ada juga potensi ekonomi paling besar, yaitu penambangan pasir besi yang saat ini diurus oleh PT. Jogja Magasa Internatinoal di pesisir Kulonprogo.
Namun belakangan, perusahaan rokok ini sepertinya berhenti berproduksi. Lantas darimana Pak Sultan bisa mendapatkan rokok gambar lambang keraton itu? “Oh itu beliau sudah punya stok banyak, disimpan sendiri,”ujar Mas Aceng, ajudan Sultan.
Jadi pahamkan mengapa Pak Sultan suka rokok berbungkus hijau itu? Tentu biar dagangan anaknya laris. Kembali ke soal hobi merokok Pak Sultan. Saya pernah iseng-iseng nanya ke Pak Sultan, kapan akan berhenti merokok? Ngarso Dalem Cuma mesam mesem saja.
"Nanti, nek mangsane mandeg yo mandeg (kalau waktunya berhenti ya berhenti),"ujarnya.
mnlatief
Read more on this article...
Kamis, 22 Desember 2011
Sultan Berhenti Merokok?
Diposting oleh Muhammad Nazarudin Latief di 00.30 1 komentar
Label: Jogja yang Kucinta
Jumat, 02 September 2011
Ilusi Idealisme
"Tak ada yang menodongkan pistol ke kepala dan memaksa Anda menjadi jurnalis. Anda datang atas kemauan sendiri, karena Anda mencintai dunia tulis-menulis."
SAYA tiba-tiba merasa harus searching versi lengkap kutipan diatas, yang disusun dari pikiran-pikiran jurnalis senior. Dia seorang jurnalis kondang, jauh diatas kami para jurnalis kemarin sore. Kemudian dengan bantuan Google, artikel berjudul "Menjadi Wartawan" serta merta terhidang di layar computer jinjing saya.
Mari kita ambil pelajaran dari artikel tersebut. Jika tidak ada yang menodongkan pistol ke kepala saat memulai karir menjadi jurnalis, maka tak ada jua yang melempar granat saat memutuskan tidak lagi menggeluti pekerjaan yang isinya liputan dan menulis melulu itu bukan? (Termasuk, menurut artikel itu, memberi asupan buku setiap hari pada otak, memberi makna pada tiap angka, memikirkan pembaca dan tidak stereotyping). Pendeknya, penuh kemerdekaan dalam memilih, seperti yang diandaikan oleh Marx muda saat memilih karir di Jerman sana. (jadi teringat bacaan lama, Reflections of a Young Man on The Choice of a Profession)
Syahdan, pada suatu dinihari yang dingin, seorang teman menelephone. Bertutur mantap bahwa, keputusannya untuk berhenti menjadi jurnalis sudah bulat, pun surat pengunduran diri keesokan harinya dikirim.
Sejurus kemudian, saya mahfum. Inilah momentum, saat kemerdekaan, dasar profesi jurnalisme meronta meminta eksistensi. Memilih menjadi atau tidak menjadi jurnalis sama mudahnya dengan memilih minum kopi hitam pekat atau sedikit tambahan kreamer. (sebenarnya tidak sesedehana itu..)
Jadi begini, kami, para jurnalis juga terlibat dalam hubungan industrial yang mengandaikan pemenuhan hak-hak normative kaum buruh. Apa bentuknya? Ya itulah, spanduk dan baliho perayaan May Day tiap tahun sudah terang benderang menjelaskan. (gara-gara pansus Century kata “terang benderang” ini jadi ngetren). Begitulah, seperti sudah menjadi kesepakatan, bahwa menjadi jurnalis artinya siap untuk hidup biasa-biasa saja. Maksutnya, serba terbatas begitu.
Soal ini, pak Rosihan Anwar, sang maestro jurnalisme Indonesia, sebenarnya sudah begitu terang benderang (lagi? benar-benar kena demam pansus Century neh!) membahas kesehahteraan pegiat jurnalisme. Dia, yang termasuk segelintir orang-orang beruntung bisa menjadi saksi perkembangan pers di tanah air dari jaman pra kemerdekaan menegaskan bahwa jurnalis mengabdi pada fakta.
"Wartawan harus objektif dan melindungi kenyataan. Fakta itu suci. Jangan gadaikan idealisme meski kesejahteraan rendah," begitu kata Pak Rosihan sebagaimana termuat pada salah satu harian nasional. Karya jurnalistik yang dicapai dengan penuh perjuangan membuat Rosihan begitu bangga dan bahagia. Karena itulah, idealisme sebagai wartawan tidak pernah luntur.
Aduh..Pak Rosihan, dengan segala rasa hormat, petuah mulia bapak bukan tidak bermakna. Tapi, rasanya kok malah berada pada sisi seberang sana ya? Sisi para pemilik industri media yang sebentar-sebentar oplah, iklan, oplah, iklan.
Maaf Pak Rosihan, bukankah tenggelam dalam idealisme malah menyeret kita pada ilusi? Membuat kita berpaling dari persoalaan di depan mata, yaitu kesejahteraan yang cekak. Kemudian beralih menjadi mantra pengabdian profesi atau dongeng suci para penyebar fakta. Tapi kami berterimakasih, selalu mengingatkan untuk menjadi professional dan berintegritas.
Jurnalis jaman sekarang menghadapi industri media yang kejam. Sekejam Sang Rama yang ragu kesucian Dewi Shinta, sehingga harus dibuktikan pada bara api. Kejam bukan? Karena loyalitas dan pengabdian tak terhargai? Seperti perangkat, dengan mudah diganti diganti yang baru jika sudah usang.
Selamat Hari Pers Nasional kawan, atau setidaknya selamat ulang tahun PWI. (Mumpung masih bulan februari)
Read more on this article...
Diposting oleh Muhammad Nazarudin Latief di 21.02 0 komentar
Gak Usah Tirakatan
Suatu saat kami terlibat obrolan tentang tirakatan. Kok tiba-tiba temanya tirakatan? Gampang saja, esoknya kan seluruh bangsa ini memperingati peristiwa besar pada halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan No 56 Jakarta, kita menyebutnya dengan proklamasi kemerdekaan.
“Tirakatan itu hanya bisa dipahami setelah kamu menikah,”ujar Priyo. Priyo ini, teman sekantor saya yang bekerja di desk Bantul.
Wedew, apa-apan ini? Mengapa tiba-tiba ada hubungan antara tirakatan dan menikah? Mak jleeeb, jawaban Priyo jelas-jelas mengusik eksistensi sebagai saya, lajang usia tigapuluhan tahun. Ditambah tawa girang kawan-kawan di ruang redaksi menyukuri wajah saya yang tiba-tiba jadi nekuk-nekuk.
Ternyata, kaum bapak-bapak di kampung-lah yang merancang tirakatan. Tentu dengan iuran secukupnya untuk biaya penyelenggaraan. Kalau ada tirakatan berarti ada iuran RT ekstra, dan yang ditagih iuran itu hanya bapak-bapak yang telah berkeluarga.
Lajang, lolos! Ini dia ternyata maksud jawaban Mas Priyo Mardikenyo! Makna tirakatan di malam kemerdekaan adalah mengikuti rapat RT berkali-kali dan pada akhirnya membayar iuran bulanan ekstra di bulan Agustus. Itu saja! Gawat! Bagaimana jika hal itu adalah persepsi dari 1000 orang bapak-bapak terhadap perayaan hari kemerdekaan?
Jika semua bapak-bapak berpikiran seperti ini, apakabar nasionalisme Indonesia? Bayangkan, saat kerjaan susah, susu mahal, biaya sekolah selangit, deg-degan kena gas mleduk, apa-apa mahal, tambahan iuran RT (bahkan saat tanggal masih muda) menjadi sangat menyebalkan. Mungkin benar kata orang pintar, pada jaman yang makin susah perilaku orang menjadi semakin individualis. TIdak gampang, ngomong nasionalisme saat neoliberalisme merasuk ke sumsum dan kita dilanda kapitalisme akut.
Sudahlah saudara-saudara. Apa seh untungnya berbuih-buih tentang nasionalisme sekarang ini. Toh, dari awal nasionalisme adalah sentimen sebagai bangsa unggul dan terpilih masyarakat Ibrani Kuno. Berkembang di Eropa kemudian dibawa ke tanah jajahan, yang intinya adalah membangga-banggakan bangsa sendiri. Sekarang apa gunanya mempunyai kebanggaan (semu)? Sementara kita tidak punya wibawa internasional. Tiga petugas Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang ditangkap saat menjalankan tugas negara ditukar dengan maling ikan (benar-benar diplomasi yang aneh).
Baiklah, ikuti saja siklus jaman. Saat ini konon kita sedang berada dalam fase tertinggi kapitalisme, yaitu neoliberalisme. Konon juga, krisis akan menghancurkannya, dan kita akan kembali memutari sejarah. Jadi, gak usah lah tirakatan tiap tahun, mengurangi jatah buat beli susu anak saja !
Read more on this article...
Diposting oleh Muhammad Nazarudin Latief di 20.44 0 komentar